Pengusaha dan politisi Bambang Sungkono menilai gerakan Solidaritas Umat Peduli Modal Nasional (Superiman) masih sangat relevan dan tak lekang oleh waktu. Dimana setiap warga negara harus menjaga Bangsa Indonesia yang besar.
semarak.co-The Nation Is Calling, kata Bambang, 76 tahun kita merdeka, saatnya seluruh anak bangsa tanpa membedakan etnis dan agama berterima kasih kepada Indonesia. Dimana 18 tahun lalu, pada 19 Agustus 2003 di Istana Wakil Presiden Hamzah Haz yang Presidennya Megawati Soekarnoputri, Bambang Sungkono, Lieus Sungkharisma, dan Yusuf Siregar masing-masing sudah menyetor Rp100 juta untuk Gerakan Nasional Superiman ini.
Pengusaha otomotif ini langsung merogoh kocek yang tidak sedikit, yakni Rp100 juta untuk Superiman. Aspek sosial dan politiknya dari Superiman, kata dia, yakni mereduksi gesekan akibat ketimpangan sosial. Terutama sejarah etnis Tionghoa di Indonesia yang beberapa kali menjadi target kerusuhan, terutama Mei 1998.
Periode waktu yang ditetapkan yakni sejak naiknya Presiden RI ke-2 Soeharto (1966 – 1998) sampai puncak kerusuhan rasial yang memakan banyak korban. “Kerusuhan pasti ada mastermind atau actor intelektualnya,” ujar Akwet, sapaan akrab Bambang Sungkono.
Suasana kesenjangan sosial dimanfaatkan aktor intelektual tersebut dan pihak tertentu yang tersulut membuat kerusuhan sampai penjarahan dan Tionghoa menjadi targetnya, kata dia, tapi karena gerakan pembauran dari beberapa saja orang Tionghoa yang selama ini masuk pada komunitasnya (kelompok ekstrim), mereka bahkan menjadi benteng melindungi sesama anak bangsanya.
“Negara jangan abai harusnya manampung aspirasi masyarakat yang peduli ingin membantu negara. Perlu kelanjutan program dan gerakan Superiman ini setelah sempat vacum selama 18 tahun” kata Akwet di kantornya, kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, seperti dilansir Repelita Online -2021-08-09,15:26.
Akwet tidak memungkiri bahwa pengaktifan kembali Superiman tidak lepas dari Akidi effect. Sebagaimana Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) Irjen Eko Indra Heri sempat akan mendapat bantuan dari anak Akidi Tio, Heriyanti, dengan nilai Rp2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumsel.
Namun, sumbangan yang dijanjikan tersebut hingga kini belum juga cair. Sebagai gantinya, Kapolda menerima bantuan dari paguyuban Masyarakat Tionghoa Palembang senilai Rp2 miliar untuk penanganan pandemi Covid-19 di Sumsel. Baginya, sumbangan Rp 2 miliar adalah hikmah di balik kejadian Akidi Tio.
“Terlepas pro dan kontra sumbangan Akidi, kami tidak ada niat ungkit-ungkit masa lalu. Gerakan ini kan menghimpun dana dari warga negara, terutama Tionghoa. Gerakan ini bukan sumbangan, tapi penghimpunan dana abadi,” imbuh mantan petinggi Partai PKB.
Kalaupun presiden sudah berganti sampai yang ke-100, kata Bambang, uangnya tetap ada. Karena itu bukan uang sumbangan, tapi pemerintah bisa meminjam. Selain, Superiman dengan mengajak peran serta rakyat sendiri, rakyat yang memegang langsung dana tersebut.
Pengawasan oleh aparat, kata dia, terutama yang berhubungan dengan institusi keuangan. Setiap warga negara, terutama Tionghoa harus menyadari bahwa kebersamaan dan pembauran melalui gerakan Superiman bisa mencegah peristiwa seperti Kerusuhan Mei 1998.
“Saatnya, ketika bangsa dan negara butuh kita, badan masih sehat, tenaga dan pemikiran diperlukan, apa salahnya melakukan sesuatu yang riil untuk bangsa dan negara. Saya sudah berumur 80 tahun, tetap dengan semangat yang sama ketika gerakan Superiman diluncurkan tahun 2003. Sudah 18 tahun berlalu, semangat harus tetap ada,” tegas Akwet yang dikenal pengusaha otomotif. (rep/smr)