Opini by Zeng Wei Jian
Di masa Presiden SBY berkuasa, Budiman Sujatmiko menunggangi gerakan “Massa Actie”-nya si Jumhur Hidayat. Kontra Pemerintah.
Sujatmiko menyatakan variable demokrasi seperti “freedom of speech” terancam.
Liberal Pioneer Rizal Mallarangeng mempermalukan Sujatmiko dengan argumen bila Presiden SBY otoriter, Lho Jumhur kok bisa menggelar aksi demonstrasi dan Sujatmiko bebas ngoceh menyerang Pemerintah SBY.
Semalam di ILC, Arya Sinulingga membantah Rocky Gerung dengan metode serupa. Inas Zubir Hanura meradikalisir counter attack klik ebong dengan menambah bumbu istilah “ngibul” yang diangkat Rocky Gerung.
Dalam rangka kontrol media, “Rezim Kerja” mengadopsi pola melting pot blender antara Amerika dan China.
Ada “limited freedom of speech” dalam frame “Too Liberal” outlook. Dampaknya; Bunuh Diri Massal Intelektual.
Dalam rangka mengontrol media, Pemerintah Komunis China mempraktekan tiga “complex combination”; Party monitoring news content dari 358 stasiun television dan 2119 koran, legal restrictions on journalists, dan financial incentives for self-censorship.
Di Amerika dan Indonesia, tidak ada direct state monitoring news content dan incentives for self sensorship.
“Rezim Kerja” ngga ragu cangkok format “Too Liberal” dari Amerika. Mereka tau media liberal serve elites’ interest.
Media Liberal mengambil alih fungsi Reich Minister of Propaganda of Nazi Germany Paul Joseph Goebbels.
Dalam Buku “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media”, Edward S. Herman dan Noam Chomsky menerangkan model propaganda “systemic biases” yang dimainkan media-media liberal.
Motif “Bias Tersistematis” adalah stabilisasi profit bisnis media.
“Framing” dan “spin-doctoring” merupakan Aspek penting dalam media bias. Tujuan “membingkai berita” adalah menggiring opini publik. Nyaris semua mainstream media melakukan framing dan nyepin berita yang menguntungkan penguasa. Ngga heran bila mutu jurnalistik turun drastis.
Kolaborasi rezim, taipan, media moguls dan buruh jurnalistik merupakan natural filter bubbles dan menghasilkan apa yang disebut Noam Chomsky sebagai “flak mechanism” yaitu “to discredit organizations or individuals who disagree with or cast doubt on the prevailing assumptions favorable to The Establishment”.
Noam Chomsky menyebut favorable assumptions itu sebagai the fifth filter.
Di Era Cold War, Asumsi Filter Kelima itu diidentifikasi dengan frase “Anti Communism”. Chomsky memodifikasi dan update the fifth filter dengan generic terms seperti “enemy”, “fear”, dan “evil dictators”.
“Because if people are frightened, they will accept authority”, kata Noam Chomsky.
Di Indonesia, The Fifth Filter itu ditransformasi menjadi Anti Islam Radikal, Anti HTI, Anti FPI dan “organisasi-organisasi yang itu”.
Karena jika rakyat takut, mereka akan pasrah dan mudah ditipu.
Klik Anti dan Pro Rezim dibiarkan berkelahi di ruang media sosial. “Rezim Kerja” percaya diri menang.
Ketika Jasmev dan tuyul-tuyul cyber dipukul-buyar oleh Moslem Cyber Army, di situ “Rezim Kerja” mengimplementasi Quasi Chinese Model; Tangkap oposisi dengan Jerat UU ITE.
Saat kekalahan itu semakin nyata, Jenderal Wiranto merilis ide menjerat hoax dengan UU Terorisme.
THE END