Puluhan ribu pengunjuk rasa antipemerintah mulai melakukan pawai di Hong Kong pada hari pertama tahun baru 2020. Aksi ini untuk menuntut pemerintah kota memenuhi keinginan masyarakat, termasuk penerapan demokrasi secara penuh.
semarak.co -Rangkaian aksi protes oleh warga di kota, yang dikuasai China itu, seperti dilansir Reuters, selama lebih dari enam bulan terakhir ini bergulir hingga 2020.
Sambil berkumpul di rerumputan Taman Victoria di bawah langit kelabu, para warga baik tua maupun muda dengan mengenakan pakaian berwarna hitam dan sejumlah di antaranya mengenakan penutup wajah, mengacung-acungkan poster bertuliskan “Kebebasan tidak gratis” sebelum memulai pawai.
“Sulit rasanya untuk mengatakan ‘Selamat Tahun Baru’ karena masyarakat Hong Kong tidak bahagia. Kecuali kalau kelima tuntutan itu dipenuhi, dan polisi diadili atas kebrutalan mereka. Kita tidak akan benar-benar bahagia pada tahun baru ini,” kata seorang pria bernama Tung, yang ikut pawai bersama putranya yang berusia dua tahun, ibunya dan keponakannya.
Tung mengacu komentarnya itu pada tekanan pada pemerintah kota untuk mewujudkan demokrasi secara penuh, pengampunan bagi 6.500 yang sejauh ini ditahan, juga penyelidikan kuat dan independen terhadap tindakan polisi.
Aksi unjuk rasa prodemokrasi itu diselenggarakan oleh Front Hak Asasi Manusia Sipil, seperti dilansir Reuters menyebut, kelompok yang mengatur sejumlah demonstrasi tahun lalu, yang diikuti oleh jutaan orang.
Di sepanjang jalur demonstrasi, beberapa politisi distrik prodemokrasi yang baru terpilih bergabung dengan massa pada hari pertama mereka bertugas. Beberapa di antaranya membantu mengumpulkan donasi untuk gerakan tersebut.
Presiden China Xi Jinping dalam pidatonya pada Malam Tahun baru mengatakan bahwa Beijing akan “dengan tegas menjaga kesejahteraan dan stabilitas” Hong Kong di bawah kerangka “satu negara, dua sistem”.
Banyak orang di Hong Kong merasa marah atas cengkeraman Beijing terhadap kota itu, yang dulu dijanjikan otonomi tingkat tinggi di bawah kerangka tersebut ketika bekas koloni Inggris itu diserahkan kembali kepada China pada 1997.
Demonstrasi di Hong Kong telah meningkat dengan disertai kekerasan dalam beberapa bulan belakangan ini dan beberapa kali sempat melumpuhkan kota pusat keuangan Asia tersebut.
Para pemrotes sejauh ini pernah melemparkan bom bensin dan batu sementara polisi menanggapi kekerasan itu dengan menembakkan gas air mata, meriam air, semprotan lada, peluru karet, dan kadang-kadang peluru tajam. Sejumlah orang terluka selama bentrokan.
Pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen pada Rabu(1/1/2020), mengatakan wilayah itu tidak akan menerima kebijakan politik satu negara, dua sistem yang menurut Beijing dapat digunakan untuk menyatukan wilayah demokratis tersebut, mengatakan susunan seperti itu tak berhasil di Hong Kong.
China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya, yang jika perlu dibawa di bawah kontrol Beijing secara paksa. Menurutnya, itu adalah sebuah negara independen yang disebut Republik China, nama resminya.
Tsai, yang mengincar masa jabatan kedua pada 11 Januari, juga bersumpah dalam pidato Tahun Baru untuk mempertahankan kedaulatan Taiwan, mengatakan pemerintahannya akan membangun mekanisme untuk melindungi kebebasan dan demokrasi saat Beijing meningkatkan tekanan terhadap wilayah itu.
Ketakutan terhadap China menjadi unsur penting dalam kampanye, yang didorong oleh aksi protes anti-pemerintah selama berbulan-bulan di Hong Kong, yang dikuasai China. “Rakyat Hong Kong telah memperlihatkan kepada kami bahwa kebijakan ‘satu negara, dua sistem’ jelas tidak layak,” kata Tsai, merujuk pada susunan politik yang menjamin kebebasan tertentu di bekas koloni Inggris Hong Kong setelah diserahkan kepada China pada 1997.
“Di bawah kebijakan ‘satu negara, dua sistem’, situasi terus memburuk di Hong Kong. Kredibilitas ‘satu negara, dua sistem’ telah dinodai oleh penyalahgunaan kekuasaan pemarintah,” ucap Tsai dilansir Reuters. (net/lin)