Sajian data berupa cebong, kampret, sontoloyo, gendruwo,dan sejenisnya, telah mewarnai ujaran pendukung oleh 01 dan 02. Pendukung identitas semacam ini terkait dengan fakta kebahasaan yang muncul saat kontestasi berlangsung, maka dengan tegas bahwa pilpres tidak sekadar menyuguhkan isu-isu politik tapi ragam bahasa.
Itu salah satu poin dari kesimpulan materi Muhammad Wildan saat menjadi pembicara terakhir di hari terakhir seminar yang diselenggarakan Universitas Pamulang (Unpam) di kawasan Viktor, Tangerang Selatan, Senin (22/7/2019).
Seminar internasional The 3rd Indonesia International Conference on Linguistics, Language Teaching, Literature and Culture (The 3rd IICLLTLC 2019) ini berlangsung dua hari, dari Sabtu (20/7/2019).
Muhammad Wildan yang juga dosen sastra Unpam melanjutkan, pilpres telah menimbulkan satu teori baru dalam studi sosio linguistik ragam bahasa Pilpres. Bahasa ragam pilpres, klaim Wildan, belum ada yang mengungkapkan di dunia sosio linguistik lain.
“Siapa yang membutuhkan kampret dan cebong? Saya mencari asal usulnya dari cebong dan kampret ini dari mana. Saya temukan, kalau kata cebong ini memang dialamat pada Jokowi ketika menjadi gubernur DKI Jakarta karena suka memelihara cebong hingga berlanjut ke Istana Bogor saat sekarang menjabat presiden,” ujar Wildan, yang gelar Doktornya dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat, Jakarta.
Terus asal usul kampret, sebetulnya istilah ini baru kemarin sore. Ternyata ketidakaadaan sebutan oleh pendukung 01 pada pendukung 02. Jadi fakta bahasa bahwa untuk mengungkap makna dibalik itu, kata dia, harus tahu asal usul katanya.
Dalam bahasa itu, lanjut dia, kita kenal dengan teori semantiknya antonimi atau lawan kata. Secara semantik, kalau ada siang, lawannya ada malam, ada pagi, maka ada sore. Kalo ada cebong, lantas dipilihlah kata-kata yang tepat, yaitu cebong yang bisa jadi lawannya kampret.
“Itu sama-sama dua suku kata. Kam-pret, Beda kalau kata kelelawar yang terdapat tiga suku kata. “Jadi pendukung-pendukung 01 dan 02 itu tidak memahami aspeknya ilmu bahasa, tapi bagi kita munculnya kampret dan cebong, itu suatu antoniminya sangat luar biasa. Ini bahasa yang sastranya tingkat tinggi,” ujar Wildan yang jadi Kepala Pengkajian Unpam.
Coba, Wildan mengambil contoh, cebong lawannya kelelawar. Cebong itu belum jadi kodok. Sedang kampret sebenarya sudah jadi kelelawar. “Jadi diantonimkan di situ. Secara semantik leksikal tidak menerima kampret dan cebong itu suatu antonimi,” ulasnya.
Karena secara antonimnya, rinci dia, harus ada suatu kebiasaan atau tradisi di masyarakat sudah mengakui keberadaannya sepanjang masa. Seperti kalau ada laki-laki, maka ada perempuan dan ada siang, pasti ada malam.
Lalu cebong kampret ini semantik apa? “Menurut saya ini semantik kontekstual. Konteksnya, karena tidak ada lawan dari cebong, maka diambil kampret. Karena kebetulan 2019 itu yang maju hanya dua kandidat Jokowi yang 01 dan Prabowo 02,” ujarnya.
Maka melalui semantik ini, katanya, bisa membandingkan ilmu diagonisme. “Maksudnya, darimana dosen Unpam mengatakan cebong dan kampret ini adalah termasuk antonim, maka lihat kontekstualnya, yaitu dengan cara melihat peta politik 2019. Pada 2020 belum tentu ada lagi. Karena yang berhak menggunakan istilah ini pada 2019,” urainya.
Ternyata dalam teori ragam kebangsaan, Wildan menambahkan, ada kata yang khusus diucapkan oleh orang-orang tertentu yang memang kata-kata itu tidak milik semua orang.
“Contoh dalam budaya Jawa kalau untuk mengucapkan pada orang yang lebih tua atau terhormat, maka dipakai kata kulo. Itu kata martabatnya tinggi yang hanya pada orangtua saja diucapkan,” paparnya dihadapan ratusan mahasiswa.
Atau kata aing di budaya orang Banten. Aing tidak boleh diucapkan pada orangtua karena itu terdengar kasar. “Kita menggunakan kata abdi. “Jadi bahasa itu dituturkan kepada lawan tutur dengan melihat dulu lawan tuturya siapa. Baru keluar kata itu,” simpulnya.
Lebih jauh ditambahkan, ada yang spesial pada kampret dan cebong. “Perhatikan dari presiden sampai bawahan, kiai sampai pengikutnya ikut mengucapkan istilah ini. Jadi istilah ini menggugurkan terminologi kesopanan dalam bahasa,” sindirnya.
Coba, saat ketemu ibu dekan, ucapkan begini, “Bu, tadi saya ketemu kampret. Kasar tidak itu? Tidak kasar itu! Karena belum ada kata sopan kampret itu apa. Beda kalau ketemu dengan ibu, bilang aing, itu baru kasar.”
Kemudian dari sisi fonologinya, cebong dan kampret tidak ada. Kata cebong tidak bisa dipakai seperti kata sapu dan sapi yang bisa menjadi kata menyapu dan menyapi. “Tidak ketemu kata menyebong atau mengampret pada teori fonologi. Tapi ini masuk dalam dinamika sosio linguistik fungsional namanya,” tuturnya.
Dua hari lalu, kutip Wildan, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta jangan memakai bahasa sanksekerta seperti istilah Satyalencana. Wapres ingin memakai istilah Indonesia saja. “Lagi-lagi Satyalencana asal usul katanya sudah ada dari dulu. Kalau mau diganti dengan istilah sekarang itu pasti butuhkan suatu proses sidang komisi badan bahasa,” cetusnya.
Menurut dia, kampret cebong yang dibicarakan itu apolitik. Jadi permainan bahasa yang digunakan oleh kalangan-kalangan politisi sangat halus dan mengena. Dia tidak mengatakan diri saya, tapi dia mengistilahkan dirinya sebagai kalangan kampret, cebong, dan lain-lain.
“Kalau dia mengatakan kampret, kemungkinan dia tidak dipilih, tapi cukup melambangkan identitas di belakangnya. Melalui kontestasi bahasa apolitik yang tidak mengandung unsur-unsur politik guna mendulang suara, siapa yang menang, yaitu siapa yang jago konstestasinya,” ujarnya pada seminar yang menghadirkan pembicara dari Australia, India, Inggris, Belanda, Malaysia, dan Indonesia.
Seminar dibuka Kepala LLDIKTI Wilayah IV Jawa Barat, Banten Prof Uman Suherman, Sabtu pagi di Auditorium Kampus Unpam Viktor lantai 8, Serpong, Tangerang Selatan. Dalam siaran pers disebutkan, lebih dari 1.000 mahasiswa mengikuti acara ini.
Mereka dari Universitas Pamulang, Universitas Islam Negeri, Universitas Indraprasta (Unindra), Universitas Komputer Indonesia (Unikom), Universitas Esa Unggul, Bina Sarana Informatika (BSI), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Ibnu Khaldun, Universitas Teknokrat Indonesia, Lampung, dan Universitas Widya Mandala, Madiun.
Rektor Unpam H Dayat Hidayat mengatakan dua hal. Pertama terimkasih dan sukses untuk Fakultas Sastra dan insya Allah akan diselenggarakan kembali seminar internasinal.
“Pesan untuk akan datang, selain untuk mengisi seminar yang hanya beberapa menit, narasumber boleh diselipkan waktunya untuk kuliah umum. Supaya ilmunya adik-adik bertambah banyak. Kedua, manfaatkanlah untuk berdialog atau berkomunikasi dengan narasumber untuk digali lagi ilmunya,” tutupnya. (lin)