Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memastikan tak ada lagi perempuan dan anak yang tertinggal setiap pembangunan desa. Menyusul digulirkannya program Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak sekaligus jumpa wartawan secara virtual dari Jakarta, Rabu (11/11/2020).
semarak.co-Kemendes PDTT memulai program SDGs Desa yang memastikan tidak ada lagi perempuan dan anak yang tertinggal dari segenap aksi pembangunan desa. Ini tertuang pada Peraturan Menteri Desa PDTT No 13/2020 bahwa Rp 72 triliun dana desa tahun 2021 diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan SDGs Desa.
Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar mengatakan, hendak diwujudkan Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak. Telah disiapkan dari konsep, pengukuran, hingga contoh kegiatan di desa, sehingga memudahkan desa untuk mengimplementasikannya.
“Desa Ramah Perempuan bakal didukung APK SMA/SMk/MA/sederajat mencapai seratus persen. Saat ini sudah disiapkan konsep hingga contoh kegiatan di desa,” imbuhnya.
Sehingga, kata dia, bisa memudahkan terwujudnya kedua program tersebut. “Selain itu untuk membentuk Desa Ramah Perempuan adalah menekan angka kekerasan terhadap perempuan hingga nol persen,” ujar Abdul Halim dalam rilis Humas Kemendes PDTT.
“Kasus kekerasan perempuan di kota tinggi, kalau di desa cenderung kasus perkosaan. Untuk itu, dalam program ini, Kemendes PDTT ingin menciptakan persentase nol persen untuk angka kelahiran remaja usia 15-19 tahun,” terangnya.
Seperti diketahui, kondisi anak-anak desa semakin baik sejak diundangkannya UU 6/2014 tentang Desa. Bahkan kesehatan dan pendidikannya sudah serupa anak-anak kota. Sepanjang 2012-2017 angka kematian bayi di desa turun 40 permil menjadi 23 permil, padahal di kota hanya dari 26 permil ke 24 permil.
“Angka kematian balita di desa turun drastis 52 permil menjadi 33 permil, sudah mendekati kota yang hanya turun 34 permil menjadi 31 permil,” ujar Abdul Halim.
Angka partisipasi murni (APM) anak-anak desa pada 2019 pada 97 persen, sedang di kota 98,18 persen. “Kondisi pendidikan perempuan awalnya setara laki-laki, kata dia, namun perbedaan struktural mulai muncul sejak bekerja,” ujarnya.
Antara tahun 2015-2016, perempuan usia 17-19 tahun yang bersekolah menengah atas naik dari 79,77 persen menjadi 81,29 persen, sementara laki-laki dari 76,40 persen menjadi 80,51 persen. Namun, kata Menteri Desa, ketika meniti pekerjaan, pada 2019 hanya 30,63% jabatan manajer diduduki perempuan. (smr)