Penulis : Rinaldi Rais, Wartawan Al-Faqir
semarak.co -Omnibus Law Cipta Kerja bukanlah busway transjakarta. Juga tidak bisa disejajarkan BusyBox Pro 70 Apk, sebagai aplikasi perangkat lunak android; yang menyediakan banyak alat Unix standar, biasa dijuluki “Pisau Swiss Army Embedded Linux” lantaran dirancang menjadi executable kecil untuk digunakan dengan kernel Linux. Bukan, ya, memang bukan itu.
Rancangan penggabungan 79 Undang Undang dengan 1.244 pasal disebut UU Cipta Lapangan Kerja, yang semula disingkat secara sarkastik sebagai RUU Cilaka walau belakangan diubah Ciptaker, itu pun masih awam di negeri penganut sistem Civil Law.
Indonesia belum mengatur kedudukannya karena tidak menganut UU Payung, sesuai UU nomor 12 tahun 2011. Memang, pembentukan peraturan perundang-undangan telah memosisikan seluruh UU adalah sama.
Sejatinya Omnibus Law Cipta Kerja lebih mirip Omnivora. Syahwat makan sang hewan pemakan segala itu didorong naluri mempertahankan hidup, yang menafikan kehidupan makhluk lain.
Tetapi, ekosistem sebagai konsep keseimbangan alam, kehidupan hewan omnivora itu justru malah membuat sinergitas bersama sejawatnya dari kelompok herbivora dan carnivora.
Hanya saja kerusakan ekosistem alam semesta justru dirusak naluri purba manusia, yang dalam kitab suci sempat dipertanyakan malaikat sang pengabdi Al-Khalik sebelum penciptaan Nabi Adam AS. Niat mulia RUU Cipta Kerja pun rawan terkontaminasi prinsip-prinsip ekonomi para kapitalis, tentu non-syariah.
Alhasil, janji manis upah pekerja dihitung per jam & pesangon sesuai masa kerja, menjadi daya pikat “niat” mengganti pola lama dengan label baju baru. Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun berbondong-bondong dilakukan demi meraih manfaat Omnibus Law Cipta Kerja.
Undang Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, yang semula momok menakutkan kaum kapitalis tetapi kini dirindukan kalangan proletar sekelas buruh pekerja sebagai Dewi Keadilan.
Padahal, Indonesia hanya butuh perkuatan berswasembada pangan di tengah kekayaan sebuah Negeri Agraris, Negeri Maritim, dan Nusantara pemilik Ratna Mutu Manikam. Juga di tengah menyongsong Bonus Demografi pada 2030, yang merupakan pangsa pasar konsumerisme.
Tetapi, memang banyak contoh meyakinkan, kehancuran setiap organisasi kuat & handal dipastikan bersumber dari pengkhiatan internal. Rasa kebanggaan nasionalisme tergerus oleh keserakahan syahwat purba, yang minim terbentengi keimanan dari sebuah negeri relijius.
Indonesia belum kiamat. Manusia-manusia unggul tersuratkan dalam Kitab suci, sejak Founding Father merumuskan Pancasila & UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Para pemimpin pembaharu pun belum terlambat melakukan akrobat, menyelamatkan Ibu Pertiwi.
Kembali menapaki Soempah Pemoeda 1928, cita-cita Proklamasi, dan menegakkan Pasal 33 UUD 1945, dan singkirkan para pengkhianat bangsa & negara yang menyengsarakan rakyat semesta. Mari TOBAT NASIONAL.
Februari 2020