Utang RI Bakal Bengkak Jadi Rp8.669 Triliun pada 2022, Cek Fakta Utang Indonesia Makin Banyak

Menkeu Sri Mulyawani. foto: internet

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai 6.074,56 triliun. Dengan begitu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68%.

semarak.co-Kemudian, selama ini Indonesia juga banyak mengeluarkan surat utang. Namun aset tersebut tak tercatat dalam neraca keuangan negara. Salah satu bentuknya adalah proyek hibah yang pembiayaannya berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Bacaan Lainnya

Terkait hal itu, Okezone.com telah merangkum beberapa fakta, Jakarta, Minggu (24/1/2021).

  1. Utang RI Tembus Rp6.075 Triliun, Sri Mulyani: Akibat Covid-19. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut kenaikan angka utang tersebut terjadi karena pemerintah banyak memberikan stimulus dampak ekonomi bergejolak akibat Covid-19.

“Secara nominal, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hal ini disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional,” demikian seperti dikutip pada buku APBN Kita, Minggu (17/1/2021).

  1. Komposisi Utang Pemerintah untuk Menjaga Keseimbangan Makro Ekonomi. Kemenkeu memastikan komposisi utang pemerintah tetap dijaga dalam batas tertentu sebagai pengendalian risiko sekaligus menjaga keseimbangan makro ekonomi, di mana Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 mengatur batasan maksimal rasio utang pemerintah adalah 60%.
  2. Komposisi Utang Indonesia. Komposisi utang saat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Secara rinci, pembiayaan utang itu didapatkan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp1.177,2 triliun atau naik 163% dari tahun sebelumnya. Sementara pinjaman hanya Rp49,7 triliun atau minus 667% dari periode 2019.

Untuk pembiayaan investasi selama 2020 terealisasi Rp104,7 triliun, dari target pemerintah dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp257,1 triliun. Pembiayaan investasi ini diberikan pemerintah ke sejumlah BUMN maupun BLU akibat pandemi Covid-19.

Investasi kepada BUMN mencapai Rp31,3 triliun, BLU Rp31,3 triliun, dan lembaga atau badan lainnya Rp25 triliun. Pemberian pinjaman selama tahun lalu sebesar Rp1,5 triliun, kewajiban penjaminan Rp3,6 triliun, dan pembiayaan lainnya Rp70,9 triliun.

  1. Sri Mulyani Incar Utang Baru Rp342 Triliun di Awal 2021. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan dapat memperoleh utang baru Rp342 triliun melalui lelang Surat Utang Negara (SUN) hingga kuartal I-2021. Nantinya lelang Surat Utang Negara (SUN) akan dilakukan dalam mata uang Rupiah untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2021.

Keterangan Dirjen Pengelolaan Pembiyaaan Resiko melaporkan, di Jakarta, Rabu (30/12/2020), pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.08/2019 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana Domestik (PMK No. 168/PMK.08/2019).

Dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (PMK No. 38/PMK.02/2020).

  1. Dapat Utang Rp7 Triliun dari Bank Dunia, Sri Mulyani: Kita Pakai Buat Krisis. Menteri Keuangan Sri Mulyani buka-bukaan soal pinjaman dari Bank Dunia USD500 juta atau setara Rp7 triliun.

Pinjaman ini untuk memperkuat ketahanan keuangan dan fiskal Indonesia. Pinjaman ini akan membantu negara untuk membangun dan memperkuat respon dalam hal keuangan akibat bencana alam, risiko iklim, dan guncangan terkait kesehatan.

Sri Mulyani mengatakan berbagai guncangan maupun bencana terus mengancam kemajuan pembangunan Indonesia. Dari tahun 2014 hingga 2018 pemerintah pusat menghabiskan antara USD90-500 juta setiap tahun untuk tanggap bencana dan upaya pemulihan, sementara itu selama periode yang sama pemerintah daerah menghabiskan sekitar USD250 juta.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk bencana diperkirakan akan terus meningkat akibat perubahan iklim dan pertumbuhan kawasan perkotaan, sehingga menambah beban belanja pemerintah.

Kebutuhan saat ini sangat besar, seiring berbagai dampak keuangan, fiskal, dan sosial yang dialami Indonesia akibat pandemi Covid-19. “Kesiapan keuangan terhadap bencana, guncangan iklim, dan krisis kesehatan seperti COVID-19 menjadi semakin penting bagi Indonesia,” ucap Sri Mulyani dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (22/1/2021).

Dukungan ini, lanjut Menkeu, akan membantu pemerintah menjalankan respons secara lebih tepat sasaran dan tepat waktu, mengurangi dampak bencana dan membantu menjaga kemajuan pembangunan yang telah dicapai oleh Indonesia.

  1. Sering Disorot soal Utang, Sri Mulyani Ngadu ke Menteri Agama. Bendahara Negara itu mengatakan bahwa selama ini Indonesia banyak mengeluarkan surat utang. Namun aset tersebut tak tercatat dalam neraca keuangan negara. Salah satu bentuknya adalah proyek hibah yang pembiayaannya berasal dari SBSN.

“Ini saya sering disorot masalah instrumen utang nih, Pak Menag. Barangkali bagus ikut menjelaskan pada konstituen bahwa instrumen ini ada gunanya, tidak selalu juga tercatat hasilnya di dalam neraca kita,” kata Sri Mulyani secara virtual, Rabu (20/1/2021).

  1. Kemenag Mendapatkan Pembiayaan Proyek Infrastruktur dari SBSN. Kementerian Agama (Kemenag) mendapatkan pembiayaan proyek infrastruktur dari SBSN. Selanjutnya proyek tersebut dihibahkan ke madrasah atau pesantren yang bukan milik negara.

