Penjualan karya sastra Indonesia ke luar negeri masih terbatas pada penerjemahan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Kurasi karya tidak harus terbatas pada muatan lokal, tapi juga punya nilai secara internasional.
Akademisi Sastra Bernando J. Sujibto menyatakan, tiga kelemahan sastra Indonesia adalah tentang penerjemahan dan jaringan. Menurut dia, langkah yang tepat adalah menerjemahkan khazanah sastra di luar bahasa Inggris itu, seperti dari Turki yang dipelajarinya.
“Tiga permasalahan penjualan karya sastra dari Indonesia ke luar negeri. Pertama, upaya menjual karya sastra Indonesia ke negara di luar bahasa Inggris terhambat oleh minimnya sumber daya dan kemampuan penerjemah terkait dengan bahasa-bahasa asing di luar bahasa Inggris,” ujar Bernando dalam rilisnya, Senin (1/7/2019).
Kedua, rinci dia, jaringan penerjemahan dan perbukuan ke berbagai negara di luar bahasa Inggris masih lemah. Terakhir, belum adanya sekolah penerjemah. “Sekolah terjemahan itu yang bertujuan untuk mencetak penerjemah dari bahasa Indonesia ke bahasa bersangkutan,” ujar Bernando.
Penulis Mario F. Lawi menceritakan pengalamannya dalam menerjemahkan karya sastra Eropa, Inggris, dan Latin Klasik. Dia mengakui penulisan bahasa tidak dianggap penting karena tidak secara langsung berkaitan dengan tradisi kesustraan Indonesia.
“Contohnya, karya seperti puisi Catullus dan Sulpicia yang mendapatkan tanggapan pihak asing dalam sejumlah hal. Kedua karya yang dihasilkan dua ribu tahun lalu dianggap mati karena ditulis dalam bahasa kuno,” imbuhnya.
Namun, Mario tidak menyinggung lebih jauh mengenai persoalan jual-menjual sastra Indonesia ke pembaca internasional. Karena dalam perdebatan industri perbukuan internasional sering dipersempit menjadi wilayah para pembaca berbahasa Inggris saja.
Dia mengamini pendapat Bernando mengenai penerjemahan karya-karya di luar bahasa Inggris ke dalam khazanah Indonesia. “Perlu diusahakan, termasuk karya-karya yang lebih tua dari bahasa apa pun,” kata Mario.
Sebelumnya, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menggelar lokakarya Writerpreneur Accelerate, 25-28 Juni 2019 di Bogor, Jawa Barat. Acara yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan penulis tersebut merupakan yang ketiga kali diselenggarakan tahun ini, setelah Surabaya dan Medan.
Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri menyatakan, secara keseluruhan sudah ada 11 kota di Indonesia yang telah diselenggarakan lokakarya sejak 2017. Sebanyak lebih dari 500 penulis telah mendapatkan pembekalan untuk kompetensi bisnis industri penerbitan.
“Workshop ini salah satunya bertujuan untuk membuka wawasan penulis di Indonesia tentang bagaimana menjadi penulis yang kompeten dan dapat berkompetisi dalam dunia bisnis khususnya dalam industri penerbitan,” kata Poppy.
Setiap penyelenggaraan lokakarya diikuti 50 penulis yang telah lolos seleksi dan bersaing dengan 500 pendaftar lainnya dalam registrasi online. Adapun pada penyelengaraan lokakarya di Kota Hujan, mayoritas peserta datang dari Bogor, Depok, Bandung, Bekasi, Cirebon, dan Jakarta.
Ada juga Bandar Lampung, Padang, Tangerang Selatan, Cimahi, Tangerang, Cilegon, Banyumas, Pemalang, dan Lamongan. Beberapa persyaratan untuk mengikuti lokakarya di antaranya, peserta harus berusia minimal 19 tahun, memiliki minimal 3 karya tulis baik antologi, bersama ataupun tunggal; memiliki komitmen untuk menjadi penulis profesional; siap mengikuti pelatihan selama 4 (empat) hari.
Kemudian siap untuk melakukan presentasi membuat buku mulai dari praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi; serta siap untuk menerbitkan buku sendiri bersama kelompok.
Pada lokakarya Writerpreneur di Bogor, sejumlah penulis terkenal juga turut hadir memberimateri penulisan, seperti Novelis Kirana Kejora; Penulis Trilogi Dilan Pidi Baiq; Penulis Sepatu Dahlan Krishna Pabhicara.
Lalu penulis Seller Titik Nol Agustinus Wibowo, serta Penulis Konten Storial.co Pujia Pernami. “Nantinya, buku-buku hasil lokakarya akan kami pamerkan dalam Bekraf Festival 2019 yang digelar di Solo pada November mendatang,” ujar Poppy. (lin)