Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) Lieus Sungkharisma terlibat ketegangan dengan pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat di Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (8/5). Ihwal peristiwa itu, Lieus yang pendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno ingin menyaksikan pemandangan di Balai Kota yang dipenuhi karangan bunga dan balon.
“Sehabis bunga terus sekarang balon. Artinya kan ada kerinduan dari pada pendukung Ahok. Jadi saya datang, tapi di luar dugaan saya kok jadi pada marah sama saya (pendukung Ahok) teriak-teriak sama saya,” ujar Lieus di Balai Kota kepada wartawan usai adu mulut dengan warga.
Lieus menambahkan kedatangannya membawa semangat silaturahmi, bukan untuk mencari musuh. “Pilkada kita beda tapi kan bukan berarti musuhan. Kita kawan. Pilkada hal biasa, proses demokrasi masa iya kita terus kalah musuhan. Saya datang, tapi kok begini,” kata dia.
Lieus kemudian membandingkan respon pendukung Ahok-Djarot dengan pilkada Jakarta tahun 2012. Ketika itu, dia mendukung pasangan Joko Widodo dan Ahok. Lieus pernah menyambangi Balai Kota dan pendukung Fauzi Bowo tidak ada yang marah kepadanya. “Saya pendukung Jokowi, tapi sama pendukung Foke baik, sama Foke juga baik. Kok saya kali ini pendukung Anies terus kok jadi begini. Padahal sama Ahok baik sekali saya,” kata Lieus.
Ketika Lieus berbicara kepada wartawan, salah satu pendukung Ahok meneriakinya. “Woi sudah kau pergi, jangan di sini,” katanya.
Menurut pendukung Ahok bernama Supardi kedatangan Lieus hari ini tidak tepat. Soalnya, suasananya masih suasana kehilangan setelah Ahok dan Djarot kalah. “Kurang tepat dia sekarang ke sini. Dia (Lieus) kan dari (pendukung) paslon tiga datang ke sini. Ini situasi masih panas. Kita relawan pada di sini semua masih kawal punya bos (Ahok) di sini,” kata Supardi.
Lieus dan rekannya kemudian berjalan kaki ke arah pagar Balai Kota. Mereka meninggalkan halaman kantor Ahok. Teman Liues dalam tulisan yang tersebar di WA dengan judul Show Down at Balai Kota, by Zeng Wei Jian. tertuang seperti kronologis.
Show Down at Balai Kota
Beberapa hari ini, medsos meriah foto-foto Balai Kota. Ada balon-balon. Karangan bunga, sebagian besar rusak. Mirip sampah. Ada ibu-ibu berpose di pinggir air mancur. Anak-anak kecil riang. Saya sampe heran, ini balai kota, dufan atau disney land.
Saya ajak Lieus Sungkharisma ke Balai Kota. Dia tanya mau ngapain. Saya jawab, liat balon. Sekitar jam 4 sore, Senin 08 Mei 2017, kita tiba di sekitar monas. Barisan standing flower tampak. Semuanya koyak. Pemandangan jadi ngga sedap. Di depan gerbang Balai Kota, ada empat pemuda. Dekil, berseragam kotak-kotak merah. Ada logo “projo” di dada kanan mereka.
Benar aja, taman balai kota penuh standing flower. Buntelan balon-balon merah putih bertebaran. Anak-anak kecil, remaja, ibu-ibu, preman ambon, ahoker kotak-kotak, encim-encim cina pada selfi. Riang gembira. Seakan merayakan tumbangnya Ahok Jarot. Benar, suasananya mirip taman hiburan.
Kesakralan kantor gubernur hilang. Didominasi canda tawa. Prinsen park kalah seru. Sederet pengantri tampak di teras kantor gubernur. Ahok kasi chance selfi, per 20 ahoker. Saya tanya sudah berapa lama mereka antri. Ada yang jawab 2 jam. Lima orang perempuan ngemper di lantai. Mungkin mereka lelah. Ada ibu dari Papua, Medan, Tangerang.
Mereka datang khusus ingin selfie dengan sang pujaan: AHOK.
Menurut seorang ahoker, acara antri selfi bisa sampe jam 7 malam. Saya heran, Ahok kapan kerjanya. Secara de jure, Ahok masi Gubernur DKI. Sekalipun secara de facto dan moral politik dia sudah selesai. Katanya, dia masih berencana pengen gusur Kampung Aquarium lagi.
Tiba-tiba ada pemuda cina tanya kenapa Lieus anti Ahok. Lieus kasi penjelasan. Samar-samar saya dengar dia cerita soal kasus Sumber Waras. Saya sibuk cari gambar. Jadi ngga terlalu dengar apa yang dikatakan Lieus. Muka beberapa ahoker mulai tegang. Mungkin mereka kesal dengar omongan Lieus. Semakin lama semakin skut. Pamdal dan preman satu per satu berdatangan. Edan Lieus. Dia masih mengecam Ahok tepat di depan kantornya. Di tengah ratusan ahoker yang sedang patah hati. Mereka pasti deg-degan, besok vonis Ahok di pengadilan.
Si pemuda minta selfi. Saya bikin simbol tiga jari. Lieus bilang ke ahoker itu, “Jangan mau kalah loe. Pake salam dua jari donk.” Jadi lengkap. Lieus di tengah. Diapit salam dua hari di kiri dan pro Anies di kanan. Semua orang sudah sadar, ada Lieus di Balai Kota. Dua orang polisi sudah merapat. Saya ajak Lieus pindah lokasi. Tapi dia asik layani ahoker bincang-bincang dan selfi.
Baru beberapa langkah di luar teras, seorang preman flores berkata dengan nada tinggi. Lieus disarankan meninggalkan Balai Kota. Nadanya kasar. Antrian ahoker di teras serempak riuh. Ada yang teriak usir, usir…!!!
Mendengar ini, Lieus balik badan. Dia kembali masuk teras. Saling ngotot antara Lieus, preman ahoker, pamdal dan polisi pecah. Ahoker lain rame-rame merekam show down via ponsel. Lieus marah.
Ada Ahoker bilang begini: Mau ngapain ke sini. Apa masi blom puas. Kan uda menang. Ahok uda kalah. Sontak saya sadar. Mereka merasa Lieus dan saya sedang meledek duka nestapa mereka. Pastinya mereka sedang galau berat. Ahok kalah dua digit. Padahal didukung taipan dan kekuasaan. Eep Saefulloh Fatah bilang istana jadi posko pemenangan Ahok. Tetep aja, tumbang 16%.
Ini sama aja kita masuk kandang macan. Sena’as bila Ahok berani masuk Luar Batang. Seorang diri, tanpa pengawalan.
Keributan ini menarik perhatian. Para wartawan berebut interview Lieus. Ahoker berteriak, “Sudahlah. Jangan banyak omong kao. Apa masih kurang kerusakan yang kalian buat untuk Ahok.”
Saya ngakak. Ahoker-ahoker ini galak banget. Muka-muka mereka seakan siyap menggigit Lieus. Detik.com merilis berita ini. Lieus dikatakan diusir ahoker karena nyerobot antrian. Padahal, siapa yang kerajian antri sampe dua jam hanya untuk selfi dengan gubernur kalah. Jelas bukan kita berdua. Ada-ada aja media mainstream sekarang.
Lieus menolak pergi. Dia malah duduk di kursi. Pamdal dan polisi berusaha membujuk. Alasan mereka, suasana tidak kondusif. Caci-maki, sumpah serapah dan “boooo” terus terdengar. Keluar dari mulut Ahoker. Kami ketawa-ketawa aja. Lieus baru sepakat pergi setelah saya ingatkan soal waktu. Kita ada janji ketemu dengan Syahganda Nainggolan di sekitar Menteng.
Alas, Balai Kota sepenuhnya diokupasi ahoker. Saya merasa jadi ngga memiliki Kantor Gubernur yang seharusnya jadi milik bersama. Sepanjang jalan, tak habis-habisnya kita terbahak. Mengupas perilaku Ahoker. Mereka marah, ngamuk, kalap, sangar. Saya sampe bertanya, “Kalo tadi sempat digigit salah seorang dari mereka, kira-kira, kita bisa kena rabies ngga ya?” (suara.com/dtc/lin)