Opini oleh Cupin Kaplan:RANDEVU MRT

Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto usai mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). Debat itu mengangkat tema Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan, serta Hubungan Internasional. Foto: internet

Opini oleh Cupin Kaplan: RANDEVU MRT

Tanggal 11 Juli 2019 saya membuat posting yang inti pentingnya Jokowi punya foto duduk berdua dan salaman dengan Prabowo. Itu adalah manuver politik bagi Jokowi, di mana secara politik pula ia akan mendapat amunisi legitimasi, melemahkan kekuatan Prabowo.

(baca: pendukung Prabowo yang lebih dari separuh pemilih dan nyaris semuanya militan), lalu negara dianggap stabil, lalu uang bercampur investasi asing yang sempat terpending akibat kebuntuan politik paska Pilpres bisa masuk lagi. Itu analisis saya.

Menurut info kawan saya di dalam lingkaran Kartanegara, sudah dua kali Jokowi menelepon langsung PS, meminta untuk bertemu. Telepon yang kedua, Jokowi menelepon saat PS bersama-sama orang-orangnya.

PS menginfokan Jokowi telepon. Sesudah itu, seorang kawan di situ bilang, “Bapak gak usah respons, biar aja saya yang pergi, toh saya bukan siapa-siapa.” Disambut oleh ketawa yang hadir.

Tanggal 12 Juli, kawan saya menginformasikan, bisa ada hal yg mengecewakan publik karena akhirnya ada desakan pertemuan dari Jokowi yang diterima oleh PS. Ia ada dalam pertemuan tersebut. Menurut kawan saya, PS paham akan menerima gelombang kritik, kekecewaan, hingga kemarahan pendukungnya.

Karena yang dibaca publik adalah sebuah bungkusan luar, simbol. Publik pendukung agak sulit diajak berkontemplasi jauh pada konten pertemuan lalu mengurainya. Sampai ada kalimat beliau, bahwa bagi yang sudah tidak kuat lagi ikut berjuang, atau mau “lompat perahu”, dipersilakan.

Kawan saya menerjemahkan, PS tidak menginginkan negara hancur dan ada perumpahan darah. Tapi beliau juga tidak mau membuat komitmen apa-apa dalam pertemuan tersebut, dan tidak mau mengalah. Taktik perang tetap berlangsung.

Tapi uniknya, di akhir kalimatnya PS bilang, “Insya Allah kita menang.”

Saya belum sempat menulis analisis atas fenomena itu, tanggal 13 Juli terjadilah pertemuan antara Jokowi dan PS di stasiun MRT Lebak Bulus hingga Senayan. Perbincangan publik pun geger. Reaksi beragam.

Saya mau flashback sedikit ke belakang. Saya pernah punya foto berdua dengan Jokowi di Solo tahun 2011. Saya salah satu tim yang mengurus sebuah perhelatan internasional di Solo, kami bersama dalam ruangan rapat di rumah dinas beliau sebagai Wali Kota Solo.

Saat itu saya kagum pada beliau dengan kesehariannya, yang berani melawan keinginan Gubernur Jateng Bibit Waluyo yang ingin merelokasi sebuah pasar di Solo. Tapi antara 2011 – 2012 saya mulai merasa aneh soal program mobil Esemka.

Bagi saya dan kawan-kawan wartawan yang bergelut di bidang iptek dan industri dan tranportasi, Esemka adalah anomali. Mobil itu mesti harus bisa dirunut asal-usul genetikanya. Bukan bermaksud meremehkan para siswa SMK yang praktik otomotif, tapi tidak ada pembuktian sains yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa mobil itu bisa komplit lahir dari sebuah bengkel di Solo.

Mobil itu terbentuk dari komponen. Komponen itu bisa di-tracking. Belakangan kita tahu, itu adalah Foday, dari China.  Artinya kebohongan, dalam bentuk yang paling tersamar sekalipun, sudah dimulai. Kita menyebutnya “pencitraan”. Smoke and mirror dalam wujud yang lebih kreatif dan massif. Tapi untuk apa tujuannya?

Dan publik pun akhirnya membaca grand design ini, skenario besar menuju Istana. Maka sejak Pilgub DKI Jakarta 2012, saya sudah mengambil sikap oposisi terhadap Jokowi. Sudah ketahuan belangnya. Sementara rakyat Jakarta dan sebagian besar Indonesia pada Pilpres 2014 masih terlena-bobokan.

Tersihir oleh pencitraan. Sejak itu saya agak dikucilkan dalam arus besar alumni kampus saya yang “hidup mati bersama Jokowi – JK”. Belum ada istilah cebong dan kampret.

Istilah cebong & kampret muncul lantaran Jokowi pemelihara kodok sejak jadi Gubernur DKI Jakarta dan lanjut ke istana Bogor. Kampret adalah plesetan dari Koalisi Merah Putih (disingkat KMP) yang kemudian memunculkan frasa baru: Kampret.

Maka sejak 2014 saya sudah menulis konten-konten yang isinya perjuangan. Oposisi terhadap Jokowi? Tidak sesepele itu. Karena sebenarnya, perjuangan kita adalah melawan, atau berdiri berseberangan dengan kamu neo-pagan alias penyembah berhala versi kontemporer.

Pemahaman berhala itu sekarang bisa berujud manusia yang berkuasa, kekuasaan, hingga uang. Ke situlah sekarang peradaban membawa arus massa. Bagi mereka, tidak ada rambu-rambu dalam kehidupan. Semua bisa ditabrak. Termasuk rambu-rambu dari agama.

Maka muncullah arus masalah baru di negeri ini: Ketidakjujuran, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, ketimpangan hukum, korupsi, penghianatan terhadap Negara dengan menjual asset-aset negara termasuk tanah air dan kekayaannya dan memasukkan buruh asing dalam skala massif, perbaikan kesejahteraan rakyat yang janjinya berbanding terbalik dengan faktanya, degradasi nilai dan praktik keagamaan, ideologi dan gaya hidup sehat seperti eljibiti hingga penghancuran moral generasi muda yang diseret agar keranjingan games ketimbang dipersiapkan sebagai anak yang kuat dan berprestasi, dst, dst.

Kenapa?

Karena sistem kekuasaan dikuasai oleh kelompok neo-pagan. Kalo anda meminta konfirmasi, menurut saya Islam KTP itu juga kaum neo-pagan. Keislaman mereka hanya untuk memenuhi tuntutan statistik atau sebagai kedok. Orang-orang beragama telat menyadarinya.

Dan kalau mau dihubungkan dengan kontestasi, kita tahu di mana kebanyakan kaum neo-pagan itu berada. Bagaimana seorang ulama Ketua MUI yang menjadi Cawapres tiba-tiba berobah jadi pembohong?

Tanyakan saja mana mobil Esemka yang ia bilang akan meluncur Oktober 2018? Apa itu kalau bukan demi menyalurkan syahwat berkuasa? Nafsu akan kekuasaan telah merobah banyak orang dari agamis hingga menjadi penyembah berhala.

Awalnya saya dikritik balik agar jangan mengkritik ulama. Saya bilang, itu bukan ulama, itu pembohong. “Maukah engkau kutunjukkan kepada siapa turunnya setan? Setan turun kepada orang yang pembohong..” Jadi gimana?

Lihatlah janji-janji Jokowi dan orang-orang di sekelilingnya.

PS bukanlah negarawan terbaik dalam sepanjang sejarah Indonesia hingga kini. Tapi dia our best shoot untuk saat ini. Maka saya mendukungnya untuk Indonesia yang lebih baik, adil makmur untuk semua.

Jadi, ketika sindrom MRT merebak, tentu saya ikut kecewa. Begitupun jutaan pendukung Capres 02. Tidak hanya kecewa, tapi benci dan marah. Bedanya, saya tidak berhenti pada kecewa. Saya menganalisis apa yang sebenarnya terjadi?

Seperti cerita saya sebelumnya, yang ngotot ketemu itu Jokowi. Pertanyaan: Apakah kalo Jokowi gak ngotot ketemu, akan terjadi randevu di MRT? Keyakinan saya: Tidak. Saya yakin PS & Sandi fokus ke gugatan di Mahkamah Agung dan seterusnya, untuk memastikan proses hukum berjalan final.

Lalu, kalau terjemahan publik ini adalah rekonsiliasi, menurut saya, cemen amat kalo ini rekonsiliasi. Rekonsiliasi tentu menuntut ada pointers tentang hal-hal yang disepakati. Adakah yang bisa merilis konten dari Randevu MRT? Ternyata tidak ada.

Yang tampak di publik adalah artikulasi dari sebuah kemasan yang kemudian semiotiknya ditumbuhkan sendiri oleh publik? Bisa jadi. Dan itulah risiko yang harus dihadapi PS. Sampai sekarang saya tidak melihat konten dari Randevu MRT. Rekonsiliasi? Menurut saya masih jauh.

Tapi kalo banyak pendukung PS yang galau seperti saya, atau kecewa, kita berada di kelompok yang sama. Tapi kalau jadi marah dan benci, saya punya pertanyaan menarik untuk dijawab: Kalau PS menang dan langsung dinyatakan menang oleh KPU apa pendukungnya marah? Saya yakin jawabannya: Tidak.

Lalu apa keyakinan pendukung 02 tentang kekalahan PS? Dicurangi. Oleh siapa? Banyak. Yang jelas adalah lawan kontestasinya yang menggunakan segala perangkat kekuasaan dalam negara. Jadi, jelas kan kita harus marah pada siapa?

Randevu MRT berlangsung di area publik. Terlepas munculnya semiotika bahwa Stasiun Lebak Bulus untuk menunjukkan siapa pelaku akal bulus, perlahan publik mulai mencerna beberapa pointers di baliknya.

Antara lain, kenapa ada Budi Gunawan sang Kepala BIN di situ? Jokowi ini Presiden atau masih Capres sih? Kalo yakin dengan kemenangannya versi KPU, ngapain ngotot ketemu PS? Hanya orang bersalah yang ngotot. Jangan salahkan pula kalo publik berpendapat ini adalah operasi intelejen.

Memang, kehadiran Kepala BIN adalah anomali. Apa urusannya? Untuk urusan pengamanan teknis negara ada Polri yang berkoordinasi dengan Paspampres. Dan urusan pengamanan Presiden itu urusannya Paspamres, yang komandannya adalah jenderal bintang dua. Bukan urusan BIN.

Pointers lain; sejak pertemuan di Kartanegara sehari sebelumnya, kita bisa menganalisis bahwa PS masuk dalam perangkap. Tapi uniknya, PS seperti membiarkan dirinya masuk perangkap. Berarti ada news behind news yang belum ditangkap oleh kita semua secara utuh. Bahkan Jokowi pun tidak bisa menangkapnya.

Tapi salah satu pointers yang membuat saya prihatin terbahak-bahak adalah, seorang Kepala Negara sebesar ini, Presiden Republik Indonesia, tidak berdaya secara protokoler kenegaraan menerima tamu  di Istana. Ada apa? Ini sungguh penghinaan yang memilukan.

Hancurlah marwah sebuah lembaga tinggi bernama Presiden Republik Indonesia. Bukan soal siapa orangnya. Bayangkan, untuk bertemu seorang warga biasa, bukan pejabat, ber-KTP Indonesia pula, dia hanya dilayani untuk bertemu sambilan aja di kereta listrik…

Luar biasa

Memang masih ada lanjutkan trik-nya, makan siang di FX Senayan. Tapi itupun kemudian ditinggal PS. Sungguh, manuver PS ini gak disangka-sangka dan membuat Jokowi melongo. Dan bermunculanlah berbagai meme satire di meja makan itu, bahwa sesudah PS pergi Jokowi melongo lalu cepat-cepat memanggil Erick Thohir, sang saudagar sekaligus Ketua TKN dan bertanya, ‘Rik, ini sate siapa yang bayar?”

But anyway, kubu 01 juga mendapat manfaat dari randevu politik ini, setidaknya dalam klaim mereka. Kenapa mereka ngotot mempercepat pertemuan pada hari Sabtu 13/4? Karena Jokowi mau mengumumkan kemenangan pada Minggu, 14 Juli. Itu publik sudah baca.

Kedua, mereka punya pe-er yang meresahkan, yakni soal legitimasi. Dengan gambar-gambar Jokowi bisa bersalaman dengan PS, Jokowi serasa mendapat resep mujarab sesuai tuntutan skenario: Semua pihak, termasuk negara asing, terutama China akan jor-joran memberi ucapan selamat dan bantuan kepada pemerintahannya yang sudah legitimate.

Dia salah. Sesalah majunya pengumuman MK dari 28 Juni ke 27 Juni agar 28 Juni ia ke Jepang dan panen ucapan selamat. Di Jepang sepi. Tak ada panen ucapan selamat. Ia hanya mendapat pembicaraan basa-basi, dan cenderung tersisih dari pergaulan.

Para kepala Negara dan pemerintahan yang berkumpul di Jepang bukan orang bodoh. Mereka punya jaringan intelejen yang dalam 48 jam saja sudah menyimpulkan bahwa Prabowo-lah pemenang Pilpres 2019 dan kubu Jokowi curang! Belum lagi ratusan petugas pemuli meninggal dunia dan ada korban pada 21-23 Mei.

Seluruh dunia sudah tahu bahwa pemilu di Indonesia adalah pemilu berdarah! “Manfaat” kedua; adalah pelemahan pendukung PS yang terkenal militan, mandiri, laskar yang gak bergantung struktur.

