Bertebaran isi whatsapp (WA) Jokowi tidak bisa jadi presiden gara-gara terbentur Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden (Pilpres) baik relawan maupun masyarakat pada umumnya makin mengerucut. Di mana peluangnya Pilpres ulang atau Jokowi didiskualifikasi dan Prabowo Sandi jadi Presiden dan wakil Presiden 2019-2024.
Menanggapi viralnya isu itu, pakar hukum tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan, syarat pelantikan capres cawapres hanya didasarkan pada perolehan suara terbanyak. Namun pengacara kondang Otto Hasibuan menilai pendapat Yusril itu keliru.
Bagaimanapun syarat mengenai sebaran dukungan sebesar 20% di minimal setengah dari jumlah provinsi masih berlaku. Hal mengenai syarat pelantikan presiden dan wakil presiden, kutip Otto, dicantumkan dalan UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum.
Di dalam pasal itu 416 UU 17/2017 disebutkan, Pasangan Calon terpilih selain harus memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara yang diperebutkan dalam pilpres, juga harus memiliki sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
“Isi dari pasal 416 UU 17/2017 itu sejalan dengan Pasal 6A UUD 1945. Jadi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-XII/2014 yang dianggap menghapuskan syarat perolehan suara minimal 20% di setengah jumlah provinsi itu ditujukan khusus untuk UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi dasar dari pelaksaan Pilpres 2014,” ungkap Otto di Kebayoran Lama, Jakarta Barat, Sabtu (20/4).
Benar, kata Otto, ada pengujian di MK. Tetapi yang diuji adalah UU tentang Pilpres 2014, dan UU itu sudah tidak berlaku lagi setelah ada UU 17/2017. “Saya tidak sependapat dengan pandangan beliau (Yusril Ihza Mahendra) karena mengutip keputusan MK terhadap UU 42/2008. Dan itu tidak relevan setelah ada UU 17/2017,” ujarnya.
Menurut ayat (2) Pasal 416 UU 17/2017, kutip Otto, apabila tidak ada pasangan capres dan cawapres yang memenuhi syarat itu, maka pemilihan presiden harus diulang.
Sebelumnya Yusril yang belakangan bergabung di Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi Ma’ruf Amin menjelaskan syarat pemenang pilpres. Jika pilpres diikuti 2 pasangan calon, pemenang dapat ditentukan dengan raihan suara terbanyak.
Hal ini disampaikan Yusril menanggapi beredarnya pesan berantai ‘JOKOWI DIPASTIKAN BISA TIDAK MENANG PILPRES 2019’ yang viral di media sosial. Si penulis menyebut 3 syarat pemenang pilpres, yaitu:
1. Suara lebih dari 50%
2. Memenangkan suara di 1/2 jumlah provinsi (17 provinsi)
3. Di 17 provinsi lainnya yang kalah minimal suara 20%
Apalagi setelah belakangan diketahui hasil pemungutan suara di ACEH & SUMBAR Jokowi tidak mencapai 20% Suara. Jadi berdasarkan Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Seperti diketahui, dalam pasal tersebut ada 3 syarat dalam memenangkan Pilpres:
1. Mendapat suara lebih dari 50 persen. Ini adalah syarat utama yang harus dipenuhi capres-cawapres yakni suara yang mereka raih dalam gelaran Pilpres harus mendapat lebih dari 50 persen suara rakyat dibandingkan rivalnya.
2. Memenangkan suara lebih di setengah jumlah provinsi di Indonesia (memperoleh 20% suara di 18 atau lebih propinsi dari 34 propinsi di Indonesia). Artinya, walau meraih suara lebih dari 50%, tapi hanya berasal dari sejumlah provinsi, maka kemenangan tersebut tidak sah.
3. Di provinsi lainnya yang kalah jumlah suaranya harus mendapat minimal suara 20%. Artinya, walau menang di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, namun ada provinsi yang minim pendukung pasangan tersebut, maka kemenangan tersebut juga tidak sah.
Yusril mengatakan, perkara tersebut sudah diputus di MK dengan Nomor putusan 50/PUU-XII/2014. Karena itu, Yusril menepis analisis pesan berantai tersebut jika berlaku pada Pilpres 2019, yang diikuti Jokowi dan Prabowo Subianto.
“Jangan lupa masalah di atas sudah diputus MK Tahun 2014. MK memutuskan kalau pasangan capres hanya 2, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi,” kata Yusril kepada wartawan, Sabtu (20/4).
Ketentuan dalam 3 poin tersebut berlaku, nilai Yusril, jika pilpres diikuti lebih dari 2 pasangan calon. Jika syarat-syarat di atas belum terpenuhi, digelarlah pilpres putaran kedua. Barulah pada putaran kedua, pemenang ditentukan dengan raihan suara terbanyak.
“Sederhana saja. Kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di atas, maka pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua,” ujar Yusril.
Pada putaran kedua, lanjut dia, ketentuan di atas tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. “Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak,” imbuhnya.
Akibat perdebatan multi tafsir itu, muncul asumsi lain:
1. Gelar Pemilu Curang.
2. Jika Pemilu Curang “tidak terbongkar”, maka Jokowi menang.
3. Jika Pemilu Curang “terbongkar”, maka Pemilu diulang, shg Jokowi tetap punya peluang menang dg “Strategi Curang” berikutnya.
AMANAT KONSTITUSI UUD 1945 PASAL 22E BHW PEMILU WAJIB JUJUR & ADIL. ATURAN PEMILU JUJUR & ADIL:
1. Jika Pemilu terganggu krn sesuatu hal yg tdk direncanakan spt Bencana Alam atau terhambatnya sarana pra sarana tanpa disengaja, mk Pemilu harus diulang.
2. Jika Pemilu terganggu krn KECURANGAN Massif, Struktural & Systematis yg dilakukan oleh Rezim Peserta Pemilu, shg menjadi KEJAHATAN DEMOKRASI, mk Penjahatnya harus dihukum dg Didiskualifikasi dari PEMILU.
Jadi jelas bhw Jokowi wajib didiskualifikasi dari Pilpres krn melakukan KEJAHATAN KONSTITUSI, sdg Prabowo scr otomatis keluar sbg PEMENANG krn JUJUR, shg tdk perlu diteruskan lagi perhitungan suara. (lin/wa)
sumber: rmol/detik.com