Polisi Represif, 3 Masuk RS Pelni, 90 di RSPP, 1 Mahasiswa Al Azhar Kritis, dan Jurnalis Alami Intimidasi

Aksi mahasiswa berlangsung hingga tengah malam dan terjadi kericuhan. foto: internet

Sebanyak 90 mahasiswa dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan akibat jadi korban polisi represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di sekitar depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa siang hingga malam (24/9/2019).

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat RSPP Agus W Susetyo mengatakan, dari 90 korban yang dilarikan ke IGD RSPP, sebanyak 74 orang di antaranya berstatus hijau, yakni kondisi pasien tidak memerlukan penanganan serius dan bisa langsung pulang.

“Sedangkan 14 orang lainnya berstatus kuning, yakni pasien dengan kondisi perlu penanganan segera, namun dalam kondisi stabil. Updatenya itu ada 90 orang pasien,” ujar Agus, Rabu dini hari (25/9/2019).

Sedangkan 2 orang sisanya berstatus merah atau pasien dengan kondisi perlu penanganan cepat dan harus dirawat inap. “Itu data pasien yang masuk IGD RSPP dari pukul 17.00 sore tadi sampai pukul 00.30 WIB,” ujar Agus.

Untuk korban dengan status hijau dan kuning, rinci Agus, keluhan yang dialami rata-rata terkait dengan masalah pernapasan lantaran menghirup asap gas air mata. Selain itu, beberapa korban juga mengeluh lemas, memar dan kelelahan setelah melakukan demonstrasi dari siang hari.

Sementara untuk korban dengan status merah disebabkan oleh benturan di kepala. “Yang benturan di kepala (status merah), dan satu terjatuh, sehingga punggungnya memar (status kuning) itu di rawat inap, yang lainnya sudah pulang,” katanya.

Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof Asep Saifuddin mengatakan, akan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus penganiayaan mahasiswanya yang saat ini sedang kritis akibat aksi demonstrasi yang berakhir ricuh itu.

“Saat ini kami sedang rapat dan dalam waktu dekat akan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus ini. Kami juga sedang mempersiapkan bantuan apa saja yang nantinya akan diberikan kepada mahasiswa tersebut,” ujar Asep di kampus UAI, Rabu (25/9/2019).

Seperti diketahui, sejumlah mahasiswa Al Azhar ikut serta dalam aksi unjuk rasa menuntut agar agenda reformasi dituntaskan dan menunda pengesahan sejumlah RUU bermasalah.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Faisal Amir (21), kritis setelah mengalami luka serius saat aksi demonstrasi yang berlangsung pada Selasa sore itu. Faisal saat ini dirawat di RS Pelni, Petamburan, Jakarta.

Faisal mengalami pendarahan di otak dan mengalami retak tulang di bagian kepalanya. Faisal juga mengalami patah di bahu kanan dan memar di bagian dada, tangan, dan lengan kanannya.

Direktur Rumah Sakit (RS) Pelni di Jakarta, dr Dewi Fankhuningdyah mengatakan, saat ini pihaknya masih merawat tiga pasien korban demonstrasi mahasiswa. “Korban yang masuk ke rumah sakit sebanyak 13 orang, 3 yang masih dirawat dan sisanya sudah dipulangkan,” kata Dewi, saat dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Para pasien yang datang, terang Dewi, merupakan korban dari demonstrasi mahasiswa itu. “Rumah sakit belum mengeluarkan pernyataan resmi soal kondisi korban demonstrasi,” kilahnya.

Direktur Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Kurniawan Iskandarsyah mengatakan tiga mahasiswa yang harus menjalani rawat inap di RSPP saat ini dalam kondisi stabil tanpa perlu menjalani operasi.

“Dari 90 pasien mahasiswa yang dibawa ke RSPP ada tiga kami rawat, saat ini dalam kondisi baik, tidak memerlukan tindakan operasi,” kata Kurniawan dalam konferensi pers di RSPP, Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Kurniawan mengatakan tiga mahasiswa yang menjalani rawat inap, satu menderita trauma benturan benda tumpul akibat kompresi kepala di daerah varietal sebelah kanan yang menyebabkan pendarahan intracranial.

