Oleh Ahmad Khozinudin, S.H. *
semarak.co-Sejak perubahan UU KPK, banyak pihak telah mengingatkan akan efek kemunduran program pemberantasan korupsi. Korupsi, bukan lagi perkara ‘ Ektra Ordinary Crime’ karena cara penanganan korupsi telah ditarik mundur menggunakan cara-cara konvensional yang diadopsi oleh Kriminal Justice System mainstream.
Sejak mula, korupsi adalah kejahatan Ekstra Ordinary. Karena itu, butuh UU Khusus dan institusi khusus untuk mencegah dan memberantasnya. Hadirnya UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 dan UU No 30 Tahun 2002, menjadi jawaban akan kebutuhan UU yang bersifat Lex Spesialis dan Institusi Khusus untuk mencegah dan memberantas Korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam UU No 30 Tahun 2002, KPK telah diberikan mandat Khusus sebagai Penyelidik, Penyidik sekaligus Penuntut Umum dalam perkara korupsi. Salah satu norma yang anti mainstream dalam UU ini, adalah dimana KPK tidak diberi wewenang untuk menghentikan perkara yang telah disidiknya.
Atau dalam bahasa sederhananya, KPK tidak diberi ‘gigi mundur’ dalam pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi. Namun, sejak Terbitnya UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), format kerja KPK berubah.
KPK tak lagi lembaga ektra ordinary yang anti mainstream, melainkan hanyalah penyidik biasa yang juga bisa menghentikan perkara penyidikan kasus korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Kemudian dalam Pasal 40 ayat (2) dinyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3.
Inilah, pasal ‘Gigi Mundur’ KPK. Berdalih alasan ‘Kepastin Hukum’ pasal ini dimunculkan. Padahal, pasal ini menjadi pintu hancurnya keadilan hukum sebagai cita tertinggi yang menjadi dambaan seluruh masyarakat.
Akhirnya, apa yang dikhawatirkan publik terjadi. Belum lama ini, KPK menghentikan penyidikan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya yang bernama Itjih Sjamsul Nursalim. (1/4).
Sjamsul Nursalim dan Itjih merupakan tersangka dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kerugian negara dalam kasus ini sejumlah Rp 4,58 triliun.
Kasus ini terjadi pada tahun 1998, BLBI adalah skema pinjaman pemerintah yang diberikan melalui Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas karena krisis 1998.
Pada Desember 1998, BI menyalurkan dana Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Sepuluh bank merupakan bank beku operasi, lima bank take over, 18 bank berstatus bank beku kegiatan usaha, dan 15 lainnya adalah bank dalam likuidasi.
Lagi-lagi, alasan klasik Penghentian penyidikan disampaikan KPK, yakni klaim dari pentingnya asas kepastian dalam proses penegakan hukum. KPK hanya menjamin kepastian hukum, agar koruptor lepas dari jerat hukum.
KPK juga berdalih, penghentian penyidikan ini sesuai aturan undang-undang yang berlaku. Tentu saja, sesuai UU yang telah direvisi DPR agar dapat melepaskan koruptor dan bebas korupsi di negeri ini. Bukankah, selama ini koruptor adalah mitra DPR?
Sementara itu, KPK mengabaikan asas kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat. Kalau KPK dibentuk hanya untuk melepas koruptor, apa manfaatnya KPK bagi rakyat? Padahal, Negara telah menganggarkan dana besar dari APBN untuk membiayai KPK dan agenda besar perang melawan korupsi.
Kepastian hukum bagi koruptor, dimana koruptor bisa tidur nyenyak dan bebas berkeliaran, berbisnis dan korupsi lagi. Sementara rakyat yang dirugikan, yang harus membayar pajak untuk membiayai APBN, tercederai rasa keadilannya.
KPK telah salah dan gagal mengemban amanat dari rakyat. KPK lebih menjamin kepastian hukum bagi koruptor, dan mengorbankan rasa keadilan bagi masyarakat. KPK juga telah meniadakan asas manfaat dari keberadaannya, sebagai institusi yang memberantas koruptor, bukan membebaskannya.
Publik patut ‘mengapresiasi’ kinerja Presiden Jokowi. Dibawah kendali Jokowi, Negara telah kalah melawan koruptor. Selamat datang, era bebas korupsi di Indonesia.
*) Sastrawan Politik, Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
sumber: WAGroup KAHMI Nasional (post Minggu 4/4/2021)