Calon Presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto mengatakan, pada masa depan seluruh negara akan memperebutkan sumber daya alam Indonesia karena akan terjadi krisis pangan, energi, dan air.
Menurut dia, PBB telah meramalkan bahwa sebentar lagi dunia akan dilanda krisis air. Prabowo menyampaikan hal itu saat Orasi Kebangsaan bertajuk Mewujudkan Swasembada Energi, Pangan, dan Air di Semarang, Jawa Tengah, Jumat petang (15/02).
“Negara-negara besar sudah meramalkan bahwa perang nanti akan banyak memperebutkan sumber air. Kenapa? Air ini sumber dari kehidupan. Tidak mungkin kita bisa menghasilkan pangan tanpa air,” paparnya.
Purnawirawan jenderal bintang tiga ini memperkirakan hampir semua perang memperebutkan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam. “Hampir semua perang karena sumber daya alam dan memperebutkan pangan, lahan pangan, lahan energi, dan lahan air,” katanya.
Untuk mengantisipasi itu, capres yang berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno ini mengatakan, pihaknya berpijak pada contoh negara-negara yang telah berhasil dalam sejarah. Keberhasilan negara-negara itu disebut Prabowo memiliki komponen-komponen tertentu, salah satunya swasembada pangan.
“Kita harus siapkan, mampu menyediakan pangan untuk rakyat kita. Tidak boleh ada rakyat yang kelaparan dan kekurangan gizi dalam sebuah negara merdeka dan berdaulat,” tegas Ketua umum Partai Gerindra itu.
Indonesia juga harus swasembada energi dan harus bisa punya bahan bakar dari negara itu sendiri, bukan tergantung pada bangsa lain. “Negara lain tidak akan merasa kasihan bila negara kita terpuruk. Kita harus bangkit sendiri dengan melakukan swasembada pangan, energi dan air,” ucapnya.
Di berita lain menyebutkan, utang luar negeri Indonesia naik 6,9% secara tahun ke tahun pada akhir triwulan IV 2018 menjadi 376,8 miliar dolar AS. Atau setara dengan Rp5312 triliun (asumsi kurs Rp14.100/dolar AS). Ini semua menurut Statistik Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Jumat (15/02).
“Secara tahunan utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan IV 2018 tumbuh 6,9 persen (year on year/yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan akhir triwulan III 2018 sebesar 4,2 persen (yoy) yang peningkatannya bersumber dari pertumbuhan ULN pemerintah maupun ULN swasta,” tulis BI dalam Statistik Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir triwulan IV 2018.
ULN tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 186,2 miliar dolar AS serta utang swasta termasuk BUMN sebesar 190,6 miliar dolar AS. Jika dibandingkan triwulan III 2018, jumlah utang luar negeri itu naik 17,7 miliar dolar AS.
Utang luar negeri pemerintah yang pada akhir triwulan IV 2018 naik 7,1 miliar dolar AS dibandingkan triwulan III 2018, menurut BI, karena kenaikan arus masuk dana investor asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik sejalan dengan perekonomian domestik yang kondusif dan imbal hasil yang tetap menarik. Aliran dana asing ke Indonesia itu ditambah faktor sedikit meredanya ketidakpastian pasar keuangan global.
Di samping itu, peningkatan pinjaman itu juga karena penerbitan SBN valuta asing untuk pendanaan awal (pre-funding) instrumen fiskal pemerintah tahun 2019. Jika dilihat dari tahun ke tahun, ULN pemerintah pada akhir triwulan IV 2018 tumbuh 3,3 persen (yoy).
Adapun jumlah utang luar negeri swasta pada akhir triwulan IV 2018 naik 10,6 miliar dolar AS dibandingkan dengan triwulan III 2018. Jika dibandingkan akhir triwulan IV 2018, ULN swasta naik 10,9 persen (yoy).
Menurut Bank Sentral, peningkatan tersebut utamanya karena banyaknya investor asing yang membeli kepemilikan surat utang korporasi. “ULN swasta sebagian besar dimiliki oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian,” ujar BI.
BI memandang struktur utang luar negeri cukup terkendali. Hal itu, antara lain, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Desember 2018 yaitu sebesar 36 persen. Rasio tersebut, diklaim BI, masih berada di kisaran rata-rata negara dengan kapasitas ekonomi setara Indonesia (peers).
Pertimbangan BI menyebut ULN terkendali juga karena struktur ULN didominasi ULN berjangka panjang dengan pangsa 86,3 persen dari total ULN. “Bank Indonesia dan Pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau perkembangan ULN dan mengoptimalkan perannya dalam mendukung pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” kata BI. (lin/int)