Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku sulit memberantas fintech peer to peer (P2P) lending ilegal. Padahal Fintech tak berizin dan terdaftar di OJK ini selalu bermunculan.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, isu yang sering muncul pasti fintech ilegal. Perkembangan fintech, P2P Lending memang tidak menyalahi aturan, tapi harus ada etika yang diterapkan.
“Ada tidak sih bank gelap? Tidak ada karena ada UU Perbankan. Ada tidak asuransi gelap? Juga tidak ada karena ada UU. Fintech ilegal ada karena tidak ada UU. Fintech ilegal akan terus ada. Ini bukan yuridiksi OJK, yang ada POJK, saya pun tidak bisa mengurusi fintech lending ilegal,” ujar Hendrikus Passagi dalam sebuah diskusi di gedung BEI, SCBD Soedirman, Jakarta Selatan, Selasa 916/7/2019).
Untuk memitigasi risiko, lanjut dia, OJK mengeluarkan ketentuan POJK 13/2018 yang mengharuskan fintech harus transparan dan terdaftar. Produk dari fintech pun diharuskan bersifat continue sehingga tidak ada hit and run, dan perusahaannya harus berkembang untuk jangka panjang.
Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan sulit menghilangkan fintech ilegal di tengah pesatnya perkembangan teknologi. “Kalau ada yang nakal kami tutup, sudah ada 900 (yang ditutup). Tapi ditutup sore, pagi sudah buka lagi,” kata Wimboh dalam seminar Mencari Format Fintech Yang Ramah Konsumen, di Jakarta, Selasa (16/07/2019).
Jika pemerintah melarang perkembangan fintech, nilai Wimboh, perkembangannya semakin tidak terkendali. “Kalau kita larang, dia bisa sembunyi dimana saja. Fintech provider bisa dari luar negeri, mata uangnya juga bisa apa saja. Makanya perkembangan teknologi ini harus bisa dimanfaatkan,” katanya.
Selain itu, kata dia, fintech juga tidak boleh abusif terhadap konsumen dari bunga pinjaman hingga cara penagihan. “Semua harus fair, pricing tidak boleh seperti rentenir, ini semua sudah ada di POJK kita. Sulit memberantas fintech ilegal, di tengah pesatnya perkembangan teknologi,” ujarnya.
Kalau ada yang nakal ditutup, lanjut dia, sudah ada 900 yang ditutup. “Tapi ditutup sore, pagi sudah buka lagi. “Kalau kita larang, dia bisa sembunyi dimana saja. Fintech provider bisa dari luar negeri, mata uangnya juga bisa apa saja. Makanya perkembangan teknologi ini harus bisa dimanfaatkan,” katanya.
Layanan pinjaman meminjam berbasis online tak berizin alias fintech ilegal terus menyerbu masyarakat Indonesia secara silih berganti. Tidak tangung-tanggung lebih dari 1.000 fintech ilegal yang telah ditemukan dan dilarang OJK.
“Hingga Mei 2019, OJK telah menemukan 1.087 fintech ilegal. Beberapa risiko dari pemilihan fintech yang keliru seperti bunga yang mencekik, penyalahgunaan data, perilaku debt collector yang tidak sesuai, hingga cyber crime,” ujarnya.
Untuk itu, Wimboh meminta agar masyarakat menggunakan layanan fintech yang terdaftar di OJK. Fintech yang terdaftar ini mudah diawasi OJK, termasuk pemberian sanksi apabila melanggar aturan.
“Kalau tidak terdaftar, kami kan tidak tahu dia fintech itu siapa. Tapi masyarakat masih banyak yang suka yang tidak terdaftar, atau tidak mengerti. Padahal bisa dicek di website OJK atau telepon ke 157, kalau tidak bisa juga ya jangan pinjam,” ujarnya.
OJK juga meminta asosiasi untuk melakukan edukasi kepada konsumen. Apalagi karakteristik fintech di Indonesia, menyasar segmen yang tidak terjangkau oleh bank. Segmen ini juga biasanya memiliki literasi keuangan yang rendah. “Tapi ada juga nasabah yang tidak bertanggung jawab, ini harus diawasi juga. Makanya kami minta asosiasi menciptakan data base juga,” katanya. (net/lin)