Opini oleh Muhammed Edwars
Mungkin dengan maksud untuk menggelar karpet merah untuk BTP (Ahok) yang dibebaskan hari ini, dua hari sebelumnya Buya Syafii menulis di kolom Resonansi Republika tentang bolehnya umat Islam memilih pemimpin non-Muslim. Untuk mendukung pendapatnya itu, Buya Syafii mengutip dan mendasari argumennya pada perkataan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah yang saya copy paste dari tautan diatas:
“Wa inna Allâh yuqîmu al-daulat al-‘ádilah wa in kánat kâfirah wa lá yaqûmu al-dhâlimah wa in kânat muslimah” (Dan Allah membiarkan bertahan negara yang adil sekalipun dipimpin oleh orang kafir; dan (Dia) tidak membiarkan [negara] zalim untuk bertahan sekalipun dipimpin oleh penguasa Muslim).
Kalau dilihat selintas, kelihatannya dalil yang dikemukakan Buya Syafii sangat solid sehingga bisa saja membuat orang berkesimpulan: kalau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah berkata begitu, berarti memang Islam membolehkan umatnya memilih pemimpin non-Muslim. Siapa kita dibandingkan dengan Ibnu Taimiyah yang muridnya saja termasuk Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Ibnu Katsir?
Kalau dibaca secara kritis, pembukaan yang diberikan Buya Syafii tentang Ibnu Taimiyah jelas ditujukan untuk membuat kita terkagum akan figur ulama besar abad ke-7 Hijriah itu, dan memang seharusnya begitu; lihat saja keluasan ilmu, dakwah, jihad dan karya-karya Beliau.
Hanya saja Buya sepertinya memanfaatkan kekaguman kita itu untuk membuat kita lengah dan kurang berhati-hati dalam mencermati narasi yang dia coba kembangkan untuk menggiring umat Islam Indonesia menerima dan mau memilih pemimpin yang berbeda aqidah.
Pertama. Kutipan perkataan Imam Ibnu Taimiyah diatas sama sekali tidak berbicara tentang memilih pemimpin, apalagi memilih pemimpin non Muslim. Syaikhul Islam berbicara tentang pentingnya suatu negara atau pemerintahan menegakan keadilan. Ini bisa dilihat dari pendahuluan kutipan di atas yang entah dengan sengaja tidak dimasukan Buya Syafii. Imam Ibnu Taimyah memulai perkataannya dengan:
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ
Artinya: “Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah kemuliaan.”
Kedua. Buya Syafii dengan sengaja menyelipkan kata ‘pemimpin’ pada terjemahan perkataan Imam Ibnu Taimiyah yang sebenarnya tidak ada sama sekali dalam teks asli Bahasa Arabnya. Teks, “Wa inna Allâh yuqîmu al-daulat al-‘ádilah wa in kánat kâfirah wa lá yaqûmu al-dhâlimah wa in kânat muslimah” seharusnya diartikan, “Allah membiarkan berdiri negara yang adil walaupun kafir, sedangkan negara yang zhalim tidak akan berdiri walaupun Muslim.”
Dari mana datangnya kata ‘pemimpin’? Hanya Buya Syafii yang bisa menjelaskan mengapa Beliau menambahkan kata ‘pemimpin’ dalam terjemahannya. Yang jelas, teks pendahulu dan kalimat Imam Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Buya Syafii sama sekali tidak bicara tentang pemimpin, apalagi sampai dijadikan sebagai dalil untuk membolehkan memilih pemimpin selain dari orang yang beragama Islam.
Dengan menambahkan kata ‘pemimpin’ pada terjemahannya, Buya Syafii kemudian membuat kesimpulan, “Tidak tanggung-tanggung, Ibnu Taimiyah memilih negara yang adil sekalipun pemimpinnya tidak beriman, daripada negara zalim sekalipun pemimpinnya Muslim.” Buya, sekali lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak berbicara pemimpin, tapi berbicara negara, pentingnya menegakan keadilan dalam bernegara. Jangan membuat kesimpulan sendiri, Buya.
Saya berharap Buya Syafii Maarif membaca sanggahan ini dan meralat tulisannya yang menurut saya sangat tidak etis karena dengan cara yang elok mempelintir perkataan Syaikhul Islam untuk menghalalkan apa yang sudah jelas-jelas diharamkan oleh Allah. Menurut saya ini adalah kezhaliman terhadap Ulama Besar Ibnu Taimiyah dan fitnah besar umat Islam Indonesia.
Tulisan Buya ini tentu menjadi konsumsi yang lezat sekali bagi orang-orang yang memang mencari pembenaran memilih pemimpin non-Muslim, termasuk mereka yang selama ini tidak mau menerima pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan bahkan mengecam dan menolak Beliau.
Sekedar mengingatkan Buya Syafii, saya Muhammed Edwars dari Melbourne, yang pernah mendebat Buya pada tahun 2015 di Makassar ketika Buya mengatakan, “Allah saja tidak membedakan mu’min dengan kafir.” Na’udzubillah.
Melbourne 24012019
Sebelumnya Buya Syafii Maarfi menulis artikel di harian Republika terbit di rubrik Kolom
Ibnu Taimiyah tentang Penguasa yang Adil
Ibnu Taimiyah atau nama lengkapnya Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Taimiyah al-Harrani (1263-1328) kelahiran Harran, Suriah. Dia seorang alim dan penulis prolifik dengan karya tulis dalam jumlah besar. Dikenal sebagai penganut mazhab Hanbali yang berkali-kali keluar masuk penjara karena pendapatnya yang kontroversial. Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, para filsuf, dan kaum sufi telah menjadi sasaran kritiknya berdasarkan pemahamannya yang literal terhadap Alquran.
Tidak saja sampai di situ, Ibnu Taimiyah pernah pula angkat senjata melawan pasukan Mongol yang menjarah teritori Muslim pada abad ke-13. Hidupnya sarat dengan tantagan dari luar dan dari dalam, tetapi penanya tidak pernah tumpul untuk menyuarakan keyakinannya tanpa rasa takut.
Dia adalah petarung sejati dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Wahabisme banyak mengambil ajarannya, minus aspek intelektualnya. Akibatnya, Wahabisme sangat kering dari pemikiran kreatif.
Fazlur Rahman dalam Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (London: George Allen and Unwin, 1958, hlm 105) menyimpulkan kritik Ibnu Taimiyah terhadap filsafat dan mistisisme sebagai berikut: “Dia (Ibnu Taimiyah) ingin menghancurkan intelektualisme Ibnu Sina karena telah menyiapkan jalan bagi doktrin Ibnu