Stabilitas Perbankan Nasional Cukup Dipengaruhi Kondisi Ekonomi Global

AVP Corporate Communication Bank Mandiri Maristella TH (kiri) menerima cinderamata usai jadi pembicara di Perbanas dari perwakilan panitia, Kamis (14/9)

Kondisi ekonomi global memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Begitu halnya dengan urusan perbankan nasional. Termasuk dampak kemajuan teknologi informasi terkait terjadinya kerusakan pada satelit Telkom-1 yang mengganggu layanan transaksi anjungan tunai mandiri (ATM) di banyak bank.

Kepala Divisi Analisa Ekonomi Makro, Pasar Keuangan dan Industri, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Seno Agung Kuncoro menyatakan, stabilitas perbankan, sektor keuangan, sosial bahkan politik sejatinya bukan hanya bergantung pada sosok kepala negaranya saja. Seno bahkan mengakui saat ini sektor perbankan di Indonesia tengah melakukan konsolidasi.

“Perbankan saat ini tengah berkonsolidasi, dalam lima tahun terakhir ini, kondisi perbankan tidak bagus. Kestabilan dari perbankan, keuangan, sosial politik dalam negeri ini bukan hanya tergantung dari siapa presidennya, dan bukan dilihat dari berapa banyak pembangunanya, tapi juga sangat bergantung pada kondisi global saat ini,” ujar Seno dalam Diskusi Publik bertajuk Stabilitas Perbankan Nasional dan Laju Pertumbuhan Ekonomi di auditorium Perbanas Institute, Jakarta, Kamis (14/9).

Akibat melemahnya situasi global saat ini, nilai Seno, sektor perbankan pun mulai goyah dan terancam mengalami kemunduran. “Kita harus akui, terutama untuk servis di perbankan kita masih kalah jauh dibanding luar negeri. Otomatis kita harus tingkatkan itu. Baik dari sisi infrastruktur maupun sisi pelayanan. Kalau bisa pun dari sisi perangkat, kita bisa produksi sendiri sehingga tidak tergantung pihak luar negeri dan di situ kekuatan Indonesia bener-benar di perhitungkan,” ujar Seno usai menjadi pembicara menuju mobilnya.

Saat ditanya kondisi perbankan sekarang dikaitkan dengan krisis ekonomi tahun 1998, Seno buru-buru membantah. “Kondisi sekarang tidak bisa disamakan dengan krisis 1998. Di mana koordinasi saja dulu kurang, pengawasannya juga kurang, termasuk masyarakatnya belum sepenuhnya terekspose informasi. Beda dengan sekarang informasi bisa didapatkan di mana dan kapan pun. Pengawasan sudah lebih bagus, pengaturan regulasi juga bagus, dan pembuatan undang-undang lebih bagus sekarang. Masalahnya, di luar negeri terjadi gejolak atau ekonomi global di luar itu bermasalah, pasti berimbas,” kelitnya.

Mengenai rencana holding bank bumn oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas, Seno mengatakan, LPS hanya konsentrasi pada masalah bank. “Kalau masalah holding bank BUMN, LPS hanya konsentrasi dengan masalah perbankan. Dalam arti kalau bank-bank itu dibuat dalam satu holding, sebenarnya tidak ada perubahan apa pun. Jadi LPS tidak terekspose rencana pembentukan holding,” kelitnya.

Jadi tidak ada kaitan langsung dengan GCG (Good Corporate Governance) dengan rencana holding bank BUMN itu. Ciri-ciri bank tidak mampu mengelola risiko misalnya, dilihat dari kondisi NPL (noun performance loan). Kalau NPL suatu bank mencapai tiga persen dan bertahan lama, itu berarti gagal mengelola GCG-nya. Ini artinya, direksi tidak mampu mengelola pinjaman pihak ketiga.

AVP Corporate Communication Bank Mandiri Maristella TH mengatakan, geliat teknologi informasi atau digital yang mengimbas pada perbankan bukan jadi ancaman ke depannya. Menurut Maristella, perbankan memang mau tidak mau harus hadir dalam dunia digital itu. Untuk itu, Bank Mandiri mempunyai anak usaha yang bergerak di bidang Fintech, yaitu Mandiri Capital.

“Digital memang harus ada dan yang konvensional harus dapat terus berjalan. Dengan jalan seiring dunia digital dan konvensional di dunia perbankan, justru menjadi sinergi yang saling menguatkan. Jadi tidak ada ancaman di sana,” tuntasnya. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *