Oleh Dr Agung Sudjatmoko, MM *
semarak.co– Kebijakan peningkatan mutu pendidikan terus mengalami dinamika silih berganti. Mulai dari soal penerimaan siswa baru (sekarang PPDB), pergantian kurikulum, proses pembelajaran pendidikan, peningkatan kualitas guru, sampai masalah ujian nasional dan ujian sekolah.
Bahkan yang paling memberikan beban berat adalah masalah sekolah gratis, dimana pejabat seakan-akan dengan mudah mengumumkan bahwa sekolah semua jenjang pendidikan gratis.
Pergantian kebijakan ini semua bermuara pada beberapa alasan atau tujuan antara lain 1) peningatan mutu pendidikan, 2) penyempurnaan sistem pendidikan, 3) memberikan akses luas layanan pendidikan. 4) peningkatan mutu pendidikan atau terkait dengan 5) meningkatkan daya sumber daya manusia output lembaga pendidikan.
Akan tetepi kenyataan di masyarakat muncul banyak persepsi akibat dari berbagai perubahan kebijakan tersebut. Masih ingat betul tentang idiom ganti menteri ganti kebijakan, pejabat tidak paham dengan pendidikan dan salah mengambil kebijakan serta berbagai persepsi yang ada di masyarakat.
Tarik menarik kepentingan menjadi salah satu pemicu berbagai perubahan kebijakan pendidikan. Kepentingan politik, pencitraan, subtantif peningkatan mutu pendidikan, atau berbagai kepentingan beradu dalam dimensi kebijakan tersebut.
Kondisi ini secara teoritik jauh menyimpang dari konsep mutu pendidikan yang membutuhkan keterpaduan kesepadanan. Mutu pendidikan harus disusun untuk mewujudkan tujuan sistem pendidikan nasional.
Dalam UU Sisdiknas Nomor 23 Tahun 2003 ditegaskan di pasal 1 ayat 1 sebagai berikut Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Ini menegaskan tentang proses pendidikan yang harus dilakukan secara komprehensip untuk mewujudkan pengembangan kemampuan peserta didik secara paripurna sebagai manusia Indonesia yang utuh. Pendekatan proses pendidikan seperti taksonomi Bloom harus dilakukan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan prikomotorik, pada dimensi individu, makluk sosial, ekonomi, maupun religius.
Untuk bisa mewujudkan manusia paripurna melalui sistem pendidikan yang ada maka sistem pendidikan menjadi tanggung jawab negara/pemerintah dan masyarakat yang terdiri dari orang tua, organisasi masyarakat dan dunia usaha sebagai stakeholder pendidikan.
Ini adalah amanat UU Sisdikans pasal 4 ayat 6 bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Mengapa harus melibatkan semua stakeholder karena pendidikan mempunyai dimensi yang sangat luas, mulai dari siswa didik, sekolah, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha. Jadi masyarakat dapat memberikan dukungan baik materiil berupa pembiayaan, bantuan sarana pendidikan atau imateriil menjamin suasana pembelajaran yang kondusif untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Keyakinan saya saat ini negara belum mampu membiayai seuruh biaya pendidikan yang bermutu untuk setiap jenjang dan jenjang pendidikan sampai ke pelosok tanah air. Dana untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu itu sangat mahal, pemerintah mempunyai keterbatasan anggaran atas seluruh biaya yang dibutuhkan untuk pendidikan tersebut.
Pendidikan Gratis ? Belum Saatnya
Gubernur Jawa Barat membuat kebijakan pendidikan gratis untuk jenjang pendidikan SMA mulai tahun 2020. Sikap kritis saya adalah apakah semua biaya pendidikan di SMA/SMK/SMA LB akan dibiayai semua untuk menghasilkan layanan pendidikan yang bermutu?
Apakah pencairan biaya operasional pendidikan daerah (BOPD) tersebut akan lancar dan tepat waktu? Apakah besaranya BOPD sesuai kebutuhan sekolah? Dan masih banyak pertanyaan atas kebijakan ini. Kebijakan ini harus disikapi kritis dan objektif oleh semua elemen masyarakat.
Masyarakat senang karena persepsinya sekolah tidak membayar lagi setiap bulanya. Komite sekolah dan kepala sekolah harus memutar otak untuk mencari strategi untuk memenuhi biaya pendidikan di sekolah, karena dipastikan dana bantuan pemerintah pasti kurang.
Komite sekolah mempunyai kepentingan atas kebijakan ini, karena komite sekolah sesuai dengan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 menjadi mitra sekolah untuk peningkatan layanan pendidikan di sekolah.
Artinya masyarakat tidak boleh menelan mentah-mentah kebijakan Gubernur sehingga serta merta masyarakat tidak mau bersama-sama dengan sekolah memberikan pelayanan pendidikan bermutu kepada anaknya. Inilah diperlukan kearifan orang tua siswa untuk melihat bagaimana proses dan sarana prasarana sekolah untuk mendidik anak-anaknya.
Konsekuensi pendidikan gratis di persekolahan seharusnya semua biaya pendidikan ditanggung oleh negara. Sehingga masyarakat tidak mengeluarkan biaya pendidikan karena sudah membayar pajak atau retribusi lainya.
Pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota menjamin semua biaya pendidikan, sehingga sekolah mampu menerapkan 8 standar pendidikan yang teah ditetapkan oleh pemerintah dalam PP Nomor19 Tahun 2005 yaitu: 1) standar isi, 2) standar proses, 3) kompetensi lulusan, 4) pendidikan dan tenaga kependidikan, 5) sarana dan prasarana, 6) penilaian pendidikan, 7) pembiayaan dan 8) standar pengelolaan.
Tapi faktanya sampai saat ini dengan mengambil salah satu standar pendidikan tentang pendidik dan tenaga kependidikan, di salah satu SMAN di Kota Bekasi yang jaraknya sejengkal dari Istana Presiden, mempunyai tenaga pendidik sebanyak 58 dimana 35 tenaga pendidiknya masih honorer, yang penganjianya jauh dari gaji UMR.
Kalau masyaraat tidak terlibat dalam pembiayaan, dan pemerintah tidak perlu kecil hati atas keterbatasan anggaranya. Jalan keluarnya adalah perlu sharing anggaran antara pemerintah dan masyarakat harus dilakukan.
Apa jadinya proses pembelajaran disekolah jika sampai terjadi kekurangan anggaran? Dipastikan sarana dan prasarana pembelajaran akan berkurang dan hasil belajar siswa jauh dari mutu apalagi prestasi. Di era seperti ini bisa dipastikan belum saatnya membuat kebijakan pendidikan gratis.
Seharusnya Gubernur membuat perencanaan matang untuk memberikan subsidi dengan dalam jangka waktu tepat sampai kondisinya memungkinkan biaya pendidikan menengah gratis di Jawa Barat. Terlalu dini jika saat ini pendidikan gratis dilakukan, sebab jika diterapkan dipastikan akan menurunkan kualitas pendidikan yang diberikan sekolah pada anak didik.
*)Ketua Komite Sekolah SMA Negeri 12 Kota Bekasi