KPPPA Sebut Perkawinan Anak Jadi Ancaman Ketahanan Nasional

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin dalam Seminar Nasional "Menindaklanjuti Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Merevisi Undang-Undang Perkawinan" yang diadakan di Jakarta, Rabu (6/3/2019). foto: internet/antara

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Sesmen PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, perkawinan anak akan menjadi ancaman ketahanan nasional bila terus terjadi dan dibiarkan.

“Kerja keras pencegahan perkawinan anak ini akan kita lakukan bersama,” kata Pribudiarta dalam Seminar Nasional Menindaklanjuti Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi untuk Merevisi Undang-Undang Perkawinan di Jakarta, Rabu (6/3) seperti dilansir media online Kamis (7/3).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, lanjut Pribudiarta, merupakan hal yang progresif dan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk seluruh anak Indonesia.

MK memutuskan batas usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya paling muda 16 tahun sebagaimana diatur pada Ayat (1) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Putusan tersebut mengamanahkan pemerintah bersama DPR selaku pembentuk undang-undang untuk melaksanakan putusan tersebut dalam waktu tiga tahun,” tuturnya.

Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan putusan Mahmakah Konstitusi tersebut membawa angin segar bagi upaya negara untuk memberikan perlindungan anak yang optimal.

“Usia perkawinan harus disesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Indonesia diharapkan menjadi pelopor dalam pencegahan perkawinan anak di kalangan negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam,” timpal Siti di tempat yang sama.

Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher mengatakan masa aktif anggota DPR hanya tersisa tiga bulan sehingga pemerintah perlu mempercepat sekaligus mengawal revisi Undang-Undang Perkawinan.

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin mengatakan, perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan menghambat capaian Indeks Pembangunan Manusia.

“Perkawinan anak tidak hanya berpengaruh pada capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG’s tetapi juga berpengaruh untuk mewujudkan sasaran Indonesia Layak Anak 2030,” kata Lenny di tempat yang sama.

Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun,lanjut Lenny, menyebabkan gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan, serta memunculkan pekerja anak dan upah rendah.

Itu berarti perkawinan anak sangat besar berpeluang melanggar hak-hak anak, yaitu hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan, serta ikut menyumbang angka kematian ibu. “Negara perlu hadir dalam merumuskan langkah-langkah konkret untuk menjamin pemenuhan hak anak untuk menghapus praktik perkawinan anak,” tuturnya.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan prevalensi perkawinan anak menunjukkan satu dari empat atau 23 persen perempuan menikah pada usia anak. Sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah usia 18 tahun menikah setiap tahun.

Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17 persen. “Bila dilihat sebaran wilayah, terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional,” katanya.

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan batas usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya paling muda 16 tahun sebagaimana diatur pada Ayat (1) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Putusan tersebut mengamanatkan pemerintah bersama DPR selaku pembentuk undang-undang untuk melaksanakan putusan tersebut dalam waktu tiga tahun.(int/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *