Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berharap Presiden Joko Widodo tidak menyetujui pembahasan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Semoga Presiden Jokowi tidak mengirimkan Surat presiden yang isinya menyetujui pembahasan revisi ke DPR,” harap Agus di sela kegiatan Festival Konstitusi dan Anti Korupsi 2019, di Yogyakarta, Rabu (11/9/2019).
KPK menolak revisi tersebut kata dia karena rencana tersebut belum tepat kalau diaplikasikan saat ini, apalagi masa jabatan legislator periode 2014-2019 akan berakhir 30 September 2019 mendatang.
“Harapan kami seperti itu, presiden kan punya waktu 60 hari untuk menyetujui atau tidak dan berkirim surat ke DPR. Dan saya sangat berharap mendengarkan para ahli baik yang di perguruan tinggi atau yang di luar perguruan tinggi,” katanya.
Dengan waktu yang terbatas seperti itu menurut dia, sulit untuk mewujudkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih baik jika revisi tetap dipaksakan. “30 September harus selesai, itu kan tidak mungkin kita kemudian bisa berdiskusi (soal revisi), berbicara dengan banyak pihak bagaimana KPK ke depan lebih baik,” ucapnya.
Penolakan revisi tersebut terus mengalir, ketika kegiatan Festival Konstitusi dan Anti Korupsi 2019 di Yogyakarta Ketua KPK itu juga mendapat dukungan dari mahasiswa BEM UGM. BEM Keluarga Mahasiswa UGM juga menyerahkan satu jilid yang berisi analisa dan kajian dari alasan menolak revisi UU KPK ke Agus Rahardjo.
DPR dan Pemerintah patut mendengarkan masukan dan saran dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada proses pembahasan revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK sebagai pelaksana undang-undang tersebut yang telah berjalan selama 15 tahun.
“Tidak ada alasan bagi DPR dan Pemerintah untuk tidak mendengarkan langsung masukan dari pimpinan KPK segala hal ihwal tentang revisi UU KPK,” kata Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Petrus Selestinus, melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
Menurut Petrus, apalagi terkait revisi UU KPK ini mulai terjadi polarisasi yakni pandangan pro-kontra di tengah masyarakat. “Karena itu, DPR RI dan KPK dituntut untuk memiliki jiwa besar yakni duduk bersama dan mendengarkan masukan dari KPK, agar tidak ada dusta di antara kita,” katanya.
Menurut Petrus, KPK telah bekerja melakukan pemberantasan korupsi selama 15 tahun, tapi sampai saat ini banyak praktik korupsi. KPK dinilai, belum berhasil memberantas dan mencegah korupsi, termasuk belum berhasil membangun sistem pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien sesuai amanah UU KPK.
“Tugas utama KPK adalah mencegah dan memberantas korupsi, hingga lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi yakni Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan, berfungsi secara efektif dan efisien memberantas tindak pidana korupsi,” kata Petrus.
Menurut Petrus Selestinus, indikator suksesnya KPK mencegah dan memberantas korupsi adalah lahirnya budaya masyarakat, khususnya penyelenggara negara, untuk hidup dan berperilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Selama penyelenggara negara masih menjadikan KKN sebagai bagian dari gaya hidup dan bahkan mengidolakan korupsi sebagai gaya hidup, maka KPK dianggap belum berhasil memberantas korupsi,” katanya.
Advokat dari Peradi ini menegaskan kegagalan pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dibebankan kepada KPK. “Namun, kegagalan pemberantasan korupsi terjadi karena kurangnya dukungan dari Polri dan Kejaksaan dalam mencegah dan memberantas korupsi,” katanya.
Menurut dia, di kepolisian ada bidang pemberantasan korupsi atau disebut Direktorat Tipikor, sedangkan di Kejaksaan Agung ada JAMPIDSUS yang membawahi Direktur Penyidikan Tipikor. “Namun, lembaga Tipkor di Polri dan Kejaksaan minim prestasi dan bahkan menjadi bagian dari korupsi itu sendiri,” katanya.
Perjalanan KPK selama 15 tahun melakukan pemberantasan korupsi, menurut Petrus, maka pengalaman dan pemahamannya tentang pemberantasan dan pencegahan korupsi, sepatutnya memberikan masukan dan saran kepada DPR RI dalam merevisi UU KPK.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menegaskan bahwa perubahan Undang-Undang KPK (UU KPK) merupakan upaya pelemahan secara diam-diam.
Syarif saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (5/9/2019)menyatakan bahwa pemerintah dan DPR telah membohongi rakyat Indonesia. Karena dalam program mereka selalu menyuarakan penguatan terhadap KPK. “Pada kenyataannya mereka berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam,” ucap Syarif.
Lebih lanjut, ia mengatakan pembahasan revisi UU KPK yang dilakukan secara diam-diam itu menunjukkan DPR dan pemerintah tidak mau berkonsultansi dengan masyarakat yang diwakilinya.
Diketahui, rapat paripurna DPR pada hari ini menyetujui usulan revisi dua UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR, yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan RUU Perubahan atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Hanya ada sekitar 77 anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut, sedangkan 204 anggota meminta izin tidak hadir. Dalam rapat, Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto mengungkapkan total 281 anggota dewan menghadiri rapat paripurna.
Materi muatan revisi UU KPK tersebut meliputi perubahan status kepegawaian para pegawai KPK menjadi ASN, kewenangan penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas, KPK tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, peralihan pelaporan LHKPN, serta kewenangan KPK untuk menghentikan perkara. (net/lin)