HRS di Antara Pluralisme dan Radikalisme

Habib Rizieq Shihab dalam satu kesempatan. foto: internet

Andi W. Syahputra *

semarak.co-Dini hari hingga pagi kemarin suasana Bandara Soekarno Hatta terasa begitu berbeda. Ribuan massa dari berbagai daerah tumpah ruah sejak lewat tengah malam hingga pagi hari membanjiri Terminal 3 Kedatangan. Peristiwa langka pagi itu bukan peristiwa biasa.

Bacaan Lainnya

Tapi peristiwa politik, penjemputan Habib Rezieq Shihab (HRS) selepas diasingkan selama 3,5 tahun di Mekah, Arab Saudi. Tak heran bila Prof. Jimly Asshidiqi menyebut peristiwa pagi itu sebagai peristiwa fenomenal. Bukan saja peristiwanya namun HRS ,boleh dibilang sang fenomenal.

Dia seorang penggerak revolusi dakwah melampaui zamannya. Gerakan dakwahnya telah menimbulkan kekecewaan bagi penguasa terhadap sikap dakwahnya yang selama ini dinilai radikal, namun belakang ini kesan itu tak sepenuhnya luntur.

Oleh sebab itu, pemerintah justru banyak berharap kepulangannya kembali ke Tanah Air justru dibarengi dengan tawaran gagasan segar yang berbeda dengan warna dakwah sebelumnya.

Sebaliknya, pemerintah juga jangan begitu memaksakan agar HRS meninggalkan konsistensi dakwahnya terutama upaya dirinya memadukan perjuangan hak politik umat Islam dalam kehidupan syari’ah dengan semangat nasionalisme NKRI dalam bingkai Indonesia Bersyari’ah.

Kehadiran Front Pembela Islam (FPI) secara faktual telah meniupkan roh perjuangan politik ekstra parlementer bagi umat Islam Indonesia.. Kemunculannya disambut gegap gempita dikalangan masyarakat menengah-bawah.

Di luar aksi-aksi kemanusiaan dan dakwah yang konsisten dilakukan FPI, seperti aksi monumental 411, 212 sebagai reaksi umat atas penolakan terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok, boleh dibilang sebagai tur propaganda anti pemerintah yang dikomandoi oleh HRS.

Demostrasi itu tercacat sebagai aksi massa terbesar dalam sejarah Republik ini. Inilah kulminasi pergerakan massa umat Islam dalam jumlah besar-besaran yang kemudian dikembang biakan oleh tokoh-tokoh Islam lainnya untuk mengorganisir massa seperti Persaudaraan Alumni 212 dan GNPF-Ulama

Tak bisa dimungkiri, HRS meletakkan pondasi penting bagi gerakan umat Islam. FPI maupun organisasi turunannya dinilai jauh lebih radikal daripada ormas-ormas Islam lainnya. Tak cuma menyerukan syari’ah dimasukkan dalam sistem hukum formaldalam kedaulatan NKRI.

HRS juga mengusung reformasi politik nasional yang lebih beradab dan berkeadilan. Khutbah-khutbah dakwah yang selama ini disampaikan cukup keras dinilai oleh sebagian golongan memicu permusuhan diantara sesama anak bangsa.

Setiap khotbah dakwahnya mengundang curiga pemerintah. Tak pelak, HRS dicap sebagai agitator berbahaya. Dia menjadi figur fenomenal yang mampu menggetarkan kekuasaan pemerintahan siapa pun.

Jadi, taklah mengherankan bila pemerintah menganggap pandangan politik HRS yang kerap disampaikan lewat organisasi dakwahnya FPI cukup berbahaya bagi penguasa siapa pun.

Karena itu, tak heran apabila beragam upaya kriminalisasi lewat operasi kriminal dicoba untuk dilakukan hanya sekadar menolak kehadiran HRS bersama FPI dengan dalih mengancam keamanan dan ketertiban umum.

Dari serangkaian wawancara singkat penulis dengan beberapa warga masyarakat yang dilakukan secara acak, ternyata bagi masyarakat menengah-bawah justru kehadiran HRS dinilai punya pengaruh besar bagi perubahan kehidupan sosial lingkungan daerah tersebut.

Serangkaian safari dakwah hingga pelosok kampong di seantero negeri dari Sabang hingga Merauke yang dilakukan HRS ternyata telah menyadarkan dan membangkitkan kembali rasa ke-Islaman kaum muda setempat dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Adanya dukungan massa kelompok marjinal dari berbagai daerah yang kemudian berinteraksi dengan sejumlah ulama-ulama maupun pengusaha-pedagang lokal telah menjadikan basis bagi gerakan HRS selanjutnya.

Syariah sebagai Kekuatan Pluralisme

Terlepas dari pola gerakan dakwah yang diusung oleh HRS selama ini, sepanjang masih dalam batas-batas koridor konstitusional dan hukum yang berlaku, pemerintah mesti menjamin terlaksananya kebebasan berorganisasi dan berpendapat yang dijamin secara konstitusional.

Sebaliknya, HRS sendiri mesti pula memahami dan memastikan dakwah yang disampaikannya tidak merusak keragaman etnik, agama dan budaya yang menjadi modal besar bagi tegaknya pondasi NKRI ini.

Dakwah dalam rangka mewujudkan Indonesia Bersyari’ah yang berkeadilan diyakini tak akan mampu merusak tatanan keberagaman yang selama ini telah dibangun secara inklusif.

Mengutip pemikiran Nurcholish Majid, kemajemukan bangsa Indonesia merupakan dekrit Allah dan desain-Nya. Bangsa Indonesia tidak bisa dipaksakan sebagai bangsa yang monolitis, lantaran tak ada masyarakat yang tunggal.

Monolitik sama dan sebangun dalam segala aspek khidupan berbangsa dan bernegara di mana masing-masing memiliki kesetaraan dalam mengaktualisasikan hak-hak politik kebangsaannya.

Lantas, pertanyaan berikutnya yang patut diajukan adalah, apakah HRS anti keberagaman? Menelisik dari serangkaian pesan-pesan dakwah yang disampaikannya terutama membaca dan memahami pemikirannya yang tertuang dalam Tesis Masternya yang berjudul ‘Pengaruh Pancasila Terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia” ternyata dia mengakui bahwa keberagaman itu pula yang menjadi cikal bakal lahirnya NKRI.

Namun menurutnya, sebagai dasar Negara Pancasila tidak pernah melarang penerapan syariat Islam di Indonesia sepanjang diperjuangkan melalui koridor konstitusional. HRS menegaskan, suatu hal keliru jika ada yang menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila tidak boleh memberlakukan hukum Islam.

Pancasila tidak melarang pemberlakuan penerapan syariat Islam, dan Pancasila membuka pintu selebar-lebarnya untuk pemberlakuan hukum agama di Indonesia selama dilakukan secara konstitusional.

Menurutnya, dua organisasi besar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memperjuangkan nilai-nilai syari’ah dalam perjuangan organisasinya. Menurutnya, pola dakwa FPI adalah duplikasi daripada gerakan NU dan Muhammadiyah selalu berupaya memasukkan nilai-nilai Islam dalam perundang-undangan dan hukum formal secara konstitusional.

Dalam bagian lain tesisnya, tegaknya syariat Islam di Indonesia dapat terbagi empat klasifikasi. Pertama adalah hukum soal perorangan, berkaitan hukum perorangan, seperti salat, puasa, zakat, haji, kurban, dan lain sebagainya.

Itu sudah berlaku dan sudah berjalan di Indonesia sejak dulu sampai sekarang. Kedua berkaitan dengan rumah tangga, seperti hukum perkawinan, perceraian, hak kewajiban suami-istri, hak asuh anak, hingga hukum waris.

Hukum Islam yang berkaitan dengan keluarga bukan suatu larangan untuk diperjuangkan dan diberlakukan dalam rumah tangga muslim. Bahkan oleh negara sendiri hal demikian selama ini diizinkan, dilegalkan, dan bahkan disediakan perangkat hukumnya seperti Pengadilan Agama, ada kompilasi hukum Islam yang secara legal formal keberadaannya diakui oleh negara.

Ketiga, soal hukum Islam yang berkenaan dengan sosial-kemasyarakatan, termasuk pendidikan dan ekonomi. Menurutnya, tidak ada satu item dan klausul dalam perundang-undangan Indonesia yang melarang pemberlakuan hukum secara Islam dalam bidang tersebut. Bahkan saat ini ada perbankan syariah, asuransi syariah, Pegadaian syariah. Kemudian pendidikan ada madrasah, pesantren, itu semua legal diakui oleh Negara.

