Oleh Salamuddin Daeng *
semarak.co-Keadaan tampaknya akan lebih berantakan di 2021. Defisit makin melebar. Karena PDB Indonesia merosot. Utang Pemerintah makin membengkak terhadap PDB sudah menyimpang jauh dari norma norma standar.
Pemerintah tetap bertahan meminta BI membeli surat utang negara di pasar perdana. Nilainya 1.000 triliun lebih. Sama dengan tahun 2020. Sementara pada situasi normal saja pemerintah kesulitan membayar utang. Apalagi dalam situasi pendapatan megara makin cekak.
Kebijakan BI membeli surat utang negara di pasar perdana adalah kebijakan yang tabu, melanggar prinsip moneter, dan berpotensi terjadinya korupsi. Kebijakan ini telah dicela oleh internasional yang mengakibatkan mata uang Indonesia dalam pandangan asing bermasalah.
Alokasi dana pemulihan ekonomi yang sangat tertutup atau exlusive, berpotensi mengarah kepada praktek korupsi besar besaran mengalahkan korupsi BLBI dan KLBI. Uang negara menjadi bancakan pengusaha oligarki konglomerat busuk.
Dana-dana publik berpotensi habis disedot ke dalam APBN, mulai dari dana pensiun BUMN, dana Jamsostek, dana Asabri, dana Taspen, dana haji, dan dana publik lainnya.
Pemeritah tidak bisa lagi mendapatkan pinjaman luar negeri secara bilateral dan multilateral dikarenakan kebijakan moneter BI yang dianggap melanggar ketentuan. Akibatnya, Indonesia akan sangat kesulitan membayar utang luar negeri dan kewajiban dalam mata uang asing.
Tindakan pemerintah yang akan mengumpulkan dana SWF dengan menggadaikan aset BUMN akan sangat membahayakan keuangan BUMN sendiri. Dikarenakan BUMN sendiri terperangkap utang yang besar. Utang BUMN telah mencapai 5-6 kali pendapatan sebelum pajak dan bunga.
Pemerintah telah gagal mengatasi dampak ekonomi dan dampak kesehatan pandemi korona. Kegagalan tersebut mulai dari aspek regulasi atau kebijakan, dari sisi anggaran atau fiskal dan dari sisi keuangan dan moneter, yang tidak lagi mengindahkan norma norma dasar ekonomi.
Roadmap pemerintah dalam mengatasi pandemi dan krisis menuai penolakan dari publik nasional dan internasional. Sebagai contoh UU Minerba, UU Omnibuslaw, UU 2/2020, menuai penolakan dan kritik tajam dari publik dan pihak internasional.
Untuk pertama kali posisi bank dunia, IMF dan lembaga lembaga multilateral lebih populis dari pemerintah Indonesia yang sangat konservatif economic, namun cenderung tertutup atau ekslusive dalam kebijakannya.
Korupsi telah menjadi isu utama bagi internasional yang menilai kebijakan penanganan krisis Indonesia justru menjadi alat oligarki untuk korupsi. Contoh kasus yang sangat memukul muka Indonesia adalah isu korupsi dana bansos yang menjadi konsen komunitas global.
Secara keseluruhan kebijakan Indonesia menyimpang dari agenda ekonomi Covid-19 global yang tampaknya mengatahkan ekonomi masa depan pada penurunan emisi karbon sesuai COP 21 Paris (tahun ini COP 26), selaras dengan digutalisas, menuju era keterbukaan.
Indonesia sendiri menyimpang dikarenakan elite dikuasai bandar fosil minyak dan batubara, dan proyek digitalisasi hanya sebatas bancakan oligark. Indonesia tidak serius dalam urusan transparansi dan keterbukaan sektor keuangan yang toolsnya adalah menjalankan mutual legal Assitance (MLA) untuk menyita rekening rahasia senilai lebih dari Rp. 11 ribu triliun.
Meskipun MLA telah ditandatangani dan diratifikasi menjadi UU MLA. Oligarki di sekitar kekuasaan menghalangi sekuat tenaga agenda ini. Padahal ini adalah bagian penting dari ekonomi corona dan ekonomi digitalisasi, menuju era baru keterbukaan.
*) penulis adalah peneliti senior dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
sumber: WAGroup 000#MUSLIM BENTENG NKRI (post Senin 1/3/2021)