HRS Akan Redup Jika Keluar dari Jalur Dakwah

Imam Besar FP Habib Rizieq Shihab. foto: dok WA Group

Oleh Toto Izul Fatah *

semarak.co-Habib Riziq Shihab (HRS) yang baru kembali ke tanah air akan terus menjadi magnet publik yang makin menguat  jika dirinya konsisten di jalur dakwah. Begitu pun dengan agenda utamanya yang mengusung Revolusi Akhlak akan menjadi isu seksi yang potensial mengundang dukungan besar rakyat, khususnya umat Islam.

Bacaan Lainnya

Namun sebaliknya, jika HRS tergoda masuk ke kancah politik praktis, baik sebagai pimpinan parpol baru atau bahkan menjadi calon presiden 2024, maka sejak itulah dia akan memasuki masa senja redupnya popularitas sebagai figur moral dan spiritual. Ketokohan HRS pun  akan luntur saat dirinya resmi berikrar sebagai politisi partai atau capres.

Dalam kontek inilah, HRS harus mampu menjaga kesetiaannya berada di jalur yang dijalaninya selama ini sebagai pendakwah yang tegas mengampanyekan amar maruf nahi munkar (mengajak orang berbuat baik dan melarang orang berbuat munkar).

Begitu pun kepada para pendukungnya, jika sayang dan cinta kepada HRS harusnya tidak membiarkan dia terjun ke dunia politik praktis. Konsistensi HRS berada di jalurnya selama ini akan makin mengokohkan posisinya sebagai imam besar umat Islam yang kata-katanya didengar dan ditunggu umat.

Sebaliknya jika HRS tergiur keluar dari jalur dakwah, saat itu pula HRS akan kehilangan magnetnya dan secara perlahan juga akan merontokan citra personalnya sebagai panutan yang berani dan kritis kepada kedzoliman.

HRS harusnya banyak belajar dari tokoh-tokoh besar umat Islam sebelumnya seperti dai kondang sejuta umat (alm) KH Zainudin MZ yang pelan tapi pasti mulai ‘luntur’ citra dainya setelah resmi terpilih sebagai ketua umum Partai Bintang Reformasi (PBR).

Almarhum mulai redup dukungannya karena secara tidak sadar dia sudah mamasuki ruang terbatas dengan warna politik tertentu yang terbatas juga.

Begitu juga dengan pemikir besar umat Islam (alm) DR Nurcholis Madjid yang meredup image personal ketokohannya setelah tergoda ikut konvensi calon presiden yang digelar Partai Golkar.

Beruntung, Cak Nur sebagai cendekiawan muslim  mewariskan pikiran-pikiran segarnya dalam kontek pembaharuan Islam lewat aneka bukunya yang abadi sampai sekarang.

Yang harus dicatat oleh siapapun tokoh dengan ‘kekentalan warna’ agama tertentu, yang akan maju sebagai pemimpin nasional, akan berhadapan dengan realitas umum penganut ideologi yang cair dan terbuka. Bagi yang Islam, mayoritas Islamnya berkategori kultural, bukan ideologis.

Makanya tak heran, dalam sejarah politik Indonesia, sejak 1955, 1999, 2004, 2009, 2014,dan 2019, pemenang pemilihan umum dengan sistem yang lebih bebas,  baik partai maupun calon presiden selalu dari kalangan yang berkategori nasionalis. Minimal, nasionalis-regilius.

Apakah HRS akan mencoba mematahkan mitos politik itu dengan menjadi calon presiden dan wakil presiden atau menjadi pemimpin parpol? Sepenuhnya tentu berpulang kepada HRS dan para pendukung militannya. Yang pasti, prilaku pemilih politik di tanah air belum berubah sampai sekarang. Mayoritas berkategori penganut ideologi cair dan terbuka.

Karena itu tidak mudah untuk mengonversi dukungan militan HRS itu menjadi suara elektoral dalam Pemilu. Sebab, bisa jadi ekspresi dukungannya selama ini bukan karena mereka ingin HRS menjadi presiden, tapi lebih sebagai eksprsi rindu hadirnya pemimpin informal panutan moral dan spiritual.

Yang harus dicermati dari fenomena antusiasmenya dukungan kepada HRS itu adalah kemungkinan itu sebagai potret luapan  kekecewaan publik terhadap keadaan sekarang, bahkan mungkin kepemimpinan nasional saat ini. Sehingga, pada saatnya nanti, HRS akan menjadi “Rumah Penampungan” aneka kelompok yang tak puas dengan pemerintah saat ini.

Disinilah, kira-kira ujian berat seorang HRS, jika pada saatnya juga aneka dukungan itu berubah menjadi dorongan agar dia maju sebagai capres atau menjadi pemimpin parpol. Padahal, disitulah sebenarnya awal dari kerontokan figur besar HRS sebagai pendakwah. Bukan saja ditinggalkan jamaahnya, tapi juga potensial menjadi cibiran ‘lawan politiknya’.

Jakarta, Jumat (13/11)

*) Peneliti Senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA/Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA.

 

sumber: WA Group Guyub PWI Jaya (di share sebagai siaran pers)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *