Kemana Ormas dan Tokoh-tokoh Islam?

KH Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, KH Hasyim Asy'ari, dan Ahmad Hasan. Foto: Betaria Sarulina/Historia

Oleh Anonym *

semarak.co-Islam tidak sama dengan Marxisme, Sosialisme, dan Kapitalisme hanya karena ada aspek nilai yang mirip. Kita juga perlu memahami sebuah isme dengan sekedar pemikiran dan prilaku, pemikiran dan perilaku sosialis atau kapitalis bagi muslim lalu dianggap isme atau berpaham sosialisme dan kapitalisme.

Bacaan Lainnya

Kolektivisme tidak selalu sosialisme atau marxisme. Individual itu bukan berarti indivifualusme. Nara sumber ini terkesan gebyah uyah. Sangat dangkal analisis yang gebyah uyah. Tjokroaminto, Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, dan tokoh besar lainnya nasionalis dan internasional di cap penganut marxisne, sosialisme atau kapitalisme.

Ada dua kejadian penting baru-baru ini yang perlu dicatat. Pertama ulah Andreas Benaya Rehiary yang melaporkan Ustadz Yahya Waloni ke polisi. Kedua, ulah sekelompok orang yang menolak pendirian Masjid At Tabayyun di Meruya, Jakarta Barat.

Dua fenomena ini menunjukkan bahwa kaum minoritas di tanah air ini banyak yang radikal. Banyak di antara mereka yang peduli untuk membela agamanya dan tidak rela Islam menjadi agama mayoritas atau yang mewarnai negeri ini. Mereka adalah kaum radikal. Mereka adalah para pemberani.

Sementara kaum nonMuslim di sini bergerak atau dididik radikal, kaum Muslim dikampanyekan agar jadi moderat. Maka jangan heran, kalau yang menguasai negeri ini bukan kaum Muslim lagi. Maka jangan heran banyak tokoh-tokoh Islam yang moderat atau diam ketika tokoh Islam lain dizalimi.

Lihatlah tokoh-tokoh ormas atau tokoh politik Islam yang diam ketika FPI (Front Pembela Islam) dibubarkan atau pimpinan-pimpinannya dizalimi pemerintah. Bahkan ketika laskar Islam FPI enam orang dibunuh yang membelanya pun hanya segelintir orang.

Para tokoh Islam tertipu oleh Barat dan agen-agennya disini mengembangkan Islam Moderat. Padahal Barat mengembangkan istilah ini agar kaum Muslim tidak jadi pemimpin alias menjadi “pak turut” membebek pemerintah Barat.

Tokoh-tokoh disini yang selalu mengaminkan pemerintah dan mengampanyekan Islam Moderat, sebenarnya telah kehilangan jati dirinya. Mereka lebih mementingkan jabatan atau uang daripada kemuliaan agamanya.

Bila kita mau teliti mengamati fenomena pendidikan dan politik di tanah air, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kaum minoritas banyak dididik menjadi radikal, sedangkan kaum Muslim disuruh menjadi moderat. Lihatlah PSI yang radikal melawan syariat Islam.

Melawan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pro Islam, melawan tokoh-tokoh Islam dan seterusnya. Karena mereka radikal dan punya cita-cita tinggi, maka kini mereka menguasai negeri ini. Mereka akan membayar kaum Muslim yang ikut agenda mereka.

Maka jangan heran ketika Yahya Waloni ditangkap, geng Cokro TV, Abu Janda, Muanas Aidit dan konco-konconya langsung bersorak. Orang-orang bayaran seperti ini tidak punya ghirah Islam sama sekali. Mereka bersekutu dengan nonMuslim untuk melemahkan Islam di negeri ini.

Sadarkah para pemimpin Islam terhadap fenomena ini?

Bila kita tilik sejarah, maka kita ingat bagaimana Orde Lama membuat politik belah bambu terhadap umat Islam. Mereka merangkul NU dan membubarkan Masyumi. Menganggap Masyumi kepala batu, tidak progresif revolusioner dan lain-lain. Padahal tokoh-tokoh Masyumilah yang menyatukan negeri ini. Yang membidani lahirnya NKRI.

Dalam politik, selalu ada kawan dan lawan. Tidak bisa anda jadi moderat, berdiri di tengah-tengah. Ada kebenaran dan kebatilan. Mereka yang berdiri di tengah, akan jatuh pada kebatilan. Maka bila anda ingin memenangkan Islam di negeri ini, jadilah radikal. Jadilah radikal yang konstitusional. Radikal yang berilmu, tidak ngawur.

Karena di dunia ini yang terjadi adalah pertarungan antara kaum radikal. Pertarungan kepemimpinan. Bila anda jadi moderat, maka anda tidak akan jadi pemimpin. Anda jadi pak turut. Kembali ke Yahya Waloni. Ustadz satu ini mungkin ada kesalahan, tapi membiarkan dia ditahan, adalah sebuah kesalahan pula.

Dalam era demokrasi dan internet sekarang, seharusnya orang tidak di penjara karena omongannya. Orang di penjara harusnya karena perbuatannya. Siapapun. Tidak semua kesalahan, harus berakhir dengan pidana. Maka UU ITE atau pasal-pasal pidana soal penghinaan, harusnya dicabut DPR. Sudah tidak sesuai lagi dengan zaman.

Dengan kebebasan bicara di internet saat ini, harusnya yang terjadi saling argumentasi. Biarlah para dai atau penceramah bicara sesuai gayanya. Mereka yang tidak suka, bikin video tandingan membantah pada mereka yang tidak disukai.

Undang-undang tentang penghinaan ini akhirnya mengena sesuai selera penguasa. Yahya Waloni ditangkap, tapi dibiarkan Ade Armando, Eko Kuntadhi dan Denny Siregar ngomong seenaknya. Menghina sana-sini. Tiap hari di medsos terjadi penghinaan, polisi jarang menindaknya.

Jadi sebuah undang-undang yang bila diterapkan, tidak bisa memenuhi asas keadilan, harusnya jangan diterapkan. Karena yang terjadi akhirnya tebang pilih. Dan kini tokoh-tokoh atau aktivis Islam yang kena dampaknya. Wallahu azizun hakim.

*) artikel ini menjadi pesan berantai tanpa ada nama penulisnya di berbagai media sosial, utamanya whatsapp (WA). Setelah lama ditunggu post terakhir masih tanpa nama, redaksi menetapkan untuk menerbitkannya dengan pertimbangan viral.

 

sumber: WAGroup Komunitas ALIPh (postMinggu3/10/2021/arifgama) dan (postRabu8/9/2021/imamasyrofi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *