Berdasarkan data OJK terdapat fintech P2P lending yang tidak terdaftar atau memiliki izin usaha telah ditangani Satgas Waspada Investasi. Sebanyak 404 entitas pada 2018 dan 826 entitas pada 2019.
Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sondang Martha Samosir menegaskan, OJK berperan dalam penanganan praktik fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal melalui Satgas Waspada Investasi.
“Selama 2019, total entitas investasi legal yang telah dihentikan 177 entitas,” ujar Sondang saat diskusi bertajuk “Literasi Keuangan Fintech; Memajukan Kompetensi, Kemampuan dan Kapasitas Keuangan” yang diselenggarakan Finmas di Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Demi mencegah praktik fintech P2P ilegal, Sondang mengutip, OJK menempuh dua cara. Yakni preventif dan represif. Upaya preventif adalah edukasi menggunakan media luar ruang digital, media sosial dan sosialsiasi.
“Sedangkan cara represif adalah menindak tegas pelaku investasi investasi legal dan fintech ilegal untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pemantuan entitas fintech itu untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen,” imbuhnya.
Apalagi keberadaan fintech, kata dia, sangat menyokong tingkat inklusi keuangan Indonesia. Namun, hal itu dinilai tidak akan berpadu dengan kenaikan tingkat literasi keuangan masyarakat.
Dalam menyediakan layanan jasa keuangan, lanjut dia, fintech menggunakan teknologi digital. Karena itu, masyarakat semakin mudah memperoleh layanan jasa keuangan di mana pun dan kapan pun.
“Fintech itu industri yang sedang berkembang dan membuat perubahan terhadap sektor jasa keuangan, dari yang sebelumnya tatap muka jadi melalui perangkat elektronik, dalam hitungan detik,” ujarnya.
Namun begitu, OJK belum memiliki data pasti terkait besaran peranan fintech terhadap peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Pasalnya, Survei Nasional Literasi Keuangan OJK yang dilakukan setiap tiga tahun sekali, baru di mulai tahun ini, setelah terakhir dilakukan pada 2016.
“Ini sekarang kita sedang survei, di Oktober mungkin nanti bisa dilihat bahwa ini fintech benar-benar bisa mendorong tingkat inklusi keuangan. Angkanya belum, karena lagi di survei, tapi saya yakin akan besar (peranan fintech),” ujarnya.
Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan pada 2016, tingkat inklusi keuangan Indonesia terbilang kecil. Yakni hanya 67,8 persen dengan tingkat literasi keuangan hanya 29,7 persen. “Artinya, meski lebih dari separuh penduduk Indonesia telah tersentuh layanan jasa keuangan, namun 29,7 persennya tidak memahami layanan jasa keuangan,” jelasnya.
Kendati saat ini banyak masyarakat merasakan layanan jasa keuangan dengan adanya keberadaan fintech, namun masih banyak persoalan yang justru menyebabkan mereka mengalami kerugian dan tidak sejahtera. Terutama akibat keberadaan fintech ilegal.
“Kami berharap masyarakat pintar, apalagi yang berhubungan dengan industri keuangan, kalau gitu nanti rentenir yang jalan, itu diluar cakupan kita. Makanya fintech diimbau tingkatkan literasi dan wajib sampaikan informasi lengkap, terkini, akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan,” pungkasnya.
Komisioner pada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Bambang Sumantri mengatakan, OJK dan pemerintah perlu memperketat pergerakan prusahaan fintech ilegal. “Produk dan layanan fintech mengenai risiko dan keamanan data serta beberapa hal lainnya banyak yang tidak dipenuhi oleh fintech ilegal,” ujarnya.
Tantangan fintech saat ini, ulas Bambang, ada tiga. Pertama terkait LJK fintech. Yaitu tantangan persaingan baik antara sesama pelaku fintech maupun dengan lembaa keuangan tradisional. “Serta tantangan untuk mengimplementasikan prinsip perlindungan konsumen,” ujarnya.
Terdapat tantangan untuk lebih kritis dan bijak sebelum menggunakan produk/layanan fintech yang sesuai kebutuhan. Antaranya, kemampuan dengan merujuk pada whitelist dan blacklist yang disediakan oleh OJK.
“Selain itu juga terdapat tantangan untuk mewujudkan kesimbangan antara perkembangan sistem keuangan nasional, perkembangan Fintech, dan implementasi aspek perlindungan konsumen,” pungkasnya. (net/lin)