Selamat Datang di Negeri Para Buzzer

hersubeno arief. foto: internet

Opini Hersubeno Arief

Oxford Internet Institute baru saja mempublikasikan sebuah penelitian yang sangat menarik. Karya dua orang peneliti Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Universitas Oxford, Inggris

Judulnya : The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation.

Publikasi  setebal 26 halaman itu berisi hasil penelitian manipulasi media sosial secara terorganisir di seluruh dunia.

Sebagian besar digunakan untuk kepentingan domestik,  menekan dan mendiskreditkan kelompok oposisi. Namun sejumlah negara termasuk Cina, Rusia, Iran, India, Pakistan, Arab Saudi, dan Venezuela menggunakannya untuk mempengaruhi opini di negara lain.

Pada tahun 2019  ada 70 negara, termasuk Indonesia  yang  melakukannya.

Jumlah tersebut meningkat tinggi dibandingkan tahun 2018 terjadi di 48 negara. Pada tahun 2017 hanya terjadi di 28 negara.

Aktornya terdiri dari lembaga-lembaga resmi pemerintah, partai politik, elit partai, dan kontraktor swasta.

Twitter dan facebook merupakan platform yang paling banyak digunakan untuk propaganda dan manipulasi komputasi, begitu dua orang peneliti Oxford ini menyebutnya.

Dibeberapa negara seperti Brazil, India dan Nigeria platform WhatsApp mulai banyak digunakan. Diperkirakan beberapa tahun ke depan WA akan menjadi platform medsos yang penting. WA banyak digunakan untuk kepentingan komunikasi politik.

China semula hanya memanfaatkan platform domestik seperti Weibo, WeChat, dan QQ. Bersamaan dengan munculnya gerakan protes di Hongkong (2019), secara agresif mulai menggunakan Facebook, Twitter, dan YouTube.

Pemerintah China menggunakan platform global itu untuk menggambarkan pelaku protes Hongkong sebagai kelompok radikal dan tidak mendapat dukungan rakyat (Lee Myers dan Mozur 2019).

Pelaku propaganda dan manipulasi komputasi ini adalah pasukan dunia maya (cyber troop) yang kita kenal sebagai buzzer. Mereka adalah orang atau organisasi/ kelompok bayaran.

Jumlah bayaran alias anggaran untuk cyber troops bervariasi. Namun secara bisnis sangat menjanjikan. Biayanya bisa mencapai jutaan dolar seperti pada kasus perusahaan Cambridge Analytica  yang membobol puluhan juta akun facebook saat Pilpres AS 2016.

(Bradshaw dan Howard 2017a) mendifinisikan cyber troops sebagai aktor pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online.

Mereka ada yang menggunakan akun nyata (human) robot (bots),   akun bajakan, dan cyborg. Perpaduan akun otomatisasi dengan kurasi manusia.

Tugas mereka selain melakukan propaganda, memperkuat pidato kebencian, manipulasi, pengambilan data secara ilegal, memecah belah lawan politik, dan penargetan mikro untuk menggertak dan melecehkan para pembangkang politik dan jurnalis online.

Pasukan dunia maya secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs berita palsu atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna. Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan cyber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu.

Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar untuk iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan cyber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi.

Bradshaw dan Howard  membandingkan perilaku, pengeluaran, alat, dan sumber daya  pasukan yang digunakan, membagi kapasitas pasukan cyber di 70 negara dalam 4 kelompok.

Minimal cyber troop teams. Kapasitas pasukan maya yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi menghentikan kegiatan sampai yang berikutnya.

(2) Low cyber troop capacity.  Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri. Indonesia termasuk dalam kelompok ini,

(3) Medium cyber troop capacity. Melibatkan tim yang memiliki bentuk dan strategi yang jauh lebih konsisten, melibatkan anggota staf penuh waktu yang dipekerjakan sepanjang tahun untuk mengendalikan ruang informasi.

Tim berkapasitas menengah ini sering berkoordinasi dengan berbagai jenis aktor, dan bereksperimen dengan berbagai alat dan strategi untuk manipulasi media sosial. Beberapa tim berkapasitas sedang melakukan operasi pengaruh di luar negeri.

(4) High cyber troop capacity. Melibatkan sejumlah besar staf, dan pengeluaran anggaran besar untuk operasi psikologis atau perang informasi. Mungkin juga ada dana yang signifikan dihabiskan untuk penelitian dan pengembangan, serta bukti banyak teknik yang digunakan.

Tim-tim ini tidak hanya beroperasi selama pemilihan tetapi melibatkan staf penuh waktu yang didedikasikan untuk membentuk ruang informasi.

Tim pasukan cyber berkapasitas tinggi fokus pada operasi asing dan domestik. Tim berkapasitas tinggi meliputi: Cina, Mesir, Iran, Israel, Myanmar, Rusia, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, Venezuela, Vietnam, dan Amerika Serikat.

(Dimulai pada Pilkada DKI 2012)

Di Indonesia penggunaan pasukan dunia maya ini jejaknya mulai terendus pada Pilkada DKI 2012 saat Jokowi dan Ahok menjadi kandidat.

Inilah awal munculnya buzzer secara terorganisir di Indonesia.

Mereka membentuk Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev)  dipimpin oleh Kartika Djoemadi. Figur ini kemudian diangkat menjadi komisaris di PT Danareksa.

Pasukan cyber ini juga terlibat aktif mendukung Jokowi pada Pilpres 2014, dan Pilkada DKI 2017.

Laman berita Inggris The Guardian edisi 23 Juli 2018 pernah menurunkan berita seputar pekerjaan para buzzer Ahok berjudul : I felt disgusted’: inside Indonesia’s fake Twitter account factories.

Laporan investigasi wartawati Kate Lamb itu menurunkan pengakuan seorang buzzer yang hanya disebut dengan nama Alex.

Baca juga: http://semarak.co/polisi-ringkus-penculik-relawan-jokowi-yang-disebut-polisi-dari-anggota-ormas/

Dia mengaku mengoperasikan akun-akun palsu. Kebanyakan menggunakan avatar wanita cantik yang dicomot dari internet.

Alex diberi tahu bahwa tugasnya adalah berperang dengan menggunakan berbagai cara, termasuk hoax, dan adu domba.

“Ketika Anda berperang, Anda menggunakan apa pun yang tersedia untuk menyerang lawan,” kata Alex. ”Tetapi kadang-kadang saya merasa jijik dengan diri saya sendiri.”

Setiap anggota Buzzer ujar Alex, diwajibkan memiliki 5 akun facebook, 5 akun twitter, dan 1 akun Instagram.

Jumlah buzzer ini semakin membesar pada Pilpres 2019. Tugas mereka seperti belakangan banyak disoroti adalah menyebar disinformasi, adu domba, memecah belah publik, menghajar dan mengintimidasi lawan Jokowi.

Pada Pilpres 2019 mereka sukses menyebarkan isu bahwa Prabowo-Sandi didukung oleh kelompok Islam radikal. Bila terpilih Prabowo akan mendirikan khilafah dan menegakkan syariat Islam.

Isu itu kembali mereka hembuskan untuk menggembosi aksi mahasiswa  2019. Namun gagal.

Tempo dalam edisi 28 September menyoroti dengan keras keberadaan para buzzer pemerintah yang disebut sebagai para pendengung.

Dengan judul : SAATNYA MENERTIBKAN BUZZER,  Tempo mengingatkan Jokowi harus mengendalikan pendengungnya, yang makin lama makin ngawur. Berpotensi merusak demokrasi.

“Tingkah buzzer pendukung Presiden Joko Widodo makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah,”  tulis Tempo.

Kasus terbaru yang banyak disoroti oleh media adalah ulah buzzer pemerintah yang menuding mobil ambulans milik Pemprov DKI dan PMI menjadi penyuplai batu dan bensin bagi para pengunjukrasa.

Pemerintah termasuk polisi terkesan sangat melindungi mereka. Beberapa orang diantaranya berkali-kali dilaporkan ke polisi. Baik atas dasar pencemaran nama baik, fitnah, maupun kabar bohong. Namun semuanya tidak diproses.

Kasus terbaru adalah Denny Siregar buzzer top pemerintah yang diadukan karena unggahannya soal mobil ambulans penyuplai batu. Namun laporan pengaduan itu ditolak polisi.

Kepala  Staf Presiden Moeldoko mengaku sudah pernah bertemu sejumlah figur buzzer yang berpengaruh, dan setuju untuk ditertibkan. Namun dia berkelit sulit mengendalikannya. Mereka tidak dalam satu komando. Tidak dalam satu kendali.

Alasan yang tidak masuk akal. Jelas ada hubungan yang saling membutuhkan antara para buzzer dan penguasa. Hubungan yang saling menguntungkan.

Para buzzer mendapat keuntungan finansial, dan perlindungan. Pemerintah mendapat keuntungan politik. Para buzzer siap menggonggong, menyalak, mengejar, dan menghajar siapapun yang dianggap merugikan penguasa.

Benar seperti dikutip dalam kesimpulan penelitian Bradshow dan Howard. Penggunaan teknologi informasi yang salah,  menjadi tantangan dan keprihatinan tersendiri bagi masa depan demokrasi.

Indonesia saat ini memasuki masa-masa yang sangat berbahaya. Dalam era post truth, masyarakat terbelah dalam dua kelompok besar. Tidak ada satupun yang dipercaya, termasuk pemerintah.

Indonesia saat ini menjadi sorga para buzzer, khususnya pendukung penguasa.

Sampai kapan pemerintah akan terus memelihara dan melindungi  para buzzer. Membiarkan mereka merusak demokrasi? End

 

sumber: WAG PARTAI UMAT ISLAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *