Lumbung Pangan Komunitas, Kearifan Lokal Ketahanan Pangan

Riko Noviantoro. Foto: pp

Opini Riko Noviantoro

semarak.co -Ancaman krisis pangan global akibat pandemi virus Corona bisa menjadi persoalan serius. Laporan badan pangan dunia atau Food Agriculture Orgazation (FAO) yang memprediksi gangguan pasokan pangan global terjadi pada April – Mei 2020 perlu disikapi secara serius.

Bacaan Lainnya

Terlebih pusat-pusat pertanian dan peternakan mulai mengalami hambatan produksi. Indonesia juga patut antisipatif. Pemerintah memang tidak tinggal diam. Langkah strategis tengah dilaksanakan.

Mulai dari kebijakan makro sampai pada kebijakan mikro. Namun hal itu belumlah cukup untuk meyakinkan mampu lolos dari ancaman krisis pangan, khususnya produksi beras.

Membaca data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menggabarkan kebutuhan beras dalam negeri masih didominasi dukungan luar negeri. Hal itu dilihat dari angka impor beras Indoensia mencapai 2,2 juta ton. Impor beras itu berasal dari Vietnam sebanyak 767,2 ribu ton dan berasal dari Thailand yang mengekspor 795,6 ribu ton dan sisanya dari negara lain.

Tantangan lainnya adalah kondisi cuaca. Sudah berulang kali produksi beras nasional terganggu akibat cuaca. Hal itu memang resiko sector pertanian, begitu pula peternakan dan perikanan. Petani sudah memahami benar tantangan cuaca tersebut.

Belajar dari itu semua, rasanya perlu bersama melirik pada upaya leluhur menjaga ketahanan pangan tingkat komunitas. Pasokan pangan mereka nyaris tidak ada ancaman. Bahkan sudah mampu menahan kebutuhan untuk 6 sampai 12 bulan ke depan. Adapula yang sampai 5 tahun. Luar biasa.

Suku Baduy misalkan. Suku asli yang tinggal di wilayah Banten pedalaman ini punya model ketahanan pangan yang bisa ditiru. Mereka punya lumbung padi setiap keluarga yang disebut Leuit.

Leuit berbentuk rumah panggung yang pintunya menghadap ke Timur. Ukuran leuit sedang itu enam meter persegi, dan besar itu sembilan meter persegi. Mampu menampung 800-1200 ikat padi.

Suku Baduy juga punya tradisi beas perelak, yakni tradisi setiap keluarga menyisihkan sesendok beras setiap hari saat menanak nasi. Hasilnya dikumpulkan dan diserahkan pada tokoh desa untuk ditabung. Digunakan bagi kebutuhan pangan upacara adat dan lainnya. Lagi-lagi luar biasa.

Model yang diterapkan Suku Baduy itu dapat diadopsi bagi warga perkotaan. Setidaknya berbasis komunitas dalam ukuran kecil. Setiap komunitas menyiapkan lumbung-lumbung pangan yang dikelola secara gotong royong.

Sekaligus mempraktekan menyisihkan sesendok beras setiap hari. Dikumpulkan kepada ketua komunitas. Dari sana pasokan pangan 2 – 3 bulan ke depan sudah cukup terjaga. Hal semacam itu bermanfaat saat kondisi krisis seperti sekarang.

Setidaknya memiliki lumbung pangan berupa beras yang dikelola komunitas, mampu membantu ketahanan pangan nasional. Menumbuhkan solidaritas dan mempererat nilai gotong royong. Semua itu modal sosial bangsa Indonesia. Semoga kita semua terhindar dari krisis pangan.

*Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *