Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) meminta pemerintah untuk menunda jadwal pemisahan diri atau spin off unit usaha syariah (UUS) dari induk usaha perbankan konvensional, yang dilakukan paling lambat 2023.
Kebijakan spin off UUS sendiri memang sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. UUS PT Bank CIMB Niaga (CIMB Niaga Syariah) mengaku pesimistis bisa melaksanakan spin off jika tanpa terobosan.
Direktur Syariah Banking CIMB Niaga Pandji Djajanegara menganggap spin off adalah hal yang cukup berat dilakukan oleh CIMB Niaga Syariah yang merupakan unit usaha. Terlebih, keberpihakan pemerintah terhadap perbankan syariah dianggap masih sangat terbatas.
Misalnya, kutip Pandji, masih sulitnya perbankan syariah untuk masuk ke sejumlah proyek pemerintah. Selain itu, untuk meningkatkan pembiayaan, UUS hanya dapat melakukannya melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk.
“Lain halnya dengan bank konvensional yang dapat menambah pembiayaan lewat capital market. Jadi ini harus komitmen dari pemerintah. Ini yang sulit. Kita tidak bisa masuk ke proyek pemerintah, bukan karena tidak mampu,” ujar Pandji dalam acara Media Training & Gathering CIMB Niaga Syariah di Sentul, Bogor, Jumat (22/11/2019).
Tapi proyek itu, lanjut Pandji, misalnya nilainya Rp10-15 triliun, bank Buku III saja cuma bisa meminjamkan Rp2-5 triliun. “Itu sih tidak dilihat sama proyek-proyek listrik, misalnya. Saya pesimistis ini bisa membuat pangsa perbankan syariah kita jadi 20 persen pertumbuhannya,” ucapnya.
Menurut dia, terlalu banyak UUS kecil yang kesulitan bergerak bahkan untuk meningkatkan aset. Indonesia memiliki 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 UUS yang sebagian besar milik Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan aset di bawah Rp5 triliun.
“Untuk membesarkan UUS, maka diperlukan penambahan modal dari induk agar bisa ekspansi. Sementara itu, induk bank pun masih kesulitan meningkatkan performa kinerja karena tidak bisa mengambil dana-dana murah masyarakat,” paparnya.
Kalau mau ambil dana murah itu, sambung dia, harus punya cabang banyak atau go digital. “Jadi harus investasi miliaran, kalau aset juga miliaran ya tidak bisa. Untuk meningkatkan sumber dana, bank bisa mengambil dari dana mahal seperti deposito,” ulasnya.
Namun jika return deposito tinggi, lanjut Pandji, maka leveraging ke pembiayaan akan membuat pricing lebih tinggi. Akhirnya, bank tidak kompetitif. Belum lagi permasalah inflasi yang membuat biaya operasional bank seperti gaji akan meningkat.
“Saat suku bunga naik maka akan berimbas pada likuiditas bank yang mudah mengetat. Ini bagai lingkaran setan yang bisa mematikan bank-bank kecil. Opsi merger untuk bank-bank daerah juga sulit dilakukan,” terangnya.
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, rinci dia, seperti menentukan managemen sumber daya yang tersebar dimana-mana, porsi kepemilikan pemerintah daerah, dan lain-lainnya.
Belum ada peraturan pendukung membuat kebijakan spin off masih pincang, kata dia, termasuk urusan pajak yang belum diurus antar regulator. Pandji melihat banyak halangan dan peraturan yang belum mendukung kondisi industri pasca spin off.
Kemudian ia melihat tren kinerja UUS lebih baik saat masih leveraging dengan induk. Sejumlah rasio seperti Biaya Operasional Pendapatan Operasional Bank (BOPO), Return on Asset (ROA), Net Operating Margin (NOM), dan Non Performing Financing (NPF) tercatat lebih baik. “Kita lihat rasio-rasio UUS lebih bagus daripada BUS,” katanya.
Rekomendasi-rekomendasi tersebut sudah disampaikan pada regulator, sambungnya, bahwa industri meminta agar kebijakan spin off pada 2023 ditunda. Namun karena menyangkut UU, akan sulit jika harus mengamandemen karena proses birokrasi. “Tapi katanya akan ada UU terkait perbankan baru, mudah-mudahan bisa direvisi,” katanya.
Direktur Eksekutif Asbisindo Herbudhi Setio Tomo kompak dengan Pandji yang melihat masih banyak hambatan untuk dilakukan spin off. Kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu masih dirasa berat untuk dilakukan UUS.
“Hal tersebut karena masih adanya sejumlah hambatan dan tantangan yang membuat UUS sulit maju dan berkembang, jika dilakukan spin off. Sebenarnya kami inginnya UUS itu tetap mengekor ke induknya. Karena dengan begitu lebih efektif. Tidak butuh kantor cabang sendiri, tidak butuh direksi sendiri,” ujar di tempat yang sama.
Instrumen masih terbatas kalau syariah, lanjut Tomo, sukuk saja tidak bisa besar. Fee base income (FBI) susah, terima uang lebih tidak bisa lempar kemana-mana, paling deposito kita lempar ke BI.
Untuk itu, pihaknya pun juga berharap aturan mengenai spin off perbankan syariah bisa ditunda. Menurut dia, lebih baik UUS dapat menjadi lembaga perbankan syariah yang unggul dan maju dulu secara keseluruhan, barulah mereka siap untuk memisahkan diri dengan induknya.
“Masalahnya spin off ini kan ranahnya nanti aturan ya, UU yang berarti harus ke DPR, lebih berat juga untuk berubah. Tahun depan ada UU Perbankan yang baru, mudah-mudahan aturan (spin off) ini ditunda,” harapnya.
Asbisindo, kata Tomo, mengakomodir aspirasi anggota yang meminta penundaan kebijakan spin off UUS perbankan, terutama CIMB Niaga Syariah. “Para pelaku meminta kalau bisa 2023 itu tidak jadi target, maka itu kita usulkan,” katanya.
Selain tidak menargetkan tahun 2023, pemain industri juga menyarankan spin off berdasarkan pada modal inti bank. Bank bisa terlepas dari induknya jika sudah menjadi bank Buku III. Dengan modal inti minimal Rp5 triliun, bank lebih bebas ekspansi.
Tomo menyampaikan sebagian besar UUS menyepakati bahwa operasional lebih efisien dibanding pisah dengan induk. Di era disrupsi digital, efisiensi menjadi keharusan bagi bank untuk bisa bersaing di industri.
“UUS saat ini bisa menggunakan leveraging model, sinergi dengan induk, jadi tidak harus punya cabang sendiri, bisa menempel atau sistem channeling, tidak harus investasi sendiri,” katanya.
Sinergi termasuk platform IT, organisasi bank induk, infrastruktur, sumber daya manusia, komite dan data nasabah. Model bisnis seperti ini berdampak pada efisiensi. Pada 25 November 2019, Asbisindo akan menyampaikan sejumlah rekomendasi termasuk perkembangan industri kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tomo mengatakan secara umum, Asbisindo memiliki sejumlah saran untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah. Saran tersebut telah disampaikan ke Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang menampun saran dari semua pelaku industri ekonomi syariah, tidak hanya sektor keuangan.
Asbisindo memberi gambaran, kutip Tomo, pertumbuhan industri secara organik akan tetap membawa pangsa pasar sebesar 6%. “Kita perlu pertumbuhan yang anorganik, agar aset bisa mencapai Rp 3.000 triliun pada 2024, pangsanya jadi 20 persen,” katanya.
Pertumbuhan anorganik tersebut dapat didorong oleh pemberian insentif khusus dari regulator dan munculnya bank syariah dengan aset besar. Tomo menyampaikan, industri perbankan syariah butuh insentif pajak. Contoh, pajak deposito syariah.
Menurutnya, karakteristik deposito syariah mirip seperti reksa dana karena tidak bisa memastikan return. Namun, pajak deposito syariah sama dengan deposito konvensional sebesar 20 persen, sementara reksa dana sebesar lima persen.
Tomo meyakini, jika pajak deposito turun maka pricing pembiayaan bank syariah akan sangat kompetitif. Pengamat Marketing, Yuswohady menilai minimnya pertumbuhan perbankan syariah terjadi karena bank memang kurang kompetitif. “Layanannya masih belum bisa bersaing, pelayanannya, juga karena kurang promoting,” kata dia.
Literasi terkait perbankan syariah juga masih perlu ditingkatkan. Pangsa pasar yang masih terjebak di lima persen dalam 10 tahun terakhir pun terjadi karena kurang keberpihakan dari pemerintah. Sehingga ia menilai tanpa terobosan dari regulator, maka momentum sulit dilakukan.
Kontribusi perbankan syariah terhadap industri perbankan nasional saat ini masih di kisaran 5%. Padahal OJK menargetkan share perbankan syariah bisa mencapai 15% di 2023.
Untuk mencapai target tersebut, kutip dia, OJK mengeluarkan visi peta jalan atau roadmap pengembangan keuangan syariah Indonesia 2017-2019. Dalam roadmap ini juga disebutkan, perbankan syariah harus menjadi badan usaha syariah dan memisahkan diri dengan induk perbankan konvensional alias spin off di 2023. (net/smr)