Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit kepada UMKM melalui Fintech peer to peer (P2P) Lending telah mencapai Rp25,9 triliun per Januari 2019. Saat ini sudah terdapat 99 fintech lending yang sudah terdaftar di OJK.
Deputi Komisioner OJK Sukarela Batunanggar mengatakan, angka penyaluran kredit tersebut berasal dari 4,3 juta pinjaman yang dilakukan 207.506 lender. Tingginya pendanaan lewat Fintech P2P Lending tersebut, nilai Batunanggar, membuktikan literasi digital berbanding lurus dengan transaksi keuangan yang semakin inklusif.
“Saya melihat sendiri UMKM mendirikan fasilitas pinjaman daerah. Selama memiliki handphone, jaringan internet, juga literasi digital, maka literasi pemahaman keuangan bisa menggunakan ini semua,” kata Batunanggar dalam seminar Peran Teknologi Finansial dalam Mendorong Inklusi Keuangan di Indonesia, di ITS Tower, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (26/3).
Berdasarkan data OJK, akumulasi penyaluran kredit lewat fintech lending dalam dua tahun terakhir juga meningkat masing-masing 802,22 persen dan 784,3% secara tahunan year on year (yoy).
“Bisnis fintech mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya kalangan UMKM. Karena itu, perlu ada aturan baru terkait dengan inovasi keuangan digital meski lembaganya kini sudah memiliki regulasi soal Fintech P2P Pending,” paparnya.
OJK, lanjut dia, terus melakukan sosialiasi perlindungan konsumen, agar misalnya data pribadi tidak hilang dan disalahgunakan gara-gara permainan data. Silakan membangun kegiatan ekonomi online, asal terpenting data pribadi terjamin,” tandasnya.
Saat ini, kata dia, ada 99 fintech yang terdaftar dan disertifikasi oleh OJK. Selain itu, ada 34 fintech dengan 7-8 jenis bisnis baru yang sedang mendaftar ke OJK. “Rencana bulan depan akan ada seleksi untuk diuji regulation sandbox, hasilnya tentunya setelah diuji tentunya ada enam bulan atau perpanjangan waktu,” ujarnya.
Saya melihat sendiri UMKM mendirikan fasilitas pinjaman daerah. Selama memiliki handphone, jaringan internet juga lalu literasi digital maka literasi pemahaman keuangan bisa menggunakan ini semua. “Pada dasarnya semua berubah bisa kok, asalkan literasi keuangan jalan, literasi infrastruktur juga jalan,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, OJK telah membuat regulasi P2P mengenai layanan meminjam uang berbasis teknologi. Namun, memang diperlukan adanya aturan mengenai inovasi keuangan digital.
“Sekarang kami juga terus melakukan sosialiasi perlindungan konsumen, agar misalnya data pribadi tidak hilang dan disalahgunakan gara-gara permainan data. Silahkan membangun kegiatan ekonomi online terpenting data pribadi terjamin,” ungkapnya.
Bagi bank tertentu yang punya jaringan SDM cukup, nilai dia, mungkin tidak sulit tapi bank yang tidak berdaya maka butuh partner yang tepat. Penyelenggara fintech lending harus mampu penuhi standar.
Regulatory sandbox dibutuhkan untuk melakukan kategori atas model bisnis masing-masing perusahaan fintech, seperti peer-to-peer lending atau equity crowdfunding. Di samping itu, regulatory sandbox dibutuhkan demi melihat perusahaan rintisan yang bisa diawasi oleh OJK.
Rencananya, tidak semua 34 perusahaan ini bisa masuk ke regulatory sandbox yang akan dimulai bulan depan. Sementara itu, hasilnya bisa keluar setelah enam bulan regulatory sandbox berjalan. “Baru setelah ini baru bisa kami petakan, mana perusahaan yang berada di kewenangan OJK dan otoritas lainnya,” tuturnya.
Namun, bukan berarti seluruh perusahaan ini akan lolos regulatory sandbox. Merujuk pada pasal 11 POJK Nomor 13 Tahun 2018, perusahaan yang memasuki fase regulatory sandbox memiliki tiga jenis output, yakni direkomendasikan, perbaikan, dan tidak direkomendasikan.
Jika memang keputusan OJK adalah merekomendasikan perusahaan teknologi finansial, maka perusahaan tersebut berhak mendapat izin usaha dari OJK. “Ini akan kami review secara mendalam,” tutupnya. (lin)