Sekarang Pemerintah Utang ke Australia, Rizal Ramli: Indonesia Harus Utang untuk Bayar Bunga Bank

Menkeu Sri Mulyani Indrawati. foto: indopos.co.id

Pemerintah mengutang ke Australia senilai 1,5 miliar dolar Australia untuk biaya penanganan COVID-19 dengan masa pembayaran kembali selama 15 tahun. Pemberian pinjaman ini merupakan wujud kerja sama strategis yang komprehensif serta kemitraan yang kuat antara Australia dan Indonesia.

semarak.co-Menteri Kueangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pinjaman ini ditujukan untuk mendukung Program COVID-19 Active Response and Expenditure Support (CARES) yang dikoordinasikan oleh Asian Development Bank (ADB).

Bacaan Lainnya

Kemitraan ini tidak hanya menunjukkan kuatnya hubungan antara Australia dan Indonesia, tapi juga pemahaman sebagai negara tetangga bahwa kita mempunyai tujuan yang sama untuk pemulihan dan penguatan ekonomi dan bahwa kita tidak bisa pulih sendirian di tengah pandemi COVID-19,” kata Menkeu di Jakarta, Jumat (13/11/2020).

COVID-19, nilai Menkeu, memberikan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada wilayah Indo-Pasifik dan dunia. “Pinjaman ini akan digunakan untuk mendukung pembiayaan anggaran 2020 yang fokus pada pengendalian COVID-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional,” ungkapnya.

Australia dan Indonesia juga sangat terpengaruh oleh krisis kesehatan yang luar biasa ini, lanjut Menkeu, dimana tindakan pengendalian dan ketidakpastian telah menurunkan pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan internasional.

Pinjaman ini juga mencerminkan semangat dari kedua negara untuk secara bersama-sama menangani tantangan pandemi COVID-19 yang luar biasa, baik dalam melindungi masyarakat maupun membantu dunia usaha.

“Sebagai tetangga dekat, kedua negara saling membutuhkan dalam menghadapi ancaman pandemi COVID-19 serta perlu saling mendukung satu sama lainnya dalam masa yang sulit ini,” imbuh Sri Mulyani.

Australia dan Indonesia, klaim dia, akan terus melanjutkan kerja sama serta saling berbagi pengalaman untuk bersama-sama melangkah menuju pemulihan ekonomi.

Sementara itu Menkeu Australia Frydenberg menggarisbawahi bahwa Australia berkeyakinan Indonesia dapat menangani pandemi COVID-19 dengan baik serta melakukan pemulihan ekonomi yang cepat dan kuat, antara lain didukung oleh manajemen fiskal yang hati-hati.

“Indonesia dan Australia menghadapi pandemi COVID-19 ini sebagai mitra. Sebagai mitra, kami akan pulih bersama. Dalam semangat kemitraan inilah, Australia dan Indonesia menandatangani pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar Australia,” imbuh Frydenberg di Jakarta.

Dilanjut Menkeu Australia, “Dengan manajemen fiskal Indonesia yang penuh kehati-hatian, kami percaya bahwa pemulihan yang cepat dan kuat akan dapat dilakukan oleh Indonesia. Pemulihan ekonomi ini tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga penting bagi Australia dan Kawasan.

Mantan Menkeu M Chatib Basri mengatakan, pemulihan ekonomi Indonesia akibat dampak pandemi corona atau Covid-19 akan berlangsung agak lama. Menkeu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini memperkirakan selambat pemulihan ekonomi seperti bentuk ceklis dengan syarat tidak ada gelombang kedua Covid-19.

“Seandainya gelombang kedua tidak terjadi, mungkin kita akan mengalami pola dalam bentuk seperti lambang Nike,” ujar Chatib dalam video conference, Rabu (21/10/2020).

Pola tersebut, lanjutnya, mengartikan bahwa ekonomi Indonesia kemungkinan masih akan negatif pada dua kuartal terakhir tahun ini. “Jadi menyentuh titik terbawah di kuartal II, lalu mungkin masih negatif kuartal III, kuartal IV itu juga mungkin negatif atau nol persen,” kata Chatib.

Chatib Basri memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru benar-benar kembali positif pada kuartal I atau awal 2021. “Baru ekonomi kita akan positif mungkin di kuartal I tahun 2021,” pungkas Komisaris Utama PT Bank Mandiri yang menggantikan Kartiko Wirjoatmodjo yang kini jadi Komisaris utama Bank BRI.

Ekonom senior Rizal Ramli ikut menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pertumbuhan ekonomi pada kuartal III -2020 yang diperkirakan masih negatif dan membuat Indonesia resmi terkena resesi. Menurutnya, itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

Pasalnya, kata Rizal Ramli, sejak awal tim ekonomi tidak memiliki terobosan dalam membangkitkan perekonomian yang tengah terpuruk. “Tidak ada surprise sudah diperkirakan sejak awal 2020 karena kebijakan ekonomi super-konservatif dan neoliberal yang sudah gagal,” sindir Rizal Ramli di Jakarta, Selasa (3/11/2020).

Pertanyaan yang lebih penting, lanjut dia, apa yang akan dilakukan Jokowi adalah mengulangi cara yang sama yang telah berulang gagal, atau ubah strategi dan pecat Menteri Neoliberal dan KKN? Rizal sendiri menyatakan, perekonomian Indonesia masuk dalam resesi sejak kuartal II tahun 2020.

Penilaian Menko Ekuin pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu didasarkan pada rumusan yang lazim di dunia internasional. Hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I- 2020 sebesar 2,97% sudah mengalami kontraksi dua persen dibandingkan dengan kuartal IV 2019 yang tumbuh 4,97%.

“Kemudian pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi terkontraksi -5,32 persen atau minus 4,19 persen ketimbang kuartal I 2020. Kalau berdasarkan rumusan dunia internasional bila ekonomi terus merosot selama dua kuartal ya berarti resesi,” tutur RR, sapaan akrab Rizal Ramli.

Terkait resesi, RR menilai, sebenarnya sejak tahun lalu sudah banyak indikator yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia melemah terlepas ada atau tidaknya pandemi COVID-19.

“Sejak satu setengah tahun yang lalu, kami sudah ingatkan bahwa ada indikator-indikator yang menunjukkan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan baik secara makro eknomi dengan menggunakan indikator misalnya trade surplusnya makin mengecil,” kata mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman yang dicopot Jokowi.

Indikator lain yang menunjukkan ekonomi Indonesia melemah adalah transaksi berjalan defisitnya semakin lebar. Kemudian primary balance yang negatif, artinya untuk bayar bunga bank saja Indonesia harus utang.

“Kalau primary balance-nya positif itu tidak, tapi kalau satu negara hanya untuk bayar utang juga mesti ngutang itu negatif primary balance-nya dan ini adalah faktor perlambatan ekonomi,” ulasnya.

Tax ratio (penerimaan pajak dibanding PDB) sejak tahun lalu hanya 10% saat ini bahkan negatif. Ini menunjukkan otoritas fiskal tidak efektif. “Karena doyannya nguber (mengejar) yang kecil-kecil doang, sama yang gede-gede tidak berani justru dikasih tax holiday dan pembebasan pajak 20 tahun, dan sebagainya,” tuturnya.

Jadi, menurut Rizal, strategi menteri keuangan terbalik karena hanya fokus mengejar pajak kalangan menengah ke bawah atau yang kecil. Alhasil, tidak aneh jika penerimaan pajak menjadi kecil karena tidak fokus dengan yang besar. “Sehingga sejak satu setangah tahun yang lalu, semua indikator makro Indonesia sudah merosot dan ekonomi akan melambat,” jelasnya. (pos/net/smr)

 

sumber: indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *