Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan membuat aturan mengenai disgorgement fund alias dana pengembalian kerugian investor oleh pelaku pasar yang melanggar ketentuan di pasar modal.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan, pembuatan aturan ini masih dalam tahap rencana. Sebab perlu banyak hal yang harus disiapkan oleh regulator. Mengingat banyaknya aturan yang perlu diselaraskan dengan regulasi baru ini.
“Pelanggaran pelaku pasar di antaranya perdagangan semu dan insider trading. Pembuatan regulasi baru ini guna meningkatkan perlindungan investor ritel yang mengalami kerugian yang disebabkan oleh pelaku pasar lainnya, tapi kerugian tersebut sulit untuk dimintai klaimnya,” ungkap Hoesen di gedung OJK dalam acara Ngobrol Media, Senin (18/02).
Mesti ada regulasi baru, lanjut Hoesen, dasarnya sedang dipersiapkan. Mekanisme sudah lumrah dilakukan di Amerika Serikat. “Nanti pelaku pasar yang nakal akan didenda oleh regulator, nanti ditagih, publik yang dirugikan akan dibayar dengan denda tersebut,” kata Hoesen.
Ada dua pilihan yang bisa dilakukan, rinci Hoesen, mengenakan denda kepada pelaku pasar yang nakal dan masalah selesai. Kedua, tetap mengenakan denda dan proses hukum tetap dilaksanakan.
“Nanti ada public hearing atas regulasi baru ini agar dapat masukan. Ada harmonisasi dengan UU dan regulasi, kalau terjadi ini akan menjadi terobosan. Belum pasti tahun ini,” imbuhnya.
Pada 2009 silam terdapat kasus perasahaan efek PT Sarijaya Permana Sekuritas (SPS) yang menggelapkan dana investor dengan nilai mencapai Rp 300 miliar dan mencatatkan pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) yang tidak benar. Penggelapan dana ini dilakukan oleh pemilik sekaligus komisaris SPS berinisial HR.
“Rugi karena salah beli saham, karena kenaikan harga dan penurunan itu wajar. Tapi jangan rugi karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Kalau investasi pasti ada untung-rugi. tapi jangan semua rugi dibebankan ke sini, enggak. Kalau ini terkait ada unsur-unsur pidana, terutama di pasar modak, ini bisa kami lakukan,” kata dia.
Lebih jauh Hoesen mengatakan, OJK optimistis mampu mendapatkan 75-100 emiten baru sepanjang 2019. OJK mengaku sudah mempersiapkan langkah-langkah khusus untuk menghadapi rintangan pada tahun politik.
“OJK telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu menggenjot jumlah emiten baru tahun ini. OJK telah mempersiapkan kebijakan baik dari sisi supply maupun demand. Baik itu dari sisi supply berupa pasokan emiten baru yang menyediakan aset dasar, maupun dari sisi demand berupa peningkatan jumlah investor di pasar modal,” tuturnya.
Untuk meningkatkan jumlah emiten, Hoesen menambahkan, OJK dan self regulatory organization (SRO) akan mendekati grup-grup konglomerasi yang sudah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pihaknya mengincar anak dan cucu perusahaan grup konglemerasi untuk Initial Public Offering (IPO). Bukan hanya itu, OJK dan SRO juga mendekati Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mendapatkan kesempatan dari perusahaan pelat merah maupun anak dan cucu usaha untuk bisa masuk ke pasar modal.
“OJK dan SRO juga bekerja sama dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan untuk melihat pembayar pajak dari kalangan korporasi dari sektor-sektor unggulan yang berpotensi menjadi emiten,” katanya.
OJK juga menargetkan startup dan UMKM potensial yang ada di IDX Incubator. Pasalnya, sudah lebih dari dua tahun incubator startup ini didirikan, sehingga seharusnya sudah ada beberapa yang berpotensi melanjutkan langkah bisnisnya untuk IPO.
“Pasar modal kita itu dari tahun ke tahun selalu dinilai dangkal, sehingga selalu para assessor rekomendasinya adalah pendalaman pasar. Hal yang harus dilakukan untuk itu adalah menambah supply dan demand, serta perbaikan infrastruktur,” tuturnya.
OJK juga sudah merilis aturan yang memungkinkan pemerintah daerah (pemda) menerbitkan obligasi. Tercatat, ada 10 Pemda yang berpotensi untuk bisa menerbitkan obligasi daerah, berdasarkan hasil pengujian bersama Kementerian Keuangan dan Kementrian Dalam Negeri. (lin)