Opini by Zeng Wei Jian
Mas Joko Widodo temannya Ahok. Lengket seperti perangko. Jadi presiden setelah Menang tipis dari Letnan Jenderal Prabowo Subianto, orang yang paling berjasa membawanya ke pentas politik nasional. Taufik Kiemas tidak setuju Joko Widodo ditarik ke Jakarta.
Pengusaha Hashim Joyohadikusumo, adik Pa Prabowo, adalah pihak yang mendanai kampanye Joko Widodo melawan Foke di Pilgub Jakarta. Nominalnya tidak kurang dari 60 milyar.
Di debat #1 Pilpres 2019, Joko Widodo menyatakan tidak keluar dana saat Kampanye Pilgub Jakarta tahun 2012. Kredibilitas kuncinya. Preett…!!
Netizen teriak, “Ya jelas ngga keluar duit. Lah wong Pa Hashim yang bayarin”.
Kemenangan Joko Widodo di Pilpres 2014 diselimuti kontroversi dugaan mal-praktek kecurangan KPU sampai konspirasi global antara Barrack Obama dan Xi Jinping.
Rumor has it, Penampilan Joko Widodo katanya sederhana. Hiperbolisasinya: Memikat. Lugu. Ndeso. Publik merasa belum pernah dipimpin presiden berkemeja putih lengan digulung, tanpa jas dan dasi. Publik ingin coba. Trial and error.
“Blusukan” jadi trademarknya. Masuk gorong-gorong. Baca komik. Di kemudian hari, Joko Widodo nyata ngga fasih berbahasa Inggris. Ngutip film kartun “The Avengers” dan serial HBO “Games of Thrones”.
Waktu kampanye 2014, antipati dan character assasination terhadap Orde Baru dimainkan aktifis progresif, liberal, sosialis palsu, leftist dan civil society.
Supaya jadi komisaris atau anggota dewan, mereka butuh “legitimasi” dari rakyat.
Legitimasi itu dibangun atas sebuah “common enemy”. Narasi Hantu “Kebangkitan Orde Baru” dihidupkan menakuti rakyat. Fearmongering is Another type of mass psychological terror.
Selama masa kampanye pilpres 2014 itu, sebuah metode baru juga diterapkan. Memainkan sosial media. Relawan “Jasmev” dibentuk. Meme diproduksi. Ready to fight. Black campaign. Media-Social war dimulai.
Tanpa lawan, mereka obrak-abrik informasi internet. Serang siapa saja. Brutal. Metodenya: Character Assasination, Adhominem, dan cherry picking. Sekenanya. Mereka bicara seenak jidat.
Segala rasionalisasi, apologetic, framing, hoax, pencitraan di Solo dan Jakarta ditebar-ulang secara massif, terstruktur & sistematis.
Mirip tehnik propaganda yang diciptakan Adolf Hitler yang disebut “A big lie” atau “Große Lüge”. Dalam buku Mein Kampf, Adolf Hitler stressing metode the use of a lie so “colossal”.
“If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it,” kata Joseph Goebbels.
Setiap hari, publik difeeding berbagai jargon, slogan, obral janji ini-itu dan jualan macam-macam kartu.
Misalnya jargon; Benahi banjir dan macet Jakarta lebih mudah bila jadi presiden, stop utang, stop impor, janji tidak menggusur, ngga bagi-bagi kursi, tol laut, buyback indosat, pertumbuhan ekonomi 7% dan paling fenomenal adalah stealth mode car Mobil Esemka. Tak terditeksi radar dan panca-indera.
Setelah dilantik, Joko Widodo boro-boro inget Jakarta. Dia bagi-bagi kursi. Nasdem dapet jatah posisi Jaksa Agung. Relawan diangkat jadi komisaris. Kualifikasi mereka sering dipertanyakan.
Misalnya, background Fadjroel Rahman yang dikenal sebagai pengamat politik dan aktifis bisa-bisanya direposisi menjadi Komisaris Utama BUMN Konstruksi PT Adhi Karya.
Sekitar Juni 2015, Presiden Joko Widodo secara terbuka mengekspresikan dukungan kepada “Islam Nusantara”.
Menteri Susi mulai melancarkan kampanye bombastis meledakan kapal-kapal asing. Agresif dan offensive. Policy Cantrang sulitkan nelayan. Nasib nelayan tetap kere. Susah melaut. Slogan “revolusi mental” dan “Kerja Kerja Kerja” jadi mantera ajaib.
Gubernur Ahok mulai bertingkah. Gusur sana-sini, serang DPRD, caci-maki banyak orang. Buzzer Jasmev kerja maximal.
Proses branding dan attacking oposisi dirilis simultant. Skandal “Papa Minta Saham” meletus. Ahoker ikut menghujat Setya Novanto. Jadi “Papa Kesayangan Ahokers” setelah Setya Novanto ikut mengusung Ahok-Jarot di Pilgub Jakarta. Dicaci-maki lagi setelah kasus megakorupsi ektp dieksekusi KPK.
Polemik reklamasi mencuat ke permukaan setelah Ahok membombardir dan menghapus Kampung Aquarium dari peta kota.
Ahok bilang Jokowi ngga bisa jadi presiden tanpa bantuan pengembang. Menko Maritim Rizal Ramli merilis perlawanan. Stop reklamasi judulnya. Saling serang pecah di media.
Kabinet di-resuffle. Menteri Anies Baswedan dan Menko Rizal Ramli disingkirkan dari Kabinet Kerja. Ahok melenggang teruskan reklamasi. Diback-up Menko Maritim Baru Jenderal Luhut Binsar Panjaitan.
Saat itu, Setya Novanto telah kembali ke arena. Political Rebound. Jadi pendukung utama istana. Menteri ESDM Sudirman Said disikat dan diganti oleh Arcandra Tahar yang berkewarga-negaraan ganda. Jelas, Melanggar aturan.
Tiba-tiba Buni Yani posting orasi Ahok di Pulau Pramuka. Jadi polemik nasional. Ahok dirasa menoda Surat Al Maidah 51.
FPI turun ke jalan. Aksi Bela Islam I pecah tanggal 14 Oktober 2016. Tuntutannya: Tangkap Ahok.
Kyai Maruf Amin mengeluarkan Fatwa MUI. Ahok dinyatakan menoda agama. Aksi Bela Islam II dirilis tanggal 04 November 2016. Kepung Istana. Aksi dibubarkan dengan hujan tembakan gas air mata. Jam 11 malam, dua alfamart dijarah massa di sekitar Bandengan. Jakarta mencekam. Glodok diblokade.
Ahok tetap bebas. Kasusnya mau dianulir. Dibela mati-matian. Aksi Bela Islam III pecah tanggal 02 Desember 2016. Jelang subuh, belasan orang ditangkap dengan tuduhan makar.
Para buzzer semakin menggila. Meneror kesadaran dengan halusinasi “Suriahnisasi”. Ulama fundamentalis jadi obyek bully. Ahok kalah dua digit dan masuk penjara Mako Brimob. Protes tak henti-hentinya dirilis. Sampai bebas, Ahok ditahan di sana. Joko Widodo tak pernah bezoek.
Memasuki April 2018, media sosial dibikin geram atas pernyataan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. Selain sering beda pendapat dan bikin gaduh, para menteri Kabinet Kerja acapkali mengeluarkan statement yang membuat rakyat kesel.
Ketika harga naik, rakyat disuruh tanam cabe sendiri. Harga beras melonjak, rakyat disuruh nawar. Menteri Puan Maharani minta orang miskin diet dan tak banyak makan ketika harga sembako meroket. Aneh. Mestinya dia cari solusi turunkan harga.
Tanggal 02 Oktober 2018, Reuters merilis berita dollar tembus 15 ribu rupiah. Selama tiga bulan rupiah terdepresiasi 7.6% dari 13.930 rupiah di bulan Juni. PKS tagih janji Joko Widodo untuk jaga dolar di bawah 10 ribu rupiah.
Sebulan kemudian, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, “Rupiah Tak Melemah, Dolar yang Menguat”. Import beras, garam, gula, terus berlangsung. Harga cabe jatoh. Sidang peradilan Ahmad Dhani terus berlanjut.
Jelang Pilpres, Prof Mahfud MD diminta ukur baju sebagai Calon Wakil Presiden. “Ini panggilan sejarah,” kata Prof Mahfud MD berbinar-binar.
Muhaimin Iskandar, Rommy, Maruf Amin, Said Aqil Sirad bereaksi. PBNU tidak mengakui Mahfud MD sebagai Kader NU. Akhirnya, Maruf Amin resmi diusung sebagai Cawapres dampingi Joko Widodo. Pulau Madura gagal menoreh sejarah punya seorang Cawapres.
Ahoker bergejolak. Kaget. Shock. Gigit jari. Mereka ancam golput. Mereka masih ingat saat Kyai Maruf Amin jadi saksi ahli yang memberatkan Ahok. Muhaimin Iskandar menyatakan akan berusaha rangkul Ahoker dan minoritas.
Ratna Sarumpaet menciptakan hoax. Ngaku dianiaya. Ga taunya operasi plastik. Pa Prabowo, Sandi, Amin Rais, Hanum Rais, Fadli Zon dan lain-lain jadi korban. Satu republik ditipu.
Yusril Izha Mahendra, Denny JA dan La Nyalla Matalitti menyusul Kapitra Ampera masuk Kubu Joko Widodo.
Prabowo-Sandi langsung diserbu serangan SARA. Dikatakan bukan “Pejuang Islam”. Foto Joko Widodo jadi imam sholat disebar guna menutup polemik “Alpateka” dan “Lahola kola kota bila”.
Sebulan kemudian, Yusril bikin heboh dengan rencana pembebasan Ustad Abu Bakar Basyir. Sudah fix katanya. Cawapres Maruf Amin dan Sekjen PKB Abdul Kadir Karding memuji Presiden Joko Widodo.
Ahoker die-hard, aktifis HAM, komunis, liberal dan Australia bereaksi. Ahoker say good bye ke Joko Widodo. Istana Grogi. Besoknya Jenderal Wiranto konperensi pers. Ustad Abu Bakar Basyir batal dibebaskan.
Elektabilitas Paslon Ko-Ruf No. 1 terus turun. Meme made in Denny JA malfungsi. Joko Widodo mulai agresif sindir-sindir dan nyinyirin Prabowo-Sandi. Permainan kata seperti “Gendruwo, Sontoloyo, Tabok” sengaja dimainkan menutup isu-isu krusial semisal DPT bermasalah, TKA dan PKI.
KPU, Panwas, Bawaslu dituding berpihak. Anies Baswedan diperiksa setelah menghadiri Silatnas Partai Gerindra.
Forum Alumni Jatim #01 membuat hetrik. Mereka beri gelar “Cak Jancuk” kepada Joko Widodo. Di situ, dia menyebut istilah “Propaganda Rusia” yang menyulut reaksi dari Kedutaan Besar Rusia di Jakarta.
Sejumlah BUMN merugi, BPJS defisit, hutang bengkak dan Agnes Mo diundang ke istana. Buruh Pertamina yang dipecat dibiarkan tidur di jalanan. Hanya di era Joko Widodo saja, doa bisa diralat. Tidak percaya? Tanya Romi.
THE END