Opini oleh Riko Noviantoro
Pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019 ini memang istimewa. Bukan hanya dari sisi perhelatan demokrasi yang berlansung serempak. Di mana para konsituen akan memberikan suara untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota. Sesuatu proses pemilu akbar yang meriah.
Keistimewaan lain dari Pemilu 2019 adalah komposisi kelompok pemilih millennial yang signifikan. Jumlahnya mencapai 42,5 juta suara dari total suara sebanyak 192 juta lebih pemilih. Itu berarti sumbangan pemilih millennial mencapai 21 persen lebih.
Berdasarkan data KPU dapat pula dijabarkan kelompok usia pemilih. Pemilih berusia 20 tahun sebanyak 17,5 juta suara, pemilih berusia 21-30 sebanyak 42,8 juta suara. Kemudian pemilih usia 31-40 tahun sebanyak 43,4 juta suara, pemilih usia 41-50 tahun sebanyak 37,5 juta suara, pemilih usia 51-60 sebanyak 26,8 juta suara dan pemilih berusia 60 ke atas sebanyak 22,6 juta suara.
Paparan data itu menunjukan pemilih millennial akan berpengaruh kuta dalam penentuan sosok pemimpin. Terelbih jika pemilih millennial itu dikombinasikan dengan pemilih pemula yang jumlahnya mencapai 17,5 juta suara. Secara statistic lebih memberikan pengaruh besar.
Pertimbangan itulah yang mendorong kekhawatiran angka golput meningkat. Apalagi kelompok millennial merupakan sosok yang sangat rasional. Jika situasi politik yang dianggap tidak rasional, berpeluang kelompok millennial ini menjadi kelompok golput terbesar.
Asumsi golput pada dasarnya bisa terjadi pada semua kelompok usia pemilih. Namun pada kelompok mileinal ini menjadi serius dan penting. Jika tim sukses Capres-Cawapres dan partai politik tidak mampu memenuhi harapan kelompok pemilih millennial, otomatis mendorong jumlah golongan putih meningkat dari pemilu sebelumnya.
Berdasarkan data pemilu 2009 dan pemilu 2014, jumlah golput sebanyak 28 – 29 persen dari total pemilih. Angka golput itu melampaui dari angka golput pada pemilu sebelumnya. Apalagi jika melihat angka golput pada pemilu era orde lama dan orde baru.
Melihat kondisi itulah suara pemilih millennial menjadi penting dan tidak boleh diabaikan. Kelompok millennial perlu diberikan penguatan tentang pentinganya memberikan partisipasi poltiknya. Sehingga dapat disimpulkan suara millennial adalah suara masa depan Indonesia.
Penulis: Peneliti bidang Kebijakan Publik,
Institute for Development of Policy and Local Partnership (INDEPOL – LP)