Oleh Abu Bakar Bamuzaham dan Hendrajit *
semarak.co– “Yusuf berkata: Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf: 47).
Penjelasan Ayat ini adalah bagian dari kelebihan Nabi Yusuf AS yang mampu menakwilkan mimpi sang raja, dimana akan datang masa paceklik panjang selama 7 tahun, maka untuk menghadapi itu kalian agar bertani gandum selama tujuh tahun berturut-turut dan sungguh-sungguh.
Kemudian, ketika menuai hasilnya, simpanlah buah itu bersama tangkainya. “Ambillah sedikit saja sekadar cukup untuk kalian makan pada tahun-tahun itu dengan tetap menjaga asas hemat.”
Ayat Al Quran ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern bahwa membiarkan biji atau buah dalam tangkainya saat disimpan akan mampu mengawetkan dan mencegah kebusukan lebih lambat.
Bahkan lebih dari itu, bulir dalam tangkainya itu akan tetap memelihara zat-zat makanan secara utuh dan lebih tahan lama. Dan ternyata dengan cara inilah leluhur bangsa kita bisa memiliki kekuatan kedaulatan pangan.
Di kampung adat Ciptagelar, saya sempat disuguhi makan dengan beras dari gabah yang sudah berusia lima tahun, ungkap Kang Eep dalam sebuah blog nya. Dahulu sewaktu saya kecil, ayah saya memanen padinya dengan cara menggunakan étém (ani-ani).
Saya paling suka melihat saat ayah saya “mangkek” (mengikat) tangkai-tangkai padi dengan tali bambu. Sayangnya kami saat itu tidak punya leuit (lumbung) padi, jadi ayah saya menyimpannya di goah (gudang pangan) di rumah.
Namun sekarang tidak demikian, padi dirontokkan langsung jadi gabah, dijemur, dan kemudian digiling jadi beras. Prosesnya tidak terlalu lama dari sejak dipanen (kang eep).
Beras kemudian disimpan di gudang. Tak lama kemudian, kutu dan jamur mulai hadir, setelah 6 bulan, beras yang digudang pun dibersihkan kembali, disemprot pengusir kutu, dan diputihkan kembali.
Sangat jauh kualitasnya dibandingkan beras yang baru digiling, sambung kang eep,
Tukang Dongeng Pertanian.
Bila kita tarik pembahasan ini dalam forum kajian Geopolitik, maka ayat Al Qur’an Surah Yusuf diatas seolah membedah informasi bahwa ada tata kelola pangan kita yang salah, yang menyebabkan kita terjebak menjadi negara yang tak memiliki kedaulatan pangan.
Ketika kedaulatan pangan sebuah negara telah rontok, otomatis rakyat telah tergadai.
Inilah potret kolonialisme gaya baru yang berjalan senyap.
Kendalikan minyak, maka anda akan mengendalikan negara, kendalikan “pangan” (food) maka anda akan mengendalikan rakyat”. Tutur Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.
Hari ini yang terjadi adalah gabah dari petani langsung dijual, dikeringkan, digiling jadi beras, agar cepat dijual, dapat uang, beli motor, beli ponsel, beli pulsa, beli quota internet, yang mahalnya ga ketulungan.
Alangkah sedihnya, jika saya ingin membeli sebuah iPad, saya harus menjual hasil singkong saya tidak kurang dari 1 hektar setelah saya tanam selama 9 bulan jelas kang eep, pemilik situs “ciletuhpalabuhanratugeopark” ini.
Asas berhemat, mungkin saat ini sudah sulit ditemukan, belum lagi adanya sistem Greedy (memilahkan jenis beras berdasarkan grade) yang menyebabkan hancurnya nilai spiritual dan nilai-nilai kearifan leluhur (Kang Eep).
Indonesia ini sejatinya memiliki peluang besar menjadi pemain handal di kawasan Asia Pasifik bahkan dunia. Mengapa?
Karena Indonesia memiliki peluang sebagai negara lumbungnya raw material dunia, syurga investasi di segala bidang.
Semua sarana dan prasarana power ekonomi ada di Indonesia. Namun sayang, karena kita telah terjebak mekanisme ekonomi liberalisme, maka kita justru terjebak dengan tata kelola aturan yang secara tidak sadar.
*) penulis adalahPeneliti Senior Global Future Institute (GFI)
sumber: ANIES GUBERNUR DKI (post 19 Mei 2020)