Kedua, mahasiswa yang dirawat dengan kompresi trauma benturan benda tumpul pada bagian tulang belakang lumval, dan hanya memerlukan tindakan konservatif. Ketiga, mahasiswa yang menderita trauma benturan benda tumpul di bagian kepala dan harus mendapatkan jahitan.

“Mahasiswa tersebut dalam kondisi baik, namun karena terkena gas air mata yang bersangkutan mengalami muntah dan dehidrasi. Adapun total mahasiswa korban luka dalam unjuk rasa yang dibawa ke RSPP, Selasa hingga Rabu dini hari (24-25/9/2019) sebanyak 90 orang. Sebanyak 87 mahasiswa hanya dilakukan perawatan dan langsung dibolehkan pulang ke rumah,” paparnya.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat RSPP Agus W Susetyo mengatakan, seluruh biaya pengobatan mahasiswa yang terluka ditanggung oleh dinas kesehatan. Agus menyampaikan RSPP berkomitmen memberikan pelayanan terbaik kepada para korban. “RSPP bukan pertama kalinya menangani korban luka dalam jumlah yang cukup banyak,” imbuhnya di tempat yang sama.

Sebelumnya, tindakan represif oknum polisi menimpa seorang wanita jurnalis televisi. Intimidasi terhadap wartawan Media Nasional Nusantara TV (NTV) bernama Amelinda Zaneta. Kejadian itu terjadi saat Amelinda sedang meliput aksi mahasiswa di sekitar Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (24/9/2019).

Pengakuan dari Amel, saat dirinya hendak meliput telepon genggam milikinya dirampas dan hancurkan oleh oknum polisi. Adapun kronologi singkatnya, kata Amel, kejadian itu terjadi saat dirinya berada di dalam Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta Selatan.

Pada saat itu, lanjut Amel, terdengar teriakan mahasiswa yang meminta tolong kepada rekan mahasiswa yang lainnya. “Karena ada mahasiswa yang ditangkap polisi. Setelah itu, mahasiswa berusaha memanjat pagar untuk menyelamatkan temannya dari tangkapan polisi,” imbuh Amel kepada wartawan, Rabu (25/9/2019).

Sontak melihat dan mendengar teriakan mahasiswa tersebut, ucap Amel, dirinya tak mau menyianyiakan momen tersebut, Amel hendak menghampiri mahasiswa yang berusaha untuk menyelamatkan temannya tersebut dengan cara memanjat pagar.

“Saya bilang ‘kamu gak usah manjat pager, saya wartawan, biar saya saja yang ngecek’,” tutur Amel.

Akhirnya, ucap Amel, dirinya yang memanjat pagar. Tidak lama kemudian, dirinya mengaku dihampiri polisi. “Dan terjadilah perampasan HP saya dan langsung dihancurin yang tersisa hanya kepingan-kepingannya aja,” terang Amel.

Tak hanya itu, Amel juga mengaku, memory dan simcard telfon genggamnya dibawa oleh oknum polisi yang mengintimidasi dirinya. Amel sangat menyayangkan tindakan refresif dari aparat kepolisian yang tidak menanyakan terlebih dahulu apakah Amel ini pendemo atau wartawan yang sedang meliput.

Sebagai Informasi, dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dijelaskan bahwa bagi siapa saja yang melakukan kekerasan dan menghalangi wartawan dalam melaksanakan tugas peliputannya, si pelaku dapat dikenakan hukuman selama 2 tahun penjara dan dikenakan denda paling banyak sebesar Rp 500 juta rupiah.

Sebab, Dalam pasal 4 undang-undang pers menjamin kemerdekaan pers, dan pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebar luaskan gagasan dan informasi. (net/lin)

 

sumber: indopos.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *