Keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) harus dimaksimalkan dalam rangka penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Pemerintah sebagai salah satu penyelenggara BLK harus menjadikan wadah pelatihan ketrampilan calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor pekerja rumah tangga (PRT) yang berkualitas.
Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma) Gabriel Goa mengatakan, sebelum PMI dikirim ke negara penempatan, seperti ke Timur Tengah (Timteng) mereka harus dilatih di BLK secara bagus dulu.
“Misalnya, harus kompeten di bidang kerja yang akan mereka kerjakan. Bahasa negara penempatan harus tahu, jenis pekerjaan yang akan dikerjakan harus kompeten,” kata Gabriel saat menjadi pembicara dalam Sarasehan Ketenagakerjaan dan Rapat Kerja Forum Wartawan Ketenagakerjaan (Forwarker)-Persatuan Wartawan Ketenagakerjaan Indonesia (PWKI) di Ciloto, Puncak, Jawa Barat, 22-23 Maret 2019.
Gabriel pun mempertanyakan hasil dari BLK selama ini apa saja? BLK-BLK itu, pinta Gabriel, harus memiliki standar internasional sehingga isi dari BLK itu menyiapkan pekerja yang optimal.
“BLK yang khusus dalam menyiapkan penempatan calon tenaga kerja di luar negeri diragukan keberadaannya. BLK yang disiapkan oleh pemerintah pusat hingga daerah, tapi terlihat gedungnya saja ada. Isinya kosong,” sindir Gabriel.
Adanya program 1000 BLK yang disiapkan pemerintah itu, sitir dia, dimana saja letaknya. “Katanya dibangun di Maumere NTT, tapi di mananya. Kegiatannya pun diragukan,” kecam Gabriel dalam acara yang dimodetarori Edi Hardum, Ketua PWKI.
Karena dari temuan Gabriel, ada peserta yang katanya habis mengikuti kursus bahasa Inggris, tapi bahasa Indonesia saja belepotan. Ini bagaimana dengan keterampilan lain. “Itu namanya dilatih sertifikatnya saja, tapi kompetensinya tidak. Namun ironisnya, pada saat ada masalah, penyelenggara berkelit bahwa itu semua itu nonprosedural alias ilegal. Coba itu?” sindirnya.
Pengamat Ketenagakerjaan dan Sekretaris jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengamini. Menurut Timboel, banyaknya PMI PRT ilegal ke keluar negeri, karena, keberadaan BLK untuk pendidikan dan pelatihan TKI tidak difungsikan secara maksimal.
“Kedua, pengawas ketenagakerjaan sama sekali tidak jalan. Keberadaan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengawas Ketenagakerjaan di Kemnaker hanya formalitas belaka. Tidak kelihatan hasil kerjanya,” kata Timboel di tempat yang sama.
Ketiga, lanjut dia, tidak adanya koordinasi yang baik antara Ditjen di Kemnaker, termasuk dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). “Keterampilan pendidikan vocational ini harus jadi fokus utama untuk mendapatkan SDM-SDM mumpuni dalam menjawab peluang kerja,” ujar Timboel.
Memang diakui Timboel, ada 20% APBN untuk pendidikan, tapi belum bisa menjawab hubungan industrial antara kebutuhan industri dengan pemberi kerja. Industri itu, klaim dia, tahunya siap pakai. Itu makanya, program sejenis ini terlihat menjadi fokus pasangan calon presiden.
“Harapan saya, nanti menggunakan sertifikasi yang standar. Jadi nanti para pencari kerja tidak ditanya ijazah mana dan lulusan mana, lanjut dia, tapi ditanya sertifikasinya mana,” tutupnya. (lin)