Opini by Zeng Wei Jian
Di Surabaya, Alfian Limardi banting dokumen draft RKA RAPBD ke meja. Praakk. Dokumen itu jatuh ke lantai. Kepala Dinas Diskominfo M. Fikser naik pitam. Hubungan kemitraan antara Pemkot dan DPRD terganggu.
Alfian di Surabaya, William di Jakarta. Sama-sama Fraksi PSI. Keduanya dipanggil Badan Kehormatan (BK) DPRD.
Satu kasus serupa di dua kota beda. Maka sebuah pattern bisa dilihat dengan jelas.
Pertama; pola penyakit “Histrionic personality disorder (HPD)”. Penderita histrionic punya symptom haus perhatian. Alfian dan William memperlihatkan tendensi excessive attention-seeking.
The American Psychiatric Association menyebut ciri-ciri dramatis, vivacious, enthusiastic dan lively. In short, aksi mereka selalu bersifat lebay.
Di masalah penyusunan rancangan APBD, Alfian dan William bersikap dramatis.
Mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah. Mengada-ada. Konyol. Ngga proporsional. Ngga profesional. Memperumit sesuatu yang simple.
Pattern Kedua; ada mastermind yang beroperasi dan mengontrol manuver excessive attention-seeking Alfian dan William.
Surabaya dan Jakarta dua kota berjauhan. Tapi pattern perilaku Alfian dan William serupa dan sebangun.
Mastermind ini mungkin sebuah sindikat. Bisa pula terdiri dari mantan garong anggaran yang ngga bisa makan selama Anies Baswedan berkuasa di Jakarta.
Mereka ingin come back. Maka Anies Baswedan harus di-down-grade.
Ga butuh fakta. Yang penting persepsi. Bangun opini negatif. Ngomong dulu. Masalah dipanggil BK urusan belakang.
Mastermind ini punya logistik bayar figur-figur yang diplot sok netral, belaga wise, pura-pura obyektif. Biasanya punya background NGO. Mereka suka tampil di televisi. Karena sama-sama punya penyakit Histrionic, mereka percaya diri serang Anies Baswedan thus bela William.
Padahal omongan mereka ngawur. Ngga ngerti persoalan. Sombong. Tutup kuping. Ngga mau dengar penjelasan Anies Baswedan.
Yang dimasalahin itu tahapan KUA-PPAS. Baru sebatas angka anggaran gelondongan dari program yang disepakati alokasinya.
Sistem e-budgeting ciptaan rezim lalu mengharuskan input komponen. Di situ letak masalahnya.
Misalnya program kegiatan pembenahan trotoar disepakati. Nominalnya 200 milyar dengan panjang trotoar sekian kilometer.
Karena alokasi anggarannya sudah disepakati maka SKPD input angka 200 milyar. Tapi e-budgeting Ahok mengharuskan input “komponen” di samping post anggaran.
Breakdown komponen Perbaikan trotoar pastinya seputar semen, pasir, batu, baja, biaya tukang dan sebagainya.
Perincian komponen ini belum ada. Karena memang baru tahap Kebijakan Umum Anggaran. Tapi karena sistem e-budgeting Ahok mengharuskan input komponen maka SKPD terpaksa input 1 item yaitu semen.
Maka yang terbaca di website, ada anggaran 200 milyar buat beli semen. Dikepcer oleh PSI. Alhasil Anies Baswedan dicaci-maki buzzer. Tidak Adil…!!
Jarot dan Ahok ngga usah banyak omong. Ngaku saja ada kelemahan dalam sistem e-budgeting itu. Perbaikan baru bisa dilakukan bila ada pengakuan.
Puji Tuhan, Anies Baswedan diam-diam menyiapkan upgrade sistem itu. Tahun depan rencananya bisa diaplikasikan.
THE END