Peneliti LIPI Prof Syamsuddin Haris mengatakan, selentingan isu yang berkembang tentang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK bisa berdampak pada pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan pembodohan publik.
“Itu pembodohan public! Bukan saja salah paham tapi paham yang salah. Pemakzulan itu tidak seperti itu. Pemakzulan sesuai konstitusi, bisa terjadi kalau presiden melakukan pelanggaran hukum,” ujar Haris dalam diskusi di Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Itu mencakup pengkhianatan terhadap negara, rinci Haris, tindak kriminal, penyuapan atau presiden melakukan perbuatan tercela. “Dan yang melakukan penilaian atas semua itu adalah Mahkamah Konstitusi bukan partai politik di dewan. Jadi jangan salah tidak tepat Perppu dihubungkan dengan pemakzulan,” katanya.
Presiden Jokowi seharusnya tidak perlu terganggu oleh isu pemakzulan dalam mengambil keputusan soal penerbitan Perppu KPK. Sebagian publik menolak UU KPK hasil revisi karena diyakini melemahkan lembaga antikorupsi itu.
“Sehingga perlu dibatalkan, ditinjau ulang atau menunda penggunaan UU KPK itu dengan cara penerbitan Perppu oleh presiden. UU KPK hasil revisi terdapat cacat prosedural sebab undang-undang itu disusun secara diam-diam, tergesa-gesa serta tanpa partisipasi public,” kecamnya.
Bahkan, kata dia, tanpa melibatkan KPK sebagai pemangku kepentingan utama sebagai lembaga utama yang diatur di dalam undang-undang itu. Selain cacat prosedural, dia juga menilai UU KPK cacat secara substansi sebab isinya melemahkan institusi anti rasuah itu.
“Saya bahkan mengatakannya sebagai pelumpuhan atas KPK dan ini bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang ingin mengawal KPK dan memberantas korupsi, oleh sebab itu presiden mesti menerbitkan Perppu untuk membatalkannya,” tutupnya.
Sebelumnya Pakar Tata Hukum Negara Juanda mengatakan tidak ada dasar untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden jika mengeluarkan Perpu. “Saya tidak tahu apa alasan para pihak yang menyimpulkan jika Perpu ditetapkan ketika Revisi UU KPK belum diundangkan, maka Presiden dapat dimakzulkan. Secara hukum tata negara belum saya temukan dasar hukum dan logika seperti itu,” kata Juanda, dihubungi di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).
Pernyataan Juanda menanggapi adanya ungkapan sejumlah pihak bahwa Presiden bisa dimakzulkan jika menerbitkan Perpu KPK, yang menjadi tuntutan mahasiswa dan publik, apabila UU KPK hasil revisi belum diundangkan.
“Pemakzulan Presiden dalam sistem konstitusi Indonesia dilakukan karena Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau dianggap tidak memenuhi syarat,” kutipnya.
Hal tersebut tercantum dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945.”Tidak ada satu kata dalam pasal itu yang menyiratkan bahwa menetapkan Perpu sebelum UU diundangkan maka Presiden bisa dimakzulkan,” ujar dia.
Perppu KPK dikeluarkan tidak tergantung pada sudah atau belum diundangkannya sebuah revisi UU KPK, namun pada ada atau tidaknya kegentingan memaksa atas penilaian subyektif Presiden.
“Jadi aneh juga cara berpikir hukum para pihak yang kurang paham tentang kriteria atau syarat, substansi dan alasan Perpu itu dikeluarkan, tanpa didasarkan pada prinsip konstitusionalitas yang berlaku,” kata dia.
Senada dengan Juanda, peneliti bidang hukum The Indonesian Institute Aulia Y Guzasiah mengatakan potensi pemakzulan terhadap Presiden jika mengeluarkan Perpu KPK sebelum revisi UU KPK diundangkan, sama sekali tidak ada.
Aulia menegaskan dasar atau alasan pemakzulan Presiden hanya seperti tercantum dalam pasal 7A UUD 1945. “Entah apa yang melandasi berbagai argumen pemakzulan yang sebagaimana berseliweran saat ini. Penerbitan Perpu atas UU KPK, jelas tidak memenuhi unsur-unsur pemakzulan tersebut,” tegas Aulia.
Terlebih, kata dia, dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juga telah dijelaskan kewajiban MK memberikan keputusan atas pendapat DPR RI, bahwa Presiden memenuhi syarat untuk dimakzulkan seperti tercantum dalam pasal 7A UUD 1945.
“Kalau penerbitan Perpu KPK ingin dikaitkan dengan pembacaan sekilas terhadap unsur-unsur yang paling tidak mendekati, seperti pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden, saya kira juga masih jauh,” kata Aulia.
Sebab, kata dia, pengkhianatan terhadap negara sebagaimana dimaksud, berkenaan dengan tindak pidana terhadap keamanan negara atau tindak pidana berat lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun lebih.
Sementara perbuatan tercela berkenaan dengan perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden berkenaan dengan syarat Pasal 6 UUD yang terkait dengan syarat menjadi calon Presiden.
“Memang benar UU Korupsi belum bisa berlaku seutuhnya karena belum diundangkan dan menunggu tanda tangan Presiden, akan tetapi langkah itu tetap dapat ditempuh dengan pertimbangan mengoreksi peraturan yang sebelumnya telah tersepakati,” jelas dia.
Lebih jauh dia menegaskan di tengah fakta masifnya penolakan masyarakat terhadap UU KPK yang sudah terbuka didepan mata, maka penerbitan Perpu terhadap UU KPK tidak dapat dikualifikasikan sama sekali ke dalam unsur-unsur yang memenuhi syarat pemakzulan. “Sebaliknya, justru itulah yang seharusnya dilakukan demi menyelamatkan ‘negara’,” kata dia.
Dia mengatakan korupsi bagaimanapun juga tetap akan menjadi permasalahan yang serius, dan selamanya akan tetap genting untuk diberantas. Karena itu, menurut dia, perihal tafsir MK terkait syarat dikeluarkannya Perppu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, masih sangat terpenuhi jika dikaitkan UU KPK terkini dengan substansi materi pengaturan yang memperlemah pemberantasan korupsi sehingga tidak memadai.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bahkan menyebut Jokowi dan partai politik pendukung sepakat untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK. Keputusan itu disepakati ketika Presiden Jokowi dan pimpinan parpol pendukung diam-diam bertemu di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9/2019) malam.
“Jadi yang jelas, Presiden bersama seluruh partai pengusungnya mempunyai satu bahasa yang sama. Untuk sementara enggak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu,” kata Surya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Menurut Surya, salah satu alasan tidak dikeluarkannya Perppu, yaitu UU KPK hasil revisi saat ini masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya kira masalahnya sudah di MK, kenapa kita harus keluarkan perppu? Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya,” ucap dia.
Surya melanjutkan, Presiden akan salah apabila menerbitkan perppu di saat UU KPK hasil revisi tersebut sedang diuji materi di MK. “Masyarakat dan mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah, Presiden bisa di-impeach karena itu,” ujar Surya. (net/lin)
sumber: indopos.co.id/WA Grup PARTAI UMAT ISLAM