Oleh Eggi Sudjana Mastal *
semarak.co-“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”.
[Pembukaan UUD 1945 alinea kesatu]
Sebagai bangsa yang anti penjajahan, kita semua ikut bahagia dan bangga atas keberhasilan pejuang Taliban mengusir penjajah Amerika dari tanah airnya. Setelah hampir 20 tahun bercokol di Afghanistan, akhirnya Amerika keluar dari Afghanistan. Terlepas, penarikan pasukan Afghanistan diawali dengan Perjanjian Doha, namun realitasnya Amerika mampu dikalahkan dan diusir dari bumi Afghanistan.
Pada substansi yang demikian, yakni pada realitas eksistensi penjajahan Amerika yang mampu diusir dari Afghanistan, bangsa Indonesia tentu saja memiliki suasana kebatinan yang turut bangga dan bahagia atas kabar tersebut. Bangsa Indonesia, memahami dan merasakan betul betapa menderitanya menjadi bangsa yang terjajah dan ditindas.
Soal dalih War On Terorism, soal dalih perburuan Osama Bin Laden, semuanya itu tak dapat melegitimasi penjajahan Amerika di Afghanistan. Sama juga, Amerika tak berhak menjajah Irak dengan dalih demokrasi dan perburuan senjata pemusnahan massal.
Bangsa Indonesia, memahami bahwa penjajahan adalah tindakan tercela. Karena itu, sejak mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu segala bentuk penjajahan diatas dunia harus dihapuskan.
Demikianlah, para founding fathers telah mengkongkritkan komitmen ini dalam pembukaan UUD 1945. Namun patut disayangkan, politik luar negeri Indonesia tidak dijalankan secara bebas dan aktif dan menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi.
Pasca hengkangnya penjajah Amerika dari Afghanistan, Indonesia justru menarik dan mengevakuasi WNI dari Afghanistan. Padahal, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyatakan tidak menutup Kedutaan Besar RI (KBRI) di Afghanistan. Itu artinya, secara de jure posisi Indonesia mengakui eksistensi kekuasaan eksisting di Afghanistan.
“Iya memang ada kondisi kesehatan yang mengharuskan beliau menjalani perawatan intensif. Namun KBRI memang tidak ditutup, semuanya masih berjalan,” kata juru bicara Kemlu Teuku Faizasyah (17/8/2021), menjawab pertanyaan, apakah betul Dubes RI untuk Afghanistan sudah tidak berada di Kabul.
Karena itu, penarikan WNI dari Afghanistan, padahal Kedubes RI masih eksis menunjukkan Indonesia terbawa polarisasi politik Amerika yang keluar dari Afghanistan.
Sikap ini, mengkonfirmasi Indonesia belum sepenuhnya percaya pada kekuasaan di Afghanistan, dan justru terbawa narasi kebijakan politik luar negeri Amerika yang memberi syarat tertentu (diantaranya pemerintah yang inklusif/sekuler), untuk pengakuan kekuasaan dibawah kendali Taliban.
Padahal, bangsa Indonesia tidak berkepentingan siapa yang berkuasa di Afghanistan. Bangsa Indonesia, justru berkepentingan untuk menghapuskan penjajahan dari muka bumi. Melanjutkan hubungan negara dengan Afghanistan dibawah kendali pejuang Taliban, justru mengkonfirmasi Indonesia pro kedamaian dan anti penjajahan.
Amerika memang layak mendapatkan perlawanan senjata dan diusir dari bumi Afghanistan, sebagaimana dahulu Tentara Belanda dan Jepang mendapatkan perlawanan senjata dari kaum Santri yang mengobarkan jihad fi Sabilillah melalui fatwa jihad yang dikeluarkan oleh Ulama dan yang terkenal adalah resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Lagipula, bangsa Indonesia juga mengalami berbagai dinamika politik internal yang hal itu tidak menghilangkan eksistensi bangsa dan negara. Saat Kekuasaan beralih secara ‘inkonsistitusional’ dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke Habibi, dari Gus Dur ke Megawati, hubungan Indonesia dengan segenap bangsa tetap aman dan terjaga.
Jadi, tidak tepat kalau eksistensi kekuasaan yang berubah dari rezim Ashraf Ghani ke Pejuang Taliban dijadikan dalih untuk mengevaluasi hubungan Indonesia – Afghanistan. Bahkan, atas mandat konstitusi semestinya Indonesia harus segera mengakui eksistensi kekuasaan Taliban di Afghanistan dan segera mengadakan hubungan negara secara damai.
Yang lebih tak elok, adalah upaya Terorisasi Taliban sebagaimana dilakukan oleh BNPT. Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Eddy Hartono mengatakan lembaganya bersama komunitas intelijen dan aparat penegakan hukum terus mewaspadai potensi dampak kemenangan Taliban di Afghanistan terhadap kelompok radikal dan teroris di Indonesia.
Eddy mengatakan potensi risiko atas kemenangan Taliban itu tak boleh diremehkan. “BNPT beserta kementerian lembaga terkait khususnya aparat intelijen dan aparat penegakan hukum melakukan kewaspadaan, jadi tidak boleh underestimate,” kata Eddy pada 22 Agustus 2021.
Tindakan seperti ini, justru berpotensi memecah belah anak bangsa. Terorisasi Taliban tidak sejalan dengan realitasnya. Faktanya, Amerika yang menjajah dan menebar teror di Afghanistan. Sementara, Taliban berjuang untuk mengusirnya.
Akhirnya, sebagai bagian dari elemen anak bangsa yang mencintai negeri ini, saya merasa semestinya pemerintah segera melakukan normalisasi hubungan dengan Afghanistan. Tidak perlu menunggu pengakuan Amerika yang memberikan sejumlah syarat.
Amerika adalah negara penjajah dan telah kalah di Afghanistan. Bagaimana mungkin, Indonesia mengikuti syarat penjajahan sebagaimana ditetapkan Amerika?
Sebagai bangsa yang berkomitmen dengan perdamaian dan anti penjajah, sudah sepatutnya Indonesia berdiri bersama Afganistan. Selain itu, penting untuk diperhatikan bahwa Taliban adalah pejuang kemerdekaan, jangan ada lagi narasi teroris apalagi diproduksi oleh institusi negara yang hal itu justru kontraproduktif dengan amanat konstitusi.
*) Penulis adalah Ketua Umum TPUA
sumber: WAGroup KAHMI Nasional (post Rabu/25/8/2021/eggisudjanamastal





