Sebanyak 29 karyawan Sarinah divonis 4 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PNJ Jakpus) dalam sidang dengan agenda pembacaan vonis di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2019). Majelis hakim menilai 29 terdakwa terbukti memberikan air kepada peserta unjuk rasa, 21-22 Mei 2019 untuk membasuh muka.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Oky Wiratama yang memberikan pendampingan hukum kepada pegawai Sarinah menilai putusan hakim jauh dari keadilan. Namun pendapat LBH Jakarta tidak dihiraukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Saya yakin bahwa tindakan yang dilakukan para pegawai Sarinah, yakni memberikan air kepada peserta unjuk rasa, tidak bisa disebut tindak pidana. Putusan hakim masih jauh dari keadilan, karena hal ini menjadi preseden buruk bagi tindakan bantuan kemanusiaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan tindak pidana,” ucap Oky.
Seperti diketahui, pada 22 Mei malam, Kepolisian menangkap 30 pegawai Sarinah. Para pegawai itu tengah berada di dalam Sarinah tempat mereka bekerja. Polisi menangkap mereka karena diduga memberikan bantuan kemanusiaan kepada para pengunjuk rasa.
Misalnya dengan memberikan air untuk membasuh mata yang pedih akibat gas air mata. Ada pula sejak itu, para pegawai Sarinah sebanyak 30 orang, ditahan Rutan Polda Metro Jaya. Jumlah itu berkurang menjadi 29 karena ada satu pegawai yang meninggal dunia.
Mereka terdiri atas 26 satpam, 2 orang bagian teknisi, dan 1 orang cleaning service. Kasus lalu berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas dakwaan memberi air untuk membasuh mata yang pedih akibat gas air mata kepada para pengunjuk rasa.
“Saya berupaya mewujudkan ajaran kasih-sayang agama serta sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dengan memberi sumbangsih air minum kepada para korban,” terangnya sambil merinci.
Korban bencana alam di Aceh, Yogyakarta, Papua dll, korban banjir di Jakarta dan Semarang, rakyat tergusur di Kampung Pulo, Pasar Akuarium, Bukit Duri dll, para peserta 411 yang bermalam di Masjid Istiqal, memrakarsai gerakan air bersih masuk desa, melalui Posko Darurat Kemanusiaan Jaringan Relawan Kemanusiaan Indonesia memberi sumbangsih air minum untuk para korban kekerasan 2409.
Namun berita nasib nahas 29 karyawan Sarinah menggugah kesadarannya bahwa berdasar hukum yang berlaku di Tanah Air Udara tercinta ini, ternyata memberikan sumbangsih kemanusiaan memiliki syarat hukum yang tidak boleh dilanggar.
“Kecuali saya memang ingin ditangkap polisi lalu divonis hukuman penjara oleh majelis hakim pengadilan negeri. Maka di masa mendatang, saya wajib eling lan waspodo alias jangan sembrono dalam memberikan sumbangsih kemanusiaan kepada sesama manusia,” sindirnya.
“Saya bersikap sangat selektif dalam memilih sang penerima sumbangsih kemanusiaan. Jika salah pilih bisa-bisa saya bukan cuma dihujat oleh para pembenci penerima sumbangsih kemanusiaan namun malah ditangkap polisi, diborgol kemudian dijebloskan ke dalam bui atas praduga harus bersalah,” bebernya.
Maka nasib nahas 29 karyawan Sarinah membuatnya gamang memberi sumbangsih kemanusiaan. “Malah demi keselamatan diri saya sendiri adalah lebih baik sama sekali tidak memberikan sumbangsih kemanusiaan kepada sesama manusia agar jangan sampai saya melanggar hukum,” kecamnya.
Di Indonesia sebagai negara hukum, para penegak hukum memang meletakkan hukum jauh di atas kemanusiaan. “Maka lebih aman saya tidak mewujudkan ajaran agama dengan risiko paling-paling dianggap murtad,” sindirnya.
Ketimbang, lanjut dia, melanggar hukum dengan risiko ditangkap polisi lalu masuk penjara. “Memang sungguh sangat amat terlalu konyol apabila saya sampai masuk penjara gara-gara hanya sok berperi-kemanusiaan,” tuntasnya. (net/lin)
Sumber: WA Group FILOSOFI KADAL (JUJUR), eramuslim.com/cnn indonesia/rmol