Jakarta Tenggelam 2050, Tak Cukup Bendungan Kering Pertama Pengendali Banjir, Cegah Juga Lewat Setu

Foto maket desain Bendungan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dokumentasi Kementerian PUPR/internet

Laporan berjudul New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-level Rise and Coastal Flooding yang terbit di jurnal Nature Communications menyebut Kota Jakarta 2050 diperkirakan tenggelam dan menghilang dari peta bumi akibat banjir, pada 2050.

semarak.co -Dalam laporan itu, para ahli mengukur topografi garis pantai di seluruh dunia dan menemukan kenaikan air laut secara drastis dalam dekade terakhir. Prediksi kenaikan air laut tersebut hingga mencapai dua meter di seluruh dunia pada 2050.

Mereka mengkalkulasi setidaknya 300 juta warga Asia akan selalu merasakan banjir tahunan di masa depan. Dalam laporan tersebut mereka mengukur Tiongkok, Bangladesh, India, Indonesia (Jakarta), Thailand, Filipina dan Jepang dan memperkirakan warga di sana akan merasakan dampak besar dari peningkatan muka air laut tersebut.

Tidak perlu menunggu tahun 2050, banjir awal tahun 2020 yang terjadi beberapa pekan lalu telah menjadi sinyal bahwa Jakarta akan tenggelam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 114 kecamatan di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten terdampak banjir dan longsor.

Ketinggian banjir maksimal mencapai enam meter terjadi di Kota Bekasi membuat 149.537 orang mengungsi. Jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan longsor di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten mencapai 67 orang berdasarkan data BNPB per 6 Januari 2020.

Pemerintah pusat melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengambil langkah cepat dengan mengebut pembangunan dua bendungan yakni Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor yang harus rampung pada tahun 2020. Hal ini penting dilakukan guna mencegah banjir di sektor hulu.

Selain itu untuk penanganan banjir di wilayah tengah atau midstream, Kementerian PUPR akan melanjutkan normalisasi atau naturalisasi sungai-sungai serta meneruskan pembangunan infrastruktur pencegah banjir.

Betulkah Jakarta akan tenggelam akibat banjir? Peranan apa yang akan dimainkan Bendungan Ciawi dan Sukamahi dalam pencegahan banjir? Dan langkah-langkah apa yang diupayakan oleh Kementerian PUPR dalam meminimalisasi banjir Jakarta di wilayah midstream?

Terkepung 180 titik banjir

Hasil survei yang dilakukan Kementerian PUPR, melalui aksi mengerahkan 294 generasi muda ketika banjir awal 2020 melanda, menunjukkan Jakarta dan wilayah sekitarnya dikepung 180 titik banjir.

“Bapak Menteri PUPR memerintahkan kami untuk menerjunkan sekitar 294 pasukan generasi muda PUPR untuk melakukan survei dan meneliti penyebab banjir Jakarta 2020,” ujar Widiarto, Plt Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR.

Dari survei itu, terang Widiarto, dan berdasarkan data dari BNPB terdapat sekitar 180 titik banjir yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Widiarto menjelaskan bahwa dari penelusuran tersebut, banjir awal 2020 sebagian besar diakibatkan oleh limpasan.

Kemudian penyebab kedua adalah jebolnya tanggul yang kemungkinan akibat limpasan sehingga tanggul-tanggul yang terbuat dari tanah tidak kuat menahan derasnya aliran air. Selain itu penyebab-penyebab banjir awal 2020 lainnya merupakan masalah klasik yakni sampah dan tingginya sedimentasi.

Kawasan yang terdampak paling parah adalah bagian timur yakni wilayah Jakarta Timur dan Bekasi. Selain itu curah hujan yang tercatat di kawasan Halim Perdanakusumah yakni 377 mm/detik dan Cakung sekitar 300 mm/detik.

“Menurut catatan BMKG, curah hujan ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 1886. Banjir-banjir besar yang pernah terjadi sebelumnya rata-rata tercatat dengan curah hujan hanya di kisaran 200-250 mm/detik,” kata Widiarto.

Bendungan Kering pertama di Jabodetabek

Salah satu upaya pemerintah pusat untuk menangani persoalan banjir Jakarta yang menahun adalah dengan membangun dua bendungan pada wilayah hulu Sungai Ciliwung di Kabupaten Bogor, Jawa Barat yakni Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi.

“Khusus untuk penanganan banjir di Sungai Ciliwung, kita sudah memiliki Rencana Induk Pengendalian Banjir mulai dari tahun 1973 yang kemudian mengalami penyesuaian sebanyak dua kali sesuai dengan kondisi perkembangan di lapangan. Dalam rencana induk tersebut sudah dirancang terdapat dua bendungan di hulu Sungai Ciliwung, yakni Bendungan Ciawi dan Sukamahi,” kutipnya.

Menurut sumber Rencana Induk Kontrol Banjir Jakarta tahun 2007, dua bendungan wajib dibangun di bagian hulu Sungai Ciliwung dalam rangka mendukung peran Kanal Banjir Barat. Selain itu pemerintah juga perlu memperbaiki kapasitas sungai, melakukan pelebaran pintu air Manggarai dan Karet menjadi tiga pintu.

Dari sejumlah rencana dalam rencana induk tersebut, Kementerian PUPR baru merampungkan pelebaran pintu air Manggarai dan Karet, kemudian pembangunan Banjir Kanal Timur.

Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang sedang dibangun merupakan jenis bendungan kering atau dry dam, di mana dalam rencana  induk tersebut kedua bendungan ini merupakan bendungan pertama di wilayah Jabodetabek.

“Konsep bendungan kering ini berbeda dengan bendungan lainnya. Kedua bendungan tersebut didedikasikan untuk mengendalikan banjir sedangkan kalau bendungan lain bisa untuk melayani penyaluran air baku dan sebagainya serta berfungsi pula saat musim kemarau,” kata Widiarto.

Kementerian PUPR berharap ketika musim penghujan datang, semua air akan tertampung ke dalam bendungan kering tersebut agar tidak cepat mengalir ke hilir dan ketika kapasitasnya penuh maka air yang tertampung akan dialirkan secara pelan-pelan ke hilir, namun ketika musim kemarau atau musim biasa, kedua bendungan ini dalam kondisi kosong atau kering.

Bendungan Ciawi berdiri di lahan seluas 78,35 hektare, bendungan ini rencananya memiliki kapasitas volume tampungan efektif 5,03 juta meter kubik dan kapasitas daya tampung maksimal 6,05 juta meter kubik.

Bendungan ini memiliki dua lubang pembuangan dengan diameter masing-masing 4,2 meter, tinggi bendungan akan mencapai 55 meter serta panjang bottom outlet 406,50 meter.

Sedangkan Bendungan Sukamahi berdiri di lahan seluas 46,93 hektare, di mana bendungan ini akan memiliki kapasitas volume tampungan efektif 1,38 juta meter kubik dan kapasitas daya tampung maksimal 1,68 juta meter kubik.

Sama halnya dengan Bendungan Ciawi, Bendungan Sukamahi memiliki dua lubang pembuangan dengan diameter masing-masing tiga meter. Bendungan Sukamahi juga memiliki ketinggian 50 meter serta panjang bottom outlet 225 meter.

Sedangkan pengoperasian dua lubang pembuangan Bendungan Sukamahi dan Ciawi dilakukan secara manual,serta hanya akan dilakukan saat musim kemarau ketika kedua bendungan dalam kondisi kering alias tidak ada air.

Ketika rampung, Bendungan Ciawi dan Sukamahi akan terhubung serta terpantau di ruang operasi atau pemantauan bendungan Ditjen SDA Kementerian PUPR. Bahkan saat proses pembangunan pun dapat langsung dimonitor dari ruangan itu. Ruang operasi ini masih terus dikembangkan dan nantinya diharapkan dapat menjadi pusat operasi serta pemantauan.

Ruangan pemantauan tersebut juga bertindak sebagai tempat untuk mengambil kebijakan terkait pemeliharaan bendungan, karena ruang operasi tersebut bukan hanya dapat memantau ketinggian elevasi permukaan air dan perilaku keamanan bendungan, seperti kebocoran.

Berdasarkan rekapitulasi debit banjir periode ulang 50 tahunan, Bendungan Ciawi dapat mengurangi debit air banjir di wilayah hulu sekitar 30,6 persen sedangkan Bendungan Sukamahi diharapkan dapat mengurangi banjir di hulu sekitar 27,4 persen.

Dengan demikian kedua bendungan ini nantinya dapat berperan mereduksi air banjir yang masuk ke Pintu Air Manggarai sekitar 577 meter kubik per detik atau 11,9 persen. Pembangunan kedua bendungan ini diharapkan dapat rampung pada tahun 2021, sehingga Bendungan Ciawi dan Sukamahi dapat menampung aliran air banjir sekitar 100-120 meter kubik dari hulu hingga hilir.

“Kalau bendungan didesain dan dibangun sedemikian rupa sejak awal untuk umur ekonomis tertentu, dan untuk memperpanjang umur ekonomisnya, Kementerian PUPR melakukan pemeliharaan sebaik-baiknya. Jadi dengan rencana induk untuk kondisi saat ini dalam beberapa tahun mendatang cukup dengan dua bendungan ini,” katanya.

Penanganan banjir Jakarta tidak cukup dengan membangun Bendungan Ciawi dan Sukamahi di hulu Sungai Ciliwung, pembangunan serta pemeliharaan situ-situ yang tersebar di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung seperti Bogor dan Depok juga turut menjadi kunci untuk mencegah banjir di wilayah tengah sungai atau midstream.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung dan Cisadane Bambang Hidayah mengatakan bahwa sesuai dengan misi Kementerian PUPR terkait dengan setu, pihaknya sepakat untuk mengembalikan fungsi situ menjadi area penampungan air.

Setu memiliki banyak manfaat, lanjut Bambang, jika dikembalikan sebagai daerah tampungan air. Pertama tentunya, kata dia, menjadi daerah konservasi sumber daya air di mana saat musim kemarau situ-situ masih menampung air yang ada agar bisa dimanfaatkan masyarakat.

Kemudian sebagai pengendali banjir, fungsi situ ketika terjadi hujan maka air hujan yang mengalir di permukaan dapat masuk mengalir ke situ dan sebagian lagi mengalir ke sungai.

“Kalau tidak ada situ maka semua air hujan yang berada di permukaan mengalir ke sungai yang memiliki daya tampung terbatas. Kalau terbatas maka air di dalam sungai tersebut akan meluap sehingga meningkatkan debit air banjir,” terangnya.

Selain itu, kata dia, jika dikaji secara inlet dan outletnya, setu dapat menjadi penyedia pasokan air baku. “Setu juga bisa dijadikan kawasan wisata, karena lanskapnya harus kita tata agar betul-betul indah,” kata Bambang.

Terancam punah

BBWS Ciliwung dan Cisadane saat ini cukup sulit untuk mengembalikan situ-situ ke fungsi semula, lantaran beberapa situ sudah banyak diokupasi oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan selama ini situ-situ tidak pernah dipelihara secara baik, akibatnya sedimen-sedimen yang berada di situ semakin menumpuk dan menjadi daratan.

“Kalau sudah menjadi daratan atau tanah kosong tentunya warga akan memanfaatkannya dengan menjadikan lahan eks’situ tersebut sebagai lahan pertanian hingga pembangunan perumahan. Dengan demikian berkurang lah kawasan situ,” kata Bambang.

Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, terdapat 208 situ di wilayah Jabodetabek dengan 16 situ berada di DKI Jakarta, 146 situ di Jawa Barat, dan sisanya di wilayah Banten.

Untuk 146 situ di wilayah Jawa Barat, Kabupaten Bogor memiliki jumlah terbanyak yakni 96 situ dengan 86 situ dalam kondisi baik dan 10 situ dalam kondisi rusak. Sedangkan di peringkat kedua Kota Depok memiliki 26 situ dengan 19 situ dalam kondisi baik dan tujuh situ dalam kondisi rusak.

Kota Bogor memiliki enam situ dengan tiga situ dalam kondisi baik dan sisanya dalam kondisi rusak. Kerusakan situ-situ di wilayah Bogor dan Depok disebabkan oleh penurunan luasan dan volume tampungan, pengurangan luasan situ akibat okupasi lahan oleh warga, penguasaan fisik lahan, perubahan fungsi lahan menjadi lahan terbangun.

Berikutnya sedimentasi dan tingginya pertumbuhan gulma air, kualitas air yang tercema limbah domestik dan industri serta sampah, kemudian prasarana situ yang tidak berfungsi dengan baik.

Dalam konteks seperti ini, masih Bambang, kalau mau mengembalikan situ ke fungsinya semula maka pemerintah harus memberikan ganti rugi kepada warga atau melakukan relokasi seperti yang dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di bantaran sungai atau yang berada di sekitar area bendungan.

Sebetulnya bisa saja dikembalikan asalkan pemerintah memiliki dana untuk mengembalikan situ  misalnya situ dengan luas awalnya 30 hektare, kemudian berkurang menjadi 20 hektare karena 10 hektare sudah diokupasi warga.

“Kalau memiliki dana maka pemerintah bisa membeli lahan situ yang dikuasai warga, namun jika sebaliknya maka manfaatkanlah situ-situ yang tersisa. Menurut saya manfaatkan saja situ-situ yang ada, lalu kita rehabilitasi dan revitalisasi agar kembali sebagai area tampungan air sehingga bisa berfungsi juga sebagai pengendali banjir,” ujarnya.

Revitalisasi dan Pemeliharaan

Terkait pemeliharaan situ saat ini dikelola oleh BBWS Ciliwung, semenjak diperkuat oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 4 tahun 2015 yang menyatakan bahwa sungai yang melintasi provinsi kewenangannya dikelola oleh pemerintah pusat yakni Kementerian PUPR.

Sebelum adanya peraturan menteri ini, sebut dia, daerah aliran sungai dan wilayah sekitarnya dikelola oleh pemerintah daerah masing-masing. Kalau dulunya memang pemerintah daerah yang mengelola situ-situ dan itu tidak dikelola dengan baik. “Ketika situ-situ ini diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah pusat, kita meminta data-data terkait situ,” ujar Bambang.

Pemerintah daerah, rinci dia, awalnya menyerahkan data-data tersebut hanya berupa nama, kode, dan lokasi situ tanpa disertai peta dan koordinat nya. Maka dari itu BBWS Ciliwung dan Cisadane melakukan pengecekan langsung apakah situ-situ ini memiliki luas yang tertera pada data dan juga lokasinya, sekaligus melakukan inventarisasi terhadap situ-situ tersebut.

Saat dilakukan inventarisasi situ, BBWS Ciliwung dan Cisadane juga melakukan pengukuran dan memasang patok-patok, setelahnya dilakukan revitalisasi terhadap situ-situ tersebut. “Kalau sudah dilakukan revitalisasi, kami yakin masyarakat tidak akan berani melakukan okupasi daerah situ,” katanya.

BBWS Ciliwung dan Cisadane pada tahun lalu telah melakukan revitalisasi terhadap sejumlah situ yakni Situ Telaga Saat, Situ Rawa Kalong, Situ Citatah, dan Situ Rawa Pulo.

Saat wartawan berkunjung Setu Citatah, program revitalisasi yang dilakukan oleh BBWS Ciliwung dan Cisadane terhadap situ tersebut memperlihatkan suasana yang lebih asri, banyak masyarakat menikmati panorama dari tepi situ, memancing ikan, hingga digunakan oleh anak-anak untuk bermain sepeda di alun-alun situ.

Pada 2020, Kepala BBWS Ciliwung dan Cisadane Bambang Hidayah mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan revitalisasi situ-situ yang berada di lima lokasi yakni di Tangerang, Tangerang Selatan, Depok dan Bogor.

Kementerian PUPR sendiri sejak tahun anggaran 2015 sampai dengan 2019 telah melakukan revitalisasi 19 situ dengan total biaya sebesar Rp172 miliar, dengan pekerjaan yang meliputi penggalian sedimen, perkuatan dinding situ atau tanggul, penataan sempadan berupa jogging track dan jalan inspeksi, serta rehabilitasi oulet dan inlet situ.

Sedangkan untuk pemeliharaan situ-Situ di wilayah Jabodetabek, Kementerian PUPR telah mengalokasikan anggaran sejak tahun anggaran 2014 hingga 2019 sebesar Rp221,2 miliar untuk 165 situ.

Pemeliharaan tersebut meliputi pekerjaan rutin, seperti pembersihan eceng gondok dan pembabatan rumput berkala, serta pemeliharaan berkala seperti perbaikan infrastruktur sumber daya air, perbaikan tebing dan pengerukan sedimen. (net/lin)

 

sumber: indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *