KAHMI Batam Harapkan Jokowi Beresi Masalah Ruang Udara yang Dikuasai Singapura

Presiden Joko Widodo

Pemerintah Indonesia terus berupaya mengambil alih Flight Information Region (FIR) atau ruang kendali udara penerbangan di wilayah Kepulauan Riau dan perairan Natuna, Batam dari Singapura.

Tokoh Batam Provinsi Kepulauan Riau Surya Nasution berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyelesaikan masalah ruang udara nasional di Batam, Kepulauan Riau yang hingga kini masih dikuasai Singapura.

“Dalam konteks Batam sebagai wilayah perbatasan dengan Singapura, Presiden Joko Widodo pada lima tahun ke depan harus menuntaskan persoalan FIR,” kata Nasution yang menjabat sebagai ketua umum KAHMI Kepulauan Riau itu di Batam, Minggu (20/10/2019).

FIR sejak 1946 dikuasai Singapura melalui keputusan International Civil Aviation Organization, yang menetapkan hal itu dengan dasar Indonesia belum memiliki kompetensi dari berbagai aspek tentang itu.

Oleh banyak kalangan, dengan FIR Indonesia di Batam dan sekitarnya masih dikuasai Singapura, sama artinya dengan kedaulatan Indonesia terganggu. Selain masalah FIR, dia juga berharap Jokowi memberikan kepastian hukum dalam pengembangan investasi di Pulau Batam.

Salah satu implementasi penguasaan FIR di sana oleh Singapura adalah saat penerbang TNI AU harus mengantongi ijin dari menara kendali penerbangan Bandara Internasional Changi untuk bisa lepas-landas atau mendarat hingga menentukan rute, ketinggian-kecepatan, dan lain sebagainya.

Nasution menyatakan, menjelang pelantikan presiden beberapa waktu lalu, Jokowi berkunjung ke Singapura dan berbicara dengan PM Singapura, Lee Shien-Loong terkait FIR yang kemudian disebut-sebut telah ada kesepakatan di antara kedua pihak untuk menuntaskan.

Seperti diberitakan, Presiden Jokowi mengemukakan Indonesia menerima kerangka kerja untuk negosiasi ruang kendali udara penerbangan yang disepakati oleh Indonesia dan Singapura. Menurutnya, Indonesia ingin bisa mandiri mengawasi wilayah udaranya sendiri.

Sementara itu, Menteri Koordinator Maritim, Luhut Panjaitan, mengatakan Indonesia dan Singapura telah saling sepakat terhadap kerangka negosiasi untuk Flight Information Region (FIR) atau kendali ruang udara. Diharapkan kesepakatan bisa dicapai dalam waktu dekat.

Sebenarnya, sudah puluhan tahun ruang kendali udara penerbangan di wilayah Kepulauan Riau dan perairan Natuna dikuasai Singapura.

Berikut sejarah ruang udara Indonesia bisa dikuasai Singapura, Berawal pada pertemuan International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946. Saat itu, ICAO mempercayakan Singapura dan Malaysia untuk mengelola FIR Kepulauan Riau. Singapura memegang kendali sektor A dan C, sedangkan Malaysia mengendalikan sektor B.

Alasan Singapura ditunjuk untuk mengelola kendali ruang udara Kepri, karena saat itu Singapura merupakan negara jajahan Inggris yang dinilai mampu secara peralatan dan sumber daya manusia. Tak hanya itu saja, otoritas Singapura saat itu memang dekat dengan FIR Kepri.

Kemudian tahun 1993, Indonesia mencoba meyakinkan ICAO di Bangkok, Thailand, untuk bisa mengambil alih FIR. Namun gagal, karena Indonesia dianggap belum bisa mengendalikan FIR Kepri dari segi peralatan dan infrastrukturnya.

Singapura memegang kendali sektor A dan C, sedangkan Malaysia mengendalikan sektor B. Rinciannya, sektor A mencakup wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sektor B mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun.

Kemudian sektor C berada di wilayah udara Natuna. Untuk sektor C, dikendalikan oleh Singapura di atas 24.500 kaki dan Malaysia di bawah 24.500 kaki. Secara keseluruhan, Singapura menguasai sekitar 1.825 kilometer wilayah udara. Wilayah itu mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Natuna, Serawak dan Semenanjung Malaya.

Indonesia sudah beberapa kali melakukan upaya agar ruang kendali udara jatuh ke tangan Indonesia dari Singapura. Upaya itu pertama kali dilakukan pada tahun 1993.

Kala itu, Indonesia mencoba meyakinkan ICAO di Bangkok, Thailand, untuk bisa mengambil alih FIR. Namun gagal, karena Indonesia dianggap belum bisa mengendalikan FIR Kepri dari segi peralatan dan infrastrukturnya.

Kemudian tahun 2015, Presiden Jokowi memerintahkan mengambil alih pengelolaan navigasi (Flight Information Ragion/FIR) blok ABC yang selama ini dikelola oleh Singapura dan Malaysia.

Pada 2019, Indonesia menerima kerangka kerja untuk negosiasi FIR yang disepakati oleh Indonesia dan Singapura. “Indonesia menghormati posisi Singapura yang memahami keinginan Indonesia untuk mengawasi wilayah udara kami sendiri,” kata Presiden Jokowi.

Luhut mengatakan, Indonesia dan Singapura telah saling sepakat terhadap kerangka negosiasi untuk FIR atau kendali ruang udara. Diharapkan kesepakatan bisa dicapai dalam waktu dekat.

Kedua negara, kata Luhut, telah melakukan kesepakatan terhadap framework pada tanggal 12 September dan pada tanggal 7 kemarin tim teknis masing-masing negara telah bertemu. Setelah puluhan tahun dari tahun 1946, sekarang ini baru terlihat progresnya.

“Prosesnya dirasa lama karena negosiasi harus memberikan win-win solution,” ujar Menko Luhut usai mendampingi Presiden Joko Widodo pada Pertemuan Tahunan Pimpinan Indonesia-Singapura (Indonesia-Singapore Annual Leader’s Retreat) di Singapura, Selasa (8/10).

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, Indonesia dan Singapura telah menyepakati kerangka negosiasi untuk wilayah informasi penerbangan. “Berkaitan dengan FIR, Kami bersama Kementerian Luar Negeri di bawah koordinasi Kemenko Maritim sudah bekerja hampir dua tahun ini berdiskusi untuk menyelesaikan pengelolaan FIR pada tahun ini, sebagaimana diamanatkan oleh Bapak Presiden Jokowi,” ujar Budi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/10/2019).

Kerangka Negosiasi FIR telah ditandatangani pada 12 September 2019. Kemudian, Pada 7 Oktober 2019 tim teknis kedua negara telah bertemu. Selanjutnya, tim teknis akan melakukan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang lebih intensif.

“Alhamdulillah sudah ada kemajuan. Saat ini framework sudah disetujui, bahkan sudah ada Term Of Refernce (TOR). Dirjen Perhubungan Udara sudah melakukan diskusi bersama Dirjen Kemenlu bahwa terdapat beberapa koreksi dari perjanjian terkait FIR yang sudah ada sejak tahun 1995. Koreksi itu tentu memberikan manfaat bagi kedua belah pihak,” kata Budi. (net/lin)

 

sumber: merdeka.com/cnn indonesia/kompas.com/indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *