RUU Omnibus Law Jadikan Masyarakat Indonesia Jongos, Ini Beda PAN dan Demokrat

Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan. foto: internet

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law sejatinya merupakan instrumen pamungkas untuk benar-benar menjadikan masyarakat Indonesia sebagai jongos di negeri sendiri. Demikian dikatakan Guru Besar Institute Teknologi Surabaya (ITB) Prof Daniel Mohammad Rosyid dalam artikel berjudul Omnibus Lawan Cipta Jongos.

semarak.co– “Posisi tenaga kerja dalam rancangan RUU Omnibus Law ini makin lemah dalam menghadapi pemilik modal. Buruh harus segera diingatkan bahwa mereka akan diperalat kaum komunis baru untuk mewujudkan rencana-rencana kotornya,” terang Prof Daniel.

Bacaan Lainnya

Kaum komunis, nilai Daniel, sanggup mengahalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya bahkan dengan cara-cara yang haram dan biadab sekalipun termasuk indoktrinasi massal melalui persekolahan dan riba.

Tujuan utama RUU Omnibus Law adalah mempermudah investasi yang dalam kesempitan finansial saat ini serta sistem keuangan ribawi akan sangat didominasi oleh asing.

“Rezim penguasa saat ini bahkan di tengah pandemi, berupaya melalui prosedur legislasi yang mencurigakan untuk mempermudah investasi asing serta kedatangan tenaga kerja asing ke Indonesia di hampir semua sektor penting yang oleh UU lainnya sudah diliberalkan,” jelas Daniel.

Selain itu, ia mengatakan, melalui UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, rezim ini telah mulai menyekolahkan pesantren. “Pesantren bakal kehilangan kemandiriannya, baik secara kurikulum maupun keuangannya,” kecamnya.

Persis seperti persekolahan massal paksa milik pemerintah sebagai instrumen teknokratik penyiapan masyarakat buruh yang sekuler, Daniel menyebut, pesantren akan direposisi sebagai bagian dari mesin penjongosan massal.

RUU Cipta Kerja bertujuan membuat iklim invetasi yang menarik bagi investor ke tanah air. RUU ini merupakan perampingan dari setidaknya 79 UU dengan 1.244 pasal serta 11.

Meskipun Fraksi PAN memahami dan menyetujui disahkannya RUU menjadi UU, namun Fraksi PAN memiliki sejumlah catatan kritis. Catatan-catatan kritis ini telah disampaikan dalam rapat-rapat panja yang sudah dilaksanakan.

“Catatan-catatan kritis ini kami himpun dari masyarakat. Ini adalah akumulasi dari aspirasi yang disampaikan kepada Fraksi PAN,” demikian bunyi Pernyataan Media Fraksi PAN Terkait Pengesahan RUU Cipta Kerja yang tersebar di kalangan media bahkan media social, Senin (5/10/2020).

Namun harus disadari, lanjut pernyataan itu, Fraksi PAN tentu tidak bisa sendiri dalam menyuarakan dan memperjuangkannya. Karena itu, tidak heran jika tidak semua catatan kritis itu bisa diakomodir dan dimasukkan dalam UU.

“Adapun catatan-catatan kritis Fraksi PAN, antaralain, pembahasan RUU Cipta Kerja ini terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Karena itu, tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa hasil dari RUU ini kurang optimal.

Karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas,” itu pernyataan yang diakhirnya atas disebutkan Pelaksana harian (Plh) Ketua Fraksi PAN, Wakil Ketua MKD, Anggota Komisi IX, Dapil Sumut II Saleh Partaonan Daulay.

Selain diterangkan dari sektor kehutanan, pertanian, bidang ketenagakerjaan, dan lain-lainnya. Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak.

Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Seperti diberitakan, sejumlah pesohor ikut mengkampanyekan Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dibahas di DPR. Kampanye dengan tagar #IndonesiaButuhKerja lewar media sosial ini, pesohor menerima bayaran dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per unggahan.

Musisi Ardhito Pramono mengakui menerima bayaran untuk mengangkat #IndonesiaButuhKerja. Kepada Tempo, Ardhito mengatakan dihubungi dan dibayar Rp 10 juta untuk setiap cuitan. Kala itu, dia tidak tahu menahu bahwa tagar #IndonesiaButuhKerja berkaitan dengan Omnibus Law yang ramai dikritik publik.

Ia sempat bertanya ke pihak yang menawarkan ‘pekerjaan’ itu soal tujuan kampanye ini. Yang bersangkutan memastikan tagar tersebut tidak ada kaitan dengan politik hanya untuk menenangkan masyarakat di tengah wabah Corona.

“Atas ketidaktahuan dan seakan seperti nirempati kepada mereka yang memperjuangkan penolakan terhadap RUU ini, saya mohon maaf,” kata Ardhito seperti dikutip Koran Tempo, Sabtu (15/9/2020).

Pada 12 Agustus lalu, 21 artis dan selebritas membuat status yang berisi tagar #Indonesiabutuhkerja. Presenter Aditya Fadilla melalui akun twitter @adit_insomnia menyatakan mendapat tawaran dari teman dekat satu profesi dengan bayaran Rp 5 juta per unggahan.

Uang itu akan segera dikembalikan. “Saya sudah komunikasi sama teman yang menawarkan pekerjaan ini untuk mengembalikan duit yang saya terima,” kata dia.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mengatakan pemerintah tidak pernah membayar influencer medsos untuk mengkampanyekan RUU Cipta Kerja. Ia menambahkan Istana tidak tahu menahu soal pengerahan pesohor itu.

Partai Demokrat begitu tegas, kencang dan gencar mengkritisi RUU Ciptaker ini. Fraksi Partai Demokrat bahkan meminta RUU Ciptaker ini dihentikan. Fraksi ini dengan tegas menolak RUU tersebut.

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menyarankan pemerintah harus mendengarkan aspirasi rakyat soal RUU Cipta Kerja. Keterlibatan rakyat dalam setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang akan diterbitkan diperlukan karena pemerintah ditugaskan bekerja kepada rakyat.

“Pemerintah dan DPR RI tidak boleh memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mengesahkan UU yang tidak diinginkan karena merugikan rakyat. Banyaknya penolakan dan aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat menunjukkan RUU Cipta Kerja harus lebih mewadahi aspirasi rakyat,” kata Syarief Hasan Minggu (4/10/2020).

Pemerintah seharusnya hadir untuk memberikan teladan dan pelayanan perlindungan terbaik bagi rakyat, bukannya mempersulit rakyat dan berpihak kepada pengusaha. “Bahkan keberpihakan kepada tenaga kerja asing lewat RUU Cipta Kerja yang dibahas di tengah pandemi Covid-19,” kata dia.

Politikus Partai Demokrat ini menuturkan Bank Dunia dalam laporan berjudul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery pada Rabu 29 Juli 2020 juga menyoroti tiga poin RUU Cipta Kerja.

Tiga poin itu adalah klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan. “Revisi terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law memiliki potensi mengurangi perlindungan yang diberikan terhadap pekerja,” kata Hasan, mengutip salah satu isi laporan Bank Dunia.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, penggunaan tenaga kerja asing akan tetap sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan namun ada penambahan terkait klaster keimigrasian dalam RUU omnibus law itu.

“Aturan itu, dibuat agar calon investor dan orang yang akan menjadi pengurus perusahaan dalam posisinya sebagai komisaris maupun direksi, wajib mengikuti aturan ketentuan yang telah diputuskan dalam UU Keimigrasian,” ujar Supratman, dari Fraksi Gerindra dalam rapat panitia kerja RUU Cipta Kerja di Jakarta, Sabtu (26/9/2020).

Namun, Hasan menilai, aturan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja akan membuat penggunaan TKA semakin besar. Selain itu, menurut anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu, RUU Cipta Kerja akan semakin mempermudah perusahaan melakukan PHK, pasalnya sanksi terhadap perusahaan yang melanggar aturan RUU omnibus law itu hanya bersifat hukum administratif.

Ketua Umum Partai DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono bersuara agar regulasi ini dihentikan. Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat asal daerah pemilihan Banten tiga (Tangerang raya), yakni Zulfikar Hamonangan.

“Saya menilai RUU Cipta Kerja belum saatnya dibuat. Saat ini masyarakat sedang berjuang menghadapi kondisi kesehatan masing masing dan pemulihan dari situasi covd-19,” kata Bang Zul, sapaannya, ketika dihubungi, Minggu (4/10/2020).

Bang Zul meminta pemerintah seharusnya maksimal berjuang dan fokus dalam penanganan pandemi covid-19 dengan membuat RUU Virus Corona. Bukan malah menambah resah pikiran masyarakat.

“Ini malah dapat menimbulkan dampak psikologi yang tidak baik di masyarakat nantinya. Kami di Fraksi Demokrat DPR tegas mempunyai sikap tak setuju dan menolak. Ini pun secara tegas disampaikan Ketua Umum kami, Mas AHY,” Bang Zul.

Kepala Badan Pembinaan Jaringan Konstituen DPP Partai Demokrat ini menambahkan, “Kami menilai RUU tersebut tidak layak untuk dibahas di saat keresahaan masyakat saat ini, di mana iklim usaha banyak mengalami penurunan dan bahkan banyak yang bangkrut. Penganguran pun terjadi di mana-mana akibat situasi covid-19 saat ini.”

Ia menilai, RUU Cipta Kerja dapat berdampak psikologi yang kurang baik di masyarakat. Ia pun mengkritisi atas isi yang ada di dalam RUU tersebut, yakni :

  1. Mengurangi jam istrirahat pekerja dan hari libur pekerja.
  2. Perhitungan upah yang dilakukan berdasar satuan waktu atau jam kerja yang diubah.
  3. Pekerja kantoran ada sama statusnya dengan pekerja lainnya yang ada diproduksi dan posisi lain.
  4. Menjadi kabur terhadap hak pesangon dan PHK dapat berakibat tidak menerima hak tersebut.
  5. Sanksi pidana terhadap pengusaha yang tidak bayar pesangon dihilangkan.
  6. Ketentuan kenaikan upah pekerja atau buruh di tingkat kabupaten/kota dihilangkan, yang ada hanya UMR pada tingkat provinsi.
  7. Jam kerja pekerja ditentukan pengusaha dengan aturan RUU Cipta Kerja.
  8. Jam istitahat dihilangkan.
  9. Bentuk jaminan sosial yang diubah dalam bentuk lain dan dapat diganti dengan bentuk jaminan sosial lainya.
  10. Jika RUU ini dipaksakan dan disahkan dapat terjadi perhitungan upah dibuat per jam dengan sistem target.

“Banyak hal yang merugikan kepentingan pekerja atau buruh. Oleh karena itu, kami Partai Demokrat dengan tegas menolak RUU tersebut. Kami tidak akan hadir dalam pembahasan dan kami akan terus bersama buruh untuk menentang RUU tersebut,” tegas Bang Zul.

Ketua SPSI Provinsi Banten Dedi Sudrajat pun sudah sejak awal munculnya omnibus law ini melakukan penolakan. Beberapa kali, ia dan elemen pekerja dan buruh di Banten melakukan aksi unjuk rasa penolakan. “Kami menilai RUU ini tidak memihak pekerja dan buruh. Oleh karena itu, kami menolak dengan tegas,” kata Dedi.

Beredarnya atau share link berita terkait dibumbui komentar pengirim maupun penerimanya pada link dalam media social (medsos) baik personal maupun WA Group itu. Antara lain berbunyi:

Kalau artis aja dibayar Rp10 juta untuk tiap unggahan yang mendukung Omnibus Law, lalu berapa harga tanda tangan tiap anggota DPR…?

Kemudian ada kalimat begini: semua rakyat buruh Islam, sdh menyatakan bahwa haram hukumnya besok pemilu/pilkada/pilpres memilih partai2 pembuat dan pendukung undang2 omnibuslaw

  1. PDI P
  2. GOLKAR
  3. GERINDRA
  4. NASDEM
  5. PKB
  6. PAN
  7. PPP

Partai2 pengkhianat bangsa, pengkhianat rakyat. DPR sekarang bukan wakil rakyat, tapi kaki tangan cukong,kaki tangan China Komunis Tiongkok. Semoga yg makan uang haram dari menyengsarakan rakyat Indonesia segerakan di adzab Allah Taala

Aamiin ya rabbal allamiin

Yang ini komentar dari share link berita dengan narasumber Syarief Hasan, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Demokrat. “Alhamdulillah MPR masih waras pro rakyat, mengingatkan pemerintah dan dpr membuka kuping! Mendengarkan suara rakyat !!! ~kappak

 

sumber: suaranasional.com/tempo.co di WA Group KAHMI Nasional

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *