Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi koreksi atas UU yang dibuat secara terburu-buru dan cacat prosedural.
“Paling tidak Perppu itu menggambarkan bahwa sebetulnya ini bentuk koreksi atas beberapa persoalan keterburu-buruan dan cacat prosedur yang dialami UU KPK baru,” ungkap Oce saat dihubungi wartawan, di Jogjakarta, Minggu (22/9/2019).
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan DPR, nilai Oce, memiliki cacat prosedur baik secara formil maupun materiil. Cacat formil dimaksud, mengenai proses pembentukan RUU KPK yang tidak partisipatif dan tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2019.
Sementara cacat materiil dalam RUU tersebut antara lain mengenai sejumlah poin revisi yang dinilai melemahkan KPK, seperti keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Apabila hasil revisi UU KPK itu tetap dibiarkan, kata Oce, berpotensi melumpuhkan kinerja KPK dalam melakukan proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan perkara korupsi.
Ketua Pukat UGM mengatakan peluang Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan perppu KPK terbuka lebar, berkaca kepada keputusan presiden sebelumnya yang menunda pengesahaan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jika melihat respon Jokowi yang menunda pengesahaan RUU KUHP, maka tidak menutup kemungkinan Presiden juga akan mengeluarkan perppu KPK, terlebih bila melihat penolakan dari masyarakat yang masif terhadap kedua produk legislasi itu.
“Ini kan mirip sebenarnya, Undang-Undang ini sudah disahkan, tapi sepertinya belum diundangkan, sehingga ada waktu bagi presiden untuk memperhatikan masukan dari masyarakat dan kemudian menerbitkan perppu untuk mengembalikan regulasi KPK seperti yang sebelumnya,” kata dia.
Jadi ada baiknya, nilai dia, Undang-Undang ini dibekukan saja. “Tidak usah diberlakukan dengan cara Perppu. Ke depan tata dengan cara yang lebih baik, legislasinya dibuat dengan cara yang lebih baik,” tutupnya.
Pukat UGM Yogyakarta punn akan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Pukat UGM Yogyakarta Oce Madril mengatakan, uji materi tersebut dilakukan guna mempersoalkan indikasi adanya cacat formil dan cacat materiil dalam pembentukan revisi UU KPK.
“Kami di Pukat UGM akan menempuh judicial review di MK. Cacat formil dimaksud mengenai proses pembentukan RUU KPK yang kami nilai tidak partisipatif dan tidak termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019,” ujarnya.
Sementara cacat materiil dalam RUU tersebut antara lain mengenai sejumlah poin revisi yang dianggap melemahkan KPK, seperti keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Kedua persoalan tersebut menjadi alasan bagi Pukat UGM untuk mengajukan pembatalan hasil revisi UU lembaga antirasuah itu ke MK.
Jika nantinya MK memutuskan untuk mengoreksi hasil revisi UU KPK, maka hal tersebut menjadi tamparan bagi DPR maupun pemerintah karena telah mengesahkan Undang-Undang yang bermasalah baik dari segi formil maupun materiil. “Karena memang ada banyak sekali kecacatan yang kita nilai dalam UU KPK yang baru,” ujarnya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch dan sejumlah elemen masyarakat lainnya juga berencana untuk mengajukan uji materi hasil revisi UU KPK di MK. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan materi yang akan diuji terkait beberapa pasal krusial yang termuat dalam revisi UU KPK.
Dalam uji materi di MK tersebut, nantinya pemerintah dan DPR akan secara terbuka menjelaskan kepada publik tentang alasan dibalik dilakukannya revisi terhadap UU KPK. (net/lin)
sumber: indopos.co.id