“dengan puisi merayakan Tuhan lewat silahturahmi kemanusiaan.” Apa yang bisa dikerjakan dalam situasi wabah pandemi Covid-19 yang dengan tanpa ampun memberangus sendi sendi kehidupan dunia?
semarak.co-Kecuali tabah, sabar dan sikap istiqomah menjalankan laku masing-masing, selebihnya kita berserah sepenuhnya kepada Yang Maha Berhak menentukan segala perkara.
Roadshow pembacaan puisi yang diprogramkan HPBah telah diberlangsungkan dengan sukses di tiga tempat, Cafe CARITA, tanggal 17 Desember 2020 (penyelenggara Jagat Sastra Milenia).
Selanjutnya di Keboen Sastra, tanggal 3 Januari 2021 (penyelenggara Keboen Sastra) dan Bengkel Teater Rendra, tanggal 16 Januari 2021, dan Sabtu tanggal 30 Januari 2021 esok ini akan diberlangsungkan di Langgar Sastra Nusantara.
Seperti diketahui, menulis puisi bukan pekerjaan baru bagi Harris Priadie Bah, setahun sebelum pandemi, buku puisi antologi tunggalnya telah terbit dengan judul “Sabda Puisi: sajak sajak Apostolik.”
Buku puisi kedua dan ketiga yang berjudul “jalan kesaksian dan sajak” serta “tujuh belas sajak sajak penyadaran Harris Priadie Bah dalam jilid fotocopy” diterbitkan November 2020 dan Januari 2021 berturut turut.
“Kedua buku itu, memang menjadi semacam “pelarian kreatif” dari seorang HPBah yang tidak bisa mempertunjukan karya-karya seni teaternya bersebab gedung pertunjukan ditutup semua,” tulis HPBah, nama sebutan pendek Harris Priadie Bah dalam rilis yang diterima semarak.co melalui pesan elektroniknya, Selasa malam (26/1/2021).
HPBah memang dikenal sebagai seorang sutradara teater dan aktor di grup Kelompok Teater Kami, yaitu grup teater yang eksis selama 30 tahun lebih dengan karya-karyanya yang terus ada setiap tahun.
Puisi-puisi HPBah mengabarkan tentang tema-tema kemanusiaan yang berhadapan dan bersinggungan dengan persoalan-persoalan sosial, politik, hukum dan juga agama. Carut marut kehidupan berbangsa dan bernegara tidak luput dari perhatiannya.
Semuanya dipersaksikan lewat baris-baris sajaknya yang keras dan lugas yang kerap menghujam dengan keras kepada segala yang dianggapnya membuat gaduh, dan susah serta menyimpang dari amanat kehidupan bersama sebagai warga negara yang punya hak sama membuat kehidupan lebih baik hari ini dan ke depannya.
Puisinya juga banyak merespon peristiwa aktual yang terjadi. Maka kita akan menemukan sosok Rangga (Rangga), anak bocah lelaki usia belasan yang mati ditebas parang residivis kambuhan yang ingin memperkosa ibunya.
Atau Mia, Natsyelia Paulus Ake perempuan dari Mamuju, Sulawesi yang mati tertimpa gempa, karena menyelamatkan seorang bayi dalam inkubator (MIA). Juga tentang nama jalan di Saudi Arabia yang memakai nama Presiden Indonesia Joko Widodo (Sebuah Jalan Bernama Kesederhanaan). (smr)