Namun hal itu diperbolehkan. Nantinya, Kementerian Agama bisa melakukan pencatatan tersebut di pembukuannya. “Jadi Pak Menteri Agama, nanti di neraca kita, kita banyak mengeluarkan surat utang, tapi asetnya enggak masuk ke neraca,” bebernya.

  1. Sri Mulyani Minta Menag Jelaskan Soal Kegunaan Intrumen Utang. Dia pun meminta Menag Yaqut ikut menjelaskan soal manfaat instrumen utang. “Karena kalau umpamanya kita berikan bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, orangnya jadi sehat, tapi tidak muncul angkanya di dalam neraca, tapi utangnya muncul, Pak,” tandasnya.

Mengutip Koranjakarta 6 Februari 2021 pukul 00.54 seperti dilansir babe.news, utang Indonesia pada 2022 mendatang diperkirakan akan membengkak hingga Rp8.669 triliun dari posisi akhir 2020 sebesar Rp6.074,6 triliun atau 38,7% terhadap Produk Do­mestik Bruto (PDB).

Melonjaknya utang hingga Rp2.500 triliun dalam dua tahun ke depan itu karena melebarnya defisit anggaran untuk penanganan kesehatan dan pembiayaan pro­gram Pemulihan Ekonomi Nasional.

Pada 2021, pemerintah menargetkan me­narik pembiayaan dari utang baru sebesar 1.177,4 triliun rupiah untuk menutup defi­sit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 1.006,4 triliun rupiah atau 5,7 persen terhadap PDB.

Sedangkan pelebaran defisit APBN 2020 menjadi 1.028,5 triliun rupiah atau 6,27 per­sen dari PDB, sehingga pembiayaan utang neto meningkat hingga 1.206,9 triliun rupiah. Ke­naikan itu dapat memicu beban bunga utang pada belanja negara ke depan yang memiliki tendensi untuk meningkat.

Menanggapi ancaman lonjakan utang ter­sebut, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Imam Hanafi, mengatakan porsi pembayaran utang dalam APBN harus ditekan seminim mungkin agar dana yang ada dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

Untuk itu, pemerintah harus inovatif dalam upaya mencari jalan keluar dari ancaman per­angkap utang. “Pertama, stop utang-utang baru agar tidak semakin menggelembung. Pemerintah harus punya pemikiran yang out of the box dan ino­vatif dalam mengatasi masalah utang ini,” kata Imam.

Pemerintah, kata Imam, perlu melakukan komunikasi yang baik sebagai pendekatan ke negara-negara sahabat, selain yang sudah ada agar mau membantu tanpa memberatkan keuangan negara, seperti anggota-anggota Islamic Development Bank yang kemampuan finansialnya sangat kuat.

“Kreditur kita selama ini tidak sepenuhnya membantu demi kebaikan kita. Selain itu, sumber daya alam kalau dikelola sendiri, hasilnya pasti akan mampu untuk mencukupi kebutuhan nasional karena sifat­nya tidak terlalu high technology,” paparnya.

Mengenai persoalan obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membebani keuangan negara, dia me­ngatakan memang harus dituntaskan dengan moratorium. Kalau tidak, akan terus mengge­rogoti keuangan negara dan bisa membuat negara bangkrut.

Sebelumnya, Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan, pemerintah diharapkan segera mengoreksi kebijakan warisan masa lalu yang merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah, terutama utang dari skandal BLBI.

Untuk itu, pemerintah mesti mempercepat penyidikan secara tuntas kasus BLBI, menagih utang debitur BLBI yang belum melunasi kewa­jibannya, dan menghentikan pembayaran bu­nga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI.

Semua pihak terutama tim ekonomi peme­rintah seharusnya mempunyai pemahaman yang sama tentang kondisi perekonomian na­sional yang sulit maju akibat terbelenggu wa­risan utang masa lalu.

“Jadi, selain membuat perekonomian nasio­nal kolaps, kebijakan obligasi rekap juga mence­derai rasa keadilan rakyat. Sebab, yang berutang adalah pengemplang BLBI, tapi yang membayar adalah rakyat Indonesia. Karena itu, saya berharap pemerintah berani mengambil tindakan tegas dalam pengelolaan anggaran negara,” ucap Bhima.

Dia pun mengharapkan penyidikan kasus BLBI dipercepat sehingga semua pelakunya mendapatkan ganjaran hukuman yang setim­pal. “Para pelaku harus mengembalikan dana BLBI yang sudah dinikmatinya. Kemudian, moratorium pembayaran obligasi rekap agar APBN menjadi produktif,” tukas Bhima.

Secara terpisah, Manajer Riset dan Seknas Fitra Badiul Hadi mengatakan, asumsi utang negara mencapai angka delapan ribu triliun rupiah lebih itu sangat mungkin. Karena pemerintah telah memosisikan pembiayaan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mempercepat penanganan pandemi dan pe­mulihan ekonomi.

Hal ini nampak jelas dari pembiayaan utang yang meroket tajam dari Rp402,1 triliun di 2019 menjadi Rp1.206,9 triliun pada 2020. Hal serupa juga dilakukan tahun ini dengan merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp1.177,4 triliun.

“Pemerintah perlu mengambil kebijakan, mengencangkan ikat pinggang dengan mene­kan belanja yang tidak memiliki dampak lang­sung pada penanganan Covid-19 dan pemulih­an ekonomi nasional, misalnya pembayaran bunga obligasi rekap,” katanya.

Jika pemerintah tidak berupaya dari seka­rang, bisa jadi ambang batas atas utang yaitu 60 persen dari PDB bisa terlampaui pada akhir 2023. “Ini sangat berbahaya bagi stabilitas ke­uangan negara,” katanya. (net/smr)

 

sumber: WAGroup Keluraga Alumni HMI MPO

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *