Oleh Eggi Sudjana Mastal *
semarak.co-Dikabulkannya eksepsi Tergugat DPR RI oleh Majelis Hakim perkara Nomor 265/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST menimbulkan bekas yang sangat traumatik. TPUA selaku kuasa hukum rakyat, seperti dipermainkan oleh Majelis Hakim. Bagaimana mungkin ada putusan yang tidak dibacakan secara terbuka untuk umum? bagaimana mungkin, putusan hanya dikirimkan melalui sarana e court?
semarak.co-Karena itulah, hari ini (Senin, 8 November 2021) pada saat akan membacakan putusan perkara nomor 266/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST yang merupakan gugatan terhadap presiden Jokowi, rekan Kurnia Tri Royani meminta izin kepada majelis hakim agar kami menyampaikan pandangan sebelum pembacaan putusan.
Sebab, tidak bernilai pandangan yang kami ajukan setelah diucapkannya putusan oleh majelis hakim. Sayangnya, hakim dengan arogan menolak. Terjadi perdebatan, dan akhirnya Rekan Ahmad Khozinudin menjelaskan landasan filosofis tentang pentingnya hakim mendengar keluhan atau pandangan dari penggugat selaku rakyat.
Akhirnya, hakim memberikan waktu. Dalam persidangan, saya mengajukan pertanyaan sederhana kepada hakim, apakah pokok-pokok putusan pada perkara nomor 266/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST akan sama dengan perkara nomor 265/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST?
Atau sederhananya, apakah perkara gugatan rakyat terhadap Presiden ini akan bernasib sama dengan gugatan terhadap DPR RI? Kalau putusan akhir, perkara akan dikalahkan lantas untuk apa kami berlama-lama mendengar pembacaan putusan?
Terjadi debat antara kuasa hukum penggugat dengan majelis hakim. Karena tak kontrol emosi, ketua majelis hakim sempat menggebrak meja persidangan. Rekan Ellidanetti menambahkan betapa tidak adilnya proses persidangan yang dilakukan.
Perkara sebelumnya sudah dikalahkan, perkara gugatan Presiden ini diyakini akan bernasib sama. Sementara, rekan Azham Khan mengingatkan al Qur’an surat al A’rof ayat 176 yang menyatakan:
“Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga).”
Rekan Azham Khan memberikan perumpamaan jika ada orang yang melakukan sesuatu karena pesanan, maka tidak ubahnya seperti anjing dalam surat ini. Orang yang cenderung pada dunia, derajatnya sangat rendah.
Saya bersama tim TPUA sedang mempertimbangkan untuk melaporkan ketua majelis hakim, yang menantang Allah SWT dan menggebrak meja. Saya ingatkan tentang azab Allah SWT, ketua majelis hakim malah menantangnya. Secara etika, tidak dibenarkan seorang hakim mengadili perkara dengan kemarahan.
Tidak pada tempatnya, seorang hakim berani menantang Allah SWT dan sekaligus menggebrak meja. Memang, bisa dipahami mungkin saja hakim tidak berkenan dengan sejumlah argumentasi yang disampaikan penggugat. Namun, tidak boleh hal itu menyebabkan hakim kehilangan kontrol dan kendali, sebagai pejabat yang mendapat gelar ‘Yang Mulia’ marah dan menggebrak meja.
Akhirnya, saya dan tim TPUA putuskan untuk meminta izin meninggalkan ruangan persidangan. Di kursi tergugat, hanya tampak satu kuasa hukum Jokowi. Pembacaan putusan batal, dan kalaupun dibacakan sudah dapat diduga putusannya adalah putusan zalim. Rakyat kembali dikalahkan.
Saya merasa ada amanah rakyat, sehingga saya tak mau hanya mendengar putusan yang berpihak pada penguasa, dan diam atas kezaliman terhadap rakyat. Sulit sekali, mendapatkan keadilan dari ruang sidang pengadilan.
Meskipun demikian, TPUA terus berjuang. Langkah awal, TPUA meminta ketua Pengadilan untuk mengganti Majelis Hakim perkara Nomor perkara nomor 266/Pdt.G/2021/PN.JKT.PST. Alhamdulillah, Bapak Muhammad Damis, SH MH, selaku Ketua Pengadilan Negeri tadi sudah berkenan menemui TPUA dan berjanji akan menindaklanjuti keluhan.
*) Ketua TPUA
sumber: WAGroup KAHMI Nasional (postSabtu20/11/2021/eggisudjanamastal)