Serikat buruh di sektor ketenagalistrikan mendesak pembatalan Undang-Undang (UU) Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR bersama Pemerintah, Senin malam (5/10/2020) ditetapkan dalam paripurna DPR di gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, besok Kamis (8/10/2020).
semarak.co– Ketua Umum PP Indonesia Power PS Kuncoro menilai, UU Cipta Kerja berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam Subklaster Ketenagalistrikan. Sebab, putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja.
“Hal ini akan berujung pada kenaikan tarif listrik ke masyarakat. Presiden harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan perppu untuk menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan atau malah dibatalkan sekalian,” kata Kuncoro di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Ancaman lainnya di sektor ketenagalistrikan adalah dihapuskannya peran DPR, yaitu hak dalam konsultasi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Kuncoro mengatakan hal ini menyalahi prinsip check and balance. Selain itu, dihapusakannya hak konsultasi RUKN dapat mengakibatkan aspirasi dan peran masyarakat tidak tersalurkan.
Dengan demikian, perencanaan-perancanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. RUKN juga berperan penting dalam penentuan harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan pembangkit tenaga listrik.
Campur tangan para wakil tangan dalam kebijakan energi primer menjadi sangat penting dalam pembahasan RUKN. ”Pada ujungnya tarif listrik akan berdampak juga terhadap ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Ancaman berikutnya terkait masuknya Pasal 10 Ayat (2) tentang Unbundling sektor pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Juga Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha swasta dalam penyediaan listrik.
Hal ini menyalahi keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 bahwa ketentuan Pasal 10 dan 11 tidak memiliki kekuatan hukum. Pertimbangan MK dalam putusan itu ialah Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) menghilangkan fungsi kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat Indonesia, dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara.
“Karena itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi, beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat,” kecam Kuncoro.
Sebelumnya Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja. Merekapun siap mendukung upaya hukum untuk membatalkannya melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum DPP SP PLN M. Abrar Ali menjelaskan, DPP SP PLN telah menginstruksikan kepada seluruh Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Anak Cabang (DPAC) Serikat Pekerja PT PLN (Persero) dari Tanah Aceh sampai Tanah Papua baik Pengurus maupun Anggota untuk melaksanakan Instruksi Organisasi.
“Di antaranya melakukan doa bersama untuk kepentingan para pekerja seluruh Indonesia agar UU Cipta Karya atau Omnibus Law tersebut segera dibatalkan,” desak M Abrar, di Jakarta, Selasa (6/10/2020).
Kemudian memasang spanduk penolakan UU Cipta Kerja di seluruh kantor atau unit kerja PT PLN dari Tanah Aceh sampai Tanah Papua. Demo aksi turun ke jalan bersama peserta demo aksi lainnya dari elemen-elemen unsur serikat pekerja/buruh maupun organisasi masyarakat yang perduli dengan hak-hak pekerja Indonesia.
Imbauan untuk melakukan demo aksi turun ke jalan tersebut dilakukan secara perwakilan per zona. Atau wilayah bagi pengurus atau anggota yang bisa ikut berpartisipasi dengan membawa atribut-atribut organisasi SP PLN dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi di masing-masing daerah
Dan melalui koordinasi dengan DPP SP PLN juga mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mentaati prosedur/protocoler kesehatan pencegahan penularan wabah COVID-19.
“Mendukung dan ikut serta dengan berbagai elemen Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan elemen masyarakat lainnya untuk dilakukannya uji materiil atau Judicial Review Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” jelas Abrar.
Terkait rencana mogok nasional, Abrar menjawab, SP PLN menilai bahwa belum saatnya untuk menginstruksikan hal tersebut kepada seluruh pengurus dan anggotanya. Walau SP PLN punya dasar untuk melaksanakan mogok kerja dikarenakan terhentinya perundingan PKB antara SP PLN dengan Direksi PLN sejak September 2016.
“Namun meskipun begitu SP PLN tetap berkomitmen untuk mendukung Aksi Penolakan UU Cipta Kerja tersebut selama dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Abrar.
Dan untuk itu SP PLN, kata dia, telah menunjuk Wakil Sekjend II Parsahatan Siregar sebagai PIC atau Koordinator yang bertanggung jawab mengkoordinir semua kegiatan yang akan dilakukan oleh SP PLN dalam rangka Menolak UU Cipta Kerja.
SP PLN, kata dia, akan segera berkoordinasi dengan beberapa elemen serikat pekerja/buruh lainnya maupun dengan federasi serikat pekerja yang ada guna bersama-sama menyiapkan upaya hukum untuk melakukan uji materil atau Judicial Review ke MK.
“SP PLN yakin bahwa hal tersebut akan membuahkan hasil, selama semua pihak saling mendukung untuk melakukan upaya tersebut. Dan diiringi dengan doa dari seluruh masyarakat Indonesia khususnya para pekerja/buruh beserta keluarganya,” pungkasnya. (net/pos/smr)