Mereka bergerak dengan dana sendiri. Sebuah “jihad” konstitusional yang gak bisa ditandingi pendukung Jokowi. Mengerikan. Lukman Edi, mantan menteri era SBY dari PKB yang jadi tim Jokowi bilang di ILC agar buzzer 02 dibubarkan karena 01 sudah membubarkan tim buzzer-nya.

Sungguh koplak sekaligus sadis. Karena mereka membayar orang untuk propanda, bahkan menebar hoax. Sementara pendukung 02 berkeringat dengan isi dompet sendiri untuk membiayai perjuangan mereka. Mereka tidak bisa diperintah. Mereka mandiri.

PS bilang jangan ke MK, mereka demo ke MK, berhadapan dengan jalinan kawat berduri yang meliuk sana-sini. Karena ini bukan persoalan PS sebagai kontestan lagi, tapi suara mereka dicuri, mereka dicurangi. Itu tuntutan mereka. Ini yang pura-pura tidak dipahami oleh orang seperti Lukman Edi dan gerombolan TKN.

Tapi randevu di MRT juga melahirkan “MRT Syndrome”. Di medsos bisa ditemui pendukung yang tidak mau lagi posting soal PS, politik, pemilu. Sekonyong-konyong muncul gambar masakan.

Ada yang menutup akunnya, perjuangan sudah selesai. Sindrom itu di luar keterbelahan pendukung, baik yang mengkritik, meninggalkan, hingga mencaci PS, dan yang membelanya. Pihak Jokowi berhasil menangguk untung dari keterbelahan pendukung PS. Entah ini disadari atau tidak oleh pendukung PS.

Bagi yang meninggalkan PS, saya bisa paham. Tapi apakah tidak lagi mendukung PS dan meninggalkannya berarti menarik suaranya kembali? Ini agak membingungkan, karena pencoblosan sudah usai. Apa artinya lagi? Belum lagi sekonyong-konyong di medsos banyak beredar tulisan pendek dan meme “Selamat Tinggal Jenderal”, yang bila diteliti pemilik akunnya adalah cobeng (istilah saya untuk cebong).

Tapi pernyataan “saya berhenti berjuang” membingungkan saya. Coba jawab pertanyaan saya: Apakah kalo berhenti berjuang berarti kita membiarkan kecurangan? Kita membiarkan kejahatan? Membiarkan korupsi? Membiarkan pengkhianatan dengan terjualnya aset negara ke asing? Membiarkan pengangguran? Membiarkan pekerjaan kita direbut buruh asing?

Membiarkan kita dipermainkan soal BPJS? Membiarkan kekisruhan pendidikan anak-anak kita? Membiarkan harga-harga pangan dan energi mencekik kita? Membiarkan narkoba dan eljibiti merusak anak-anak kita? Membiarkan ketidakadilan dalam praktik hukum? Membiarkan pelajaran agama dihapus dari kurikulum? Membiarkan Garuda Pancasila diganti Palu Arit? Membiarkan Islam Nusantara menggantikan Islam dari Rasulullah SAW?

Saya bingung kalo untuk itu semua kita bilang kita berhenti berjuang. Seharusnya kita sudah mati baru itu terjadi. Antara perjuangan pemilu dan melawan kaum neo-pagan itu seperti polemik antara sprinter dan marathon. Kalau orang beragama, perjuangannya ya seperti pelari marathon, untuk jangka panjang.

Apakah sungguh kita telah jadi budak dengan diam saja? Karena kita tahu kalau kita tidak berjuang sekarang, tidak akan ada lagi kehidupan demokratis. Pemilu 2024 kalo Anies Sandi maju, sama saja, berhadapan dengan neo-pagan yang menguasai sistem kekuasaan.

Persis seperti sekarang. Tak ada gunanya pemilu. Dan kita sudah jadi bangsa budak. Semuanya. Karena kita berhenti berjuang hari ini. Ada lagi pertanyaan saya untuk yang mengaku beragama Islam hari ini. Saya sebut saja dua kejadian.

Pertama saat Jokowi mendatangi Mbah Moen supaya menang Pilpres, tiga kali Mbah Moen memimpin doa supaya Prabowo dijadikan pemimpin kita semua, Indonesia. Jokowi pucat, Romi buru-buru meminta Mbah Moen untuk meralat doanya.

Kedua, ketika PS bertemu UAS, yang bercerita bahwa ia bertemu beberapa ulama kasyaf yang berkali-kali bermimpi dan mendapati nama PS sebagai pilihan untuk memimpin Indonesia.

Pertanyaannya, kisah dari Mbah Moen dan UAS ini bermakna apa?

Kalo tidak bermakna apa-apa, ya sudah, tutup buku saja, selesai persoalan, kita hanya seorang pemilih biasa dalam pemilu. Cuma bagian dari statistik. Karena ber-agama itu artinya ada rasa, sense, pengalaman ruhaniah. Dan kalo cerita di atas memang tidak punya pengaruh apa-apa, ya tidak usah mengatakan kita pejuang.

Kita cuma voters. Bagian dari statistik. Pejuang itu ada “rasa”. Dengan itu kita bisa memahami bagaimana Rasulullah berjuang jangka panjang untuk kita, umatnya, hingga 15 abad kemudian.

Bagi saya jelas sejak awal, PS adalah tools perjuangan rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur dalam konteks yang sekarang. Jadi, silakan saja PS bersiasat dengan caranya. Tapi di luar itu, rakyat tetap tidak terima dicurangi, dan tetap berpendapat bahwa pihak Jokowi telah melakukan kecurangan, menang dengan cara curang. Pandangan itu tidak akan terhapus selamanya.

Tidak akan pula bisa dihapus oleh tekek-bengek rekonsiliasi. Tidak akan bisa dihapus dengan pidato kenegaraan dan upaya-upaya remeh-temeh menghapus polemik cebong vs kampret sebagai bukti kegagalan mengelola negara.

Tegakkan saja keadilan melalui instrumen hukum, niscaya polemik akan berakhir. Jika tidak, selamanya tidak akan terhapus dalam ingatan dan pandangan bahwa kubu 01 adalah pelaku kejahatan dan kecurangan, 02 amanah menjalankan keadilan dan kebenaran. Tapi kalo diksinya adalah “berhenti berjuang”, pertanyaan saya: Kenapa sih ngotot buru-buru tahlilan untuk diri sendiri? Hanya orang mati yang berhenti berjuang.

Terakhir, yang terjadi ini skenario siapa sebenarnya?

PS punya skenario. Tapi itu lebih sebagai respons atas serangan massif kubu lawan. Itu siasat tempur. Kelemahan PS: Terlalu ksatria, kurang “culas”. Pada biosfir politik, kalo dipukul harus balas menendang.

Skenario Jokowi? Iya. Tapi manuver-manuver belakangan ini adalah wujud dari sikap desperate, putus atas kegagalan mengubah pandangan publik dan dunia internasional bahwa dia tidak curang. Skenarionya yang begitu rapih ternyata koyak sana-sini.

Ia gagal menghadirkan peralihan kekuasan yang legitimate yang membuatnya diakui publik dan dunia internasional. Di dalam negeri begitu kuat penolakan atas dirinya: He’s Not My President. Di dunia internasional, peristiwa di Jepang adalah hukuman dunia bahwa dia curang dan tidak legitimate. Tidak ada taburan ucapan selamat di sana.

Kenapa begitu? Kecurangan dan ketidakjujuran adalah perilaku barbar di mata para kepala negara maju itu. Pemilu di negara maju gak ribet. Dalam 48 jam sudah ketahuan siapa pemenangnya. Apalagi dengan dukungan teknologi. Karena mereka jujur dan malu bila berbuat curang! Itu kuncinya.

Maka mereka malas berkumpul dengan orang curang. Malaysia menggelar pemilu pukul tujuh pagi, pada pukul sembilan malam hari yang sama Mahatir sudah dilantik jadi Perdana Menteri.

Pemerintah Indonesia berkoar-koar soal Palapa Ring (yang sudah dikerjai sejak zaman SBY), tapi lebih dari sebulan usai pencoblosan (17 April) belum ketahuan siapa pemenangnya. Bahkan usai putusan MK 27 Juni yang berdasar atas gugatan atas keputusan KPU, situng KPU di 12 provinsi belum selesai. Mau bicara logika itu di depan para kepala negara dunia maju?

Saya istiqomah saja sejak awal. Prabowo Sandi adalah pilihan para “orang tua” pendiri republik ini untuk memulihkannya menuju masyarakat adil dan makmur. Kemenangan mereka pada 17 April yang dirampok, adalah pengkhianatan akal sehat rakyat yang telah direstui sang pemberi akal sehat: Allah SWT.

Dan ada harga sangat mahal yang harus dibayar untuk pengkhianatan itu. Kemudian, yang namanya perjuangan itu berat. Tapi saya pelari marathon, bukan sprinter, karena nasib agama dan anak cucu kita juga ditentukan dari perjuangan kita hari ini. Tidak ada waktu lagi. Jadi jangan-jangan ini skenario Allah Ta’ala yang belum mampu kita lihat ujungnya. ***

 

Salam

sumber: KAHMI Cilosari 17 Senin (15/7/2019)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *