Sebagaimana ramai diberitakan, aparat melakukan penembakan terhadap 6 orang warga negara yang disebut anggota Front Pembela Islam (FPI) di kilometer (Km) 50 Tol Jakarta – Cikampek.
semarak.co-Seperti diberitakan kepolisian menyebutkan, anggota polisi yang terancam keselamatan jiwanya karena diserang, kemudian melakukan tindakan tegas terukur. Sehingga terhadap kelompok MRS (Muhammad Rizieq Shihab) berjumlah 10 orang, meninggal dunia sebanyak 6 orang, dan 4 orang melarikan diri.
Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan menilai peristiwa itu harus diusut dan diproses hukum agar publik mengetahui fakta yang sebenarnya. Konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan.
Mengutip siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, Selasa (8/12/2020) dan diterima semarak.co Rabu (9/12/2020) mengingatkan, jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula.
Begitu juga dengan penggunaan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka.
Atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Koalisi tidak menampik bahwa anggota kepolisian juga harus dilindungi dalam kondisi yang membahayakan nyawanya. Adapun upaya penembakan yang ditujukan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan memang diperbolehkan dalam keadaan tertentu, demikian tulis Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, Selasa (8/12/2020).
Rilis itu mengutip, Perkap 1/2009 secara tegas dan rinci telah menjabarkan dalam situasi seperti apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus selalu dipegang teguh oleh aparat kepolisian dalam melakukan upaya penembakan tersebut.
Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009, sebelum memutuskan untuk melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabe.
Setelah segenap upaya tersebut dilakukan, aparat kepolisian baru diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka.
Itu pun hanya apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Dengan kata lain, penggunaan senjata api harus merupakan upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah melumpuhkan bukan mematikan.
Upaya penembakan dengan senjata api hanya dapat dilakukan anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
Dengan berkaca pada ketentuan sebagaimana di atas, Koalisi Masyarakat Sipil meminta penyelidikan yang serius, transparan dan akuntabel terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia.
“Koalisi mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut, serta membuka hasil fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut,” siaran pers koalisi yang anggotanya YLBHI, Setara, Kontras, dll.
Setiap tindakan yang diambil aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan. “Kami meminta agar aparat kepolisian melakukan penegakan hukum yang fair dalam penanganan covid 19,” demikian rilis itu.
Siapa pun yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan harus ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Begitu juga pihak yang nyata telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan agar kooperatif untuk menerima pemeriksaan oleh aparat kepolisian agar rantai Covid-19 dapat diputuskan.
Di tengah situasi sulit akibat dampak pandemi covid 19 semua pihak harus patuh pada protokol kesehatan dan menjunjung tinggi hukum. Terakhir kami juga mendesak agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap saksi yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, LBH Pers. (smr/kb6)