Oleh Kurniawan Muhammad *
semarak.co-Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) punya daya tarik tersendiri. Termasuk ketika ormas yang didirikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu akan menggelar muktamar ke-34 di Lampung pada 23 Desember mendatang. Setidaknya ada tiga hal yang membuat perhelatan tersebut menarik untuk dicermati.
Pertama, adanya keinginan KH Said Aqil Siroj untuk kembali dicalonkan sebagai ketua umum Pengurus Besar NU (PBNU) untuk periode ketiga. Mengapa hal itu menarik? Salah satunya karena pernyataan tersebut disampaikan sebelum muktamar digelar. Dan ternyata respons di kalangan NU terhadap pernyataan Kiai Said itu beragam. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Kubu yang pro beralasan demi menjaga kekondusifan NU yang selama ini diklaim berhasil dijaga dengan baik oleh Kiai Said. Selain itu demi keberlangsungan program kerja yang sudah dilaksanakan selama dua periode kepemimpinan ulama kelahiran Cirebon tersebut.
Sementara itu, kubu yang kontra dengan pencalonan Kiai Said berpandangan, sudah saatnya PBNU dipimpin kader NU yang lebih muda agar terjadi regenerasi. Kubu itu pun merespons argumentasi Kiai Said, yang menyamakan pencalonannya untuk kali ketiga tersebut seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga memimpin NU tiga periode.
Kata kubu itu, Gus Dur mencalonkan diri untuk menjadi ketua umum PBNU kali ketiga pada muktamar di Cipasung (1994) karena saat itu NU sedang diobok-obok rezim Orde Baru. Penguasa Orde Baru kala itu ingin menempatkan orangnya, yakni Abu Hasan, untuk menjadi ketua umum PBNU menggantikan Gus Dur.
Sekitar dua pekan sebelum muktamar digelar, Gus Dur menyampaikan niatnya untuk kembali maju dalam kandidasi ketua umum PBNU. Pertarungan antara Gus Dur dan Abu Hasan saat itu berlangsung sengit. Dan akhirnya kemenangan berhasil diraih Gus Dur.
Jadi, menurut kubu yang kontra tersebut, motif antara Gus Dur dan Kiai Said untuk sama-sama maju dalam kandidasi ketua umum PBNU kali ketiga berbeda. Gus Dur maju lagi kali ketiga dengan misi dan motif untuk menyelamatkan NU dari intervensi Orde Baru. Sedangkan misi dan motif Kiai Said bisa multiinterpretatif.
Alasan untuk menjaga kondusivitas dan keberlangsungan program kerja bisa sangat subjektif. Kedua, makin mendekati hari H muktamar, polarisasi dua kutub atau dua kubu yang sama-sama punya jago untuk menjadi ketua umum berikutnya kian santer. Kutub pertama adalah kubu pendukung KH Said Aqil.
Kutub kedua adalah kubu pendukung KH Yahya Cholil Staquf. Yang menarik, hawa persaingan kedua kubu mirip dengan hawa persaingan pemilihan ketua umum partai politik, yakni sama-sama mengklaim dukungan. Kiai Said mengklaim sudah mendapatkan dukungan dari 28 pengurus wilayah NU (PWNU) se-Indonesia.
Kemudian disertai dukungan 364 pengurus cabang (PCNU). Sedangkan kubu Kiai Yahya, seperti disampaikan Sekretaris PWNU Jatim Prof Akhmad Muzakki (salah satu motor pendukung Kiai Yahya), juga mengklaim sudah mendapat dukungan 28 dari 34 PWNU yang ada.
Bahkan, dalam pernyataannya, ditegaskan dukungan dari 28 PWNU itu sudah dilengkapi surat dukungan secara resmi yang ditandatangani rais am, katib am, serta ketua dan sekretaris PWNU (Jawa Pos, 9 Desember 2021).
Penulis sesungguhnya prihatin dengan fenomena kian santernya polarisasi di antara dua kubu itu. Apalagi diwarnai saling klaim dukungan. Dan terkesan saling serang di media sosial di antara dua kubu itu. Meski tidak secara terang-terangan. Sungguh, fenomena tersebut kurang elok untuk dipertontonkan. Mengingat NU bukanlah partai politik.
Semoga para kiai sepuh, baik yang berada di jajaran syuriah maupun yang berada di luar struktur, segera bisa mengondisikan dan membendung agar hawa panas polarisasi bisa disejukkan. Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin yang pernah menjadi rais am PBNU dalam sebuah kesempatan baru-baru ini mengomentari dinamika yang terjadi di NU menjelang muktamar.
Dia berkomentar santai, “NU itu kalau mau muktamar bikin gegeran dulu. Ribut. Tapi, kalau selesai, nanti ger-geran,” katanya. Semoga bisa seperti itu. Ketiga, muktamar NU kali ini sangat rentan untuk dikaitkan dengan kepentingan politik 2024, ketika nanti dihelat pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres).
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, tentu siapa yang akan menjadi top figure-nya bakal sangat diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan politik. Baik di lingkungan pemerintah, di lingkungan partai politik pendukung pemerintah, maupun partai politik yang berada di luar kekuasaan.
Selentingan kabar menyebutkan, konon pencalonan kembali Kiai Said disokong PDIP, yang bermuara pada Megawati Soekarnoputri, sang ketua umum. Ini dikaitkan dengan kedekatan Kiai Said dengan Megawati dan PDIP selama ini. Sedangkan Kiai Yahya didukung adiknya yang menjadi menteri agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang konon bermuara pada Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).
Dan dua sosok itu, Megawati dan LBP, dianggap sebagai ”kingmaker” di sekitar Presiden Jokowi. Dan bisa jadi, dua figur itulah yang akan sangat menentukan dinamika pada perhelatan Pilpres 2024 nanti. Betulkah kabar tersebut? Wallahu a’lam.
Tidak bisa dimungkiri, ketua umum PBNU adalah figur yang ”seksi” secara politis untuk didekati dan dimanfaatkan. KH Hasyim Muzadi, mantan ketua umum PBNU, pernah menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati pada Pilpres 2004.
Sebelumnya Gus Dur malah menjadi presiden pada saat pemilihan presiden dilakukan MPR pada 1999. Dan yang terbaru, Kiai Ma’ruf kini menjadi wakil presiden. Karena itu, siapa pun yang akan memimpin PBNU di periode berikutnya, sudah pasti dia bakal menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik yang ada untuk didekati. Sehingga, bisa jadi, muktamar NU kali ini adalah muktamar yang bercita rasa pilpres. (*)
*) Kurniawan Muhammad, Wartawan Jawa Pos, magister ilmu politik Universitas Airlangga
sumber: jawapos.com/14 Desember 2021, 19:48:20 WIB di WAGroup KAHMI Nasional (postSelasa21/12/2021/adnanalham)