By Tony Rosyid *
semarak.co-Demokrasi direpresentasikan paling nyata dalam pemilu. Pilpres, pilkada dan pileg. Setiap orang diberi hak suara. One man One vote. Di Indonesia, dalam lima tahun, ada sekali pilpres, sekali pileg-pemilihan DPD, dan 548 kali pilkada. (514 kabupaten/kota dan 34 provinsi).
UU Pilkada No 10 Tahun 2016 menghendaki adanya pemilu serentak 2024. Pilpres, pileg dan pilkada diselenggarakan sekaligus. Bersama-sama dalam satu waktu. Belajar dari pilpres dan pileg 2019, ada 894 petugas pemilu meninggal dunia.
Katanya karena faktor kelelahan. Dibilang “katanya”, karena beritanya simpang siur. Dan gak ada hasil investigasi. Maka, diusulkanlah revisi UU tersebut. Dan RUU-nya telah masuk prolegnas. Ada banyak perubahan di RUU. Termasuk usulan “normisasi pilkada” 2022 dan 2023.
Semula, hanya PDIP yang menolak. Partai lain, semua sepakat adanya “normalisasi pilkada”. Artinya, 2022 dan 2023 tetap ada pilkada. Belakangan, Presiden mendukung pemilu tetap diselenggarakan serentak di 2024, sesuai UU No 10 Tahun 2016 tersebut. Setelah pernyataan presiden ini, banyak partai yang mendadak berbalik.
Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP mendukung usulan presiden. Otomatis, mendukung PDIP. Total suara partai pendukung usulan presiden itu ada 327. Sementara hanya PKS, Demokrat dan Nasdem yang tetap bertahan dengan usulan “normalisasi pilkada” 2022 dan 2023. Total suaranya hanya 248.
PKS, Nasdem dan Demokrat kalah suara. Maka, keputusannya sudah bisa dibaca: 2022 dan 2023 tidak ada pilkada. Diundur di 2024. Para kepala daerah, gubernur, walikota dan bupati yang habis masa kerjanya tahun 2022 dan 2023 akan diganti oleh Plt. Jumlahnya ada 272 kepala daerah. Masing-masing Plt menjabat 1-2 tahun.
Dari mana Plt-Plt ini? Akankah semuanya diisi dari pejabat kemendagri? Ataukah ada yang dari Polri, mengingat Mendagri Tito Karnavian adalah mantan Kapolri? Atau ada yang dari TNI, alasan untuk berbagi? Atau juga ada dari kader parpol yang ditunjuk oleh mendagri?
Memang, jika pemilu diselanggarakan serentak, maka akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Tapi sangat berisiko. Petugas akan kelelahan. Belajar dari pemilu 2019 yang hanya pilpres-pileg saja, hampir seribu petugas pemilu meninggal. Meski menyisakan teka-teki, apakah seluruhnya mati karena unsur kelelahan, atau ada faktor lain.
Dalam pemilu serentak, manipulasi kemungkinan akan lebih masif. Karena pengawasan sangat terbatas. Cara berpikirnya sederhana: pemainnya bertambah banyak, jumlah pengawasnya tetap. Tidak proporsional.
Di pemilu 2019, Panwas mengawasi pilpres dan pileg saja kedodoran, bagaimana ditambah pemilihan bupati/walikota dan gubernur? Pemilih pun umumnya gagal fokus, karena banyaknya jumlah surat suara dan jumlah calonnya.
Dalam satu waktu pemilih harus mencoblos surat suara untuk DPRD I, DPRD II, DPR, DPD, bupati/Walikota, Gubernur dan presiden. Tujuh surat suara. Pasti akan sangat membingungkan! Dua surat suara saja, banyak yang gak fokus. Apalagi ini tujuh surat suara.
Coba hitung jumlah caleg DPR, DPRD I, DPR II, calon DPD, calon bupati/walikota, dan calon gubernur, plus calon presiden-wakil presiden. Kurang lebih ada 40 nama. Anda yang muda dan cerdas saja kebingungan untuk memilih. Apalagi ABG dan para orang tua. Bagaimana mau menghasilkan pejabat yang berkualitas?
Anda coba bayangkan ketika mereka kampanye di depan anda. 40 calon. Dan hampir semuanya tidak anda kenal dengan baik. Siapa yang akan anda pilih? Tak sedikit pemilih yang akhirnya pragmatis.
Sama-sama tidak kenal, pilih yang kasih uang paling besar. Selama ini, itulah yang banyak terjadi di desa-desa, dan daerah pinggir perkotaan. Pragmatis! Karena sistem mendorong pemilih untuk bersikap pragmatis. Apalagi, hukum tak pernah hadir disitu.
Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan. Bisa sehari semalam. Bahkan sampai pagi. Disini, para saksi juga akan mengalami kelelahan. Apalagi Panwas dan petugas KPPS.
Idealnya, ada tiga kali pemilu: pilkada, pileg dan pilpres. Masing-masing diselenggarakan secara terpisah. Pemilih bisa fokus pada pilihannya. Pengawasan juga bisa dilakukan dengan baik.
Masyarakat, lembaga-lembaga Independen dan pers bisa jadi alat kontrol untuk menjaga kualitas pemilu. KPPS, Panwas dan para saksi tidak harus menanggung risiko fisik karena faktor kelelahan atau lainnya.
Tapi, entah apa yang menjadi pertimbangan partai-partai tersebut sehingga pemilu diusulkan serentak. Jangan sampai hasrat politik mengalahkan kepentingan bangsa, termasuk untuk keselamatan petugas KPPS, Panwas dan para saksi.
Terutama “yang paling penting” untuk menjaga kualitas hasil pemilu. Selama ini, kualitas pemilu kita sudah buruk. Sarat money politics, intimidatif dan manipulatif. Dengan pemilu serentak, besar kemungkinan akan semakin buruk.
Jakarta, 2 Pebruari 2021
*) Penulis dalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO