Opini Imam Ma’arif, Penggiat Seni tinggal di Jakarta
Keberadaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jakarta tanggal 7 Juni 1968 – no. 1b.3/2/19/1968 yang dalam mukadimahnya menyebut dua jenis kegiatan, yaitu seni kreatif dan seni hiburan.
Selanjutnya, Gubernur Ali sadikin menyerahkan sepenuhnya kepada para seniman, baik pengelolahan maupun bentuk dan jenis kesenian yang mau dihadirkan. Pemerintah DKI Jakarta hanya memberikan dana yang dibutuhkan oleh seniman.
Kebijakan Gubernur Ali Sadikin yang menyerahkan pengelolahan PKJ-TIM pada seniman berdampak luar biasa. PKJ-TIM benar-benar menjadi barometer, etalase dan laboratorium kesenian Jakarta, Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Banyak seniman dan karya besar lahir dari PKJ TIM saat itu.
Namun, kebijakan Gubernur Ali Sadikin yang pro seniman itu nampaknya bertolak belakang dengan Gubernur Anies Baswedan. Anies, nampaknya akan menempatkan seni hiburan menjadi prioritas dan seni kreatif menjadi pelengkap.
Indikasi itu bisa dilihat dari kebijakannya yang menyerahkan mandat pengelolahan PKJ-TIM selama 30 tahun kepada Jakarta Propertindo (Jakpro). Sebuah badan usaha milik daerah yang tak terkait sama sekali dengan kehidupan kreativitas seni.
Alasan, Anies, menyerahkan pengelolahan kepada Jakpro karena selama ini PKJ-TIM “cost center” Selanjutnya, untuk membiayai operasional selama 30 tahun kontrak dan mengembalikan modal penyertaan pembangunan revitalisasi fisik PKJ-TIM sebesar 1,8 trilyun rupiah, Jakpro merencanakan membangun hotel bintang 5 dan bisnis lain di lingkungan PKJ-TIM.
Terbayang, atmosfir dan iklim berkesenian di PKJ-TIM akan rusak dan berubah wujud menjadi keramian semu. Posisi PKJ-TIM tidak lagi menjadi kebanggaan para seniman. Riwa-riwi aktivitas bisnis akan lebih mendominasi PKJ TIM dari pada aktivitas berkesenian. Manajemen hotel bintang lima misalnya, akan menjadi tembok besar yang menjauhkan seniman dari rumahnya sendiri.
Kebijakan, Anies, menyerahkan PKJ-TIM bukan pada ahlinya justru menurunkan derajat Kesenian di Jakarta. Perlahan- lahan tetapi pasti, wibawa PKJ-TIM akan rusak dan berubah wujud menyerupai Ancol, TMII, club-club malam, café-café dan lain lain sejenisnya yang tumbuh dengan subur di Jakarta dan sekitarnya.
Hanya keramian semata dan jauh dari nilai nilai estetik yang menjadi marwah kesenian. Pertanyaanya, ke mana lembaga penasehat kebudayaan dan kesenian di Jakarta yang dibiayai oleh APBD itu? Apakah mereka cuma membebek atau yes man aja terhadap kebijakan yang merusak atmosfir kesenian PKJ TIM ini?
Tidak ada alasan apapun yang bisa dijadikan dasar untuk menyerahkan pusat kesenian kepada BUMD. Kalau alasannya karena beban biaya terlalu besar untuk subsidi PKJ-TIM, itu alasan yang mengada-ngada.
Pendapatan asli daerah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata konon kabarnya mencapai 6 trilyun lebih, kalau cuma dialokasikan untuk kegiatan dan operasional tim sebesar puluhan milyar setiap tahun, itu persentase yang sangat kecil dibanding dengan pendapatannya.
Maka itu, PKJ-TIM harus dikembalikan ke marwah khittah 68, dimana PKJ-TIM dikelola oleh para seniman sendiri. PKJ-TIM tidak boleh ada ikatan struktural dengan kekuasaan, supaya punya keluasan mendorong seniman untuk berkreasi dan berekspresi dalam kebebasan.
Namun pemerintah tetap punya kewajiban mensubsidi rumah seni tersebut. Kesenian kreatif juga tidak boleh ikut terlibat dalam menangung beban pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta. Di manapun di dunia ini yang terkait dengan nilai (value) disubsidi oleh negara.
Kebudayaan, kesenian, agama, pendidikan dan sejenisnya perlu disubsidi oleh Negara. Intinya, PKJ TIM tidak boleh dijadikan sebagai ekspeksperimen tata kelola yang mempertaruhkan 1 genarasi pelaku seni. Jika gagal maka satu generasi kesenian akan punah dan tak akan bisa diputar balik kembali. ***