Keempat, soal hukum Islam berkenaan dengan otoritas negara. HRS membahas kaitan hukum pidana Islam disinergikan dengan kompilasi kitab hukum pidana. Umpama pencuri, (hukumannya) dipotong tangan. Pemabuk dicambuk dan sebagainya. Hukum-hukum ini tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri, ini harus negara yang menjalankannya.

Empat klasifikasi tegaknya syari’ah Islam versi HRS tersebut yang diklaim sebagai aspirasi politik sebagian umat Islam yang diperjuangkan oleh FPI sudah barang tentu mesti diperjuangkan lewat politik konstitusional.

Namun bukan berarti tuntutan semacam itu lantas dimaknai sebagai gerakan politik yang hendak menghidupkan kembali prinsip-prinsip hukum Islam dalam hukum positif Negara. Terlepas setuju tidaknya, aspirasi yang ada ini mesti diakomodir sebagai dinamika keberagaman yang hidup di tengah masyarakat.

Pemerintah tidak boleh menutup rapat kenyataan aspirasi semacam ini. Pengalaman yang pernah terjadi, konflik horizontal justru bersumber dari perlakuan diskriminasi dan ketidakadilan penguasa terhadap kelompok tertentu Kesetaraan politik merupakan beragaman mengukuhkan persatuan sebagai satu bangsa yang menjadi kunci kokohnya NKRI.

Dalam berbagai kesempatan komitmen untuk setia kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 kerapkali ditonjolkan dalam aksi-aksi FPI di mana lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan beriringan dengan shalawat Nabi.

Sebab bagaimana pun, HRS dengan FPInya mesti menyadari bahwa keberagaman merupakan syarat mutlak untuk menciptakan Indonesia yang kokoh dan berwibawa. Nilai-nilai ke-Islaman sangat menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi yang mesti dicontohkan dalam kehidupan berbangsa.

PENUTUP

Kepulangan HRS kembali ke Tanah Air yang ditandai dengan peristiwa fenomenal dan langka sejatinya mesti dimaknai penguasa bukan sebagai sosok yang akan kembali membuat keonaran politik.

Hidup selama 3,5 tahun dalam pengasingan di Arab Saudi sebagai upaya memutus rantai akses politik umat dinilai bukan solusi pamungkas Seperti terlihat dalam prosesi penyambutan di Bandara Soetta kemarin, justru kehadiran HRS sangat dinantikan umatnya. FPI seolah-olah merupakan manifestasi dari karakter dakwah HRS.

Sementara HRS adalah ulama progresif yang mencoba memadukan warna politik dalam dakwahnya sehingga membuat gerakan politik dakwah tanpa teori atau terkesan gamblang sehingga lebih bersifat praktis.

Oleh karenanya tak cuma klaim srmata penguasa, mayoritas warga pun mengakui dakwah HRS lebih radikal dibandingkan ulama-ulama lainnya. Ini karena jiwa HRS yang penuh perlawanan. Semangat perlawanan ini terutama ditanamkan kepada anggota dan simpatisan FPI yang kian massif jumlahnya.

Namun bagi HRS sendiri, FPI lebih merupakan alat perjuangan propaganda politik bukan ideology politik. Dia memang sangat piawai dalam soal propaganda politik, terutama lewat orasi-orasi dakwahnya dan pengorganisasian demonstrasi massal.

Inisiatif HRS ini telah menjadi panutan bagi banyak aktivis Islam Islam lainnya untuk melakukan hal serupa, baik dalam materi dakwah maupun cara berdemonstrasi yang berkaitan dengan isu-isu politik kebangsaan dan umat.

Lantas, dengan sosok yang multi dimensi seperti itu apakah pantas dia diasingkan dan dianggap tokoh yang berbahaya? Rasanya tidak juga. Negeri ini butuh tokoh kharismatik yang mampu berlaku sebagai penyambung lidah kelompok yang termarjinalkan secara kekuasaan. Dia menjadi kekuatan check and balances bagi penguasa.
Wallahu’alam bi sawab

 

sumber: WA Group Keluarga Alumni HMI MPO (post Rabu 11/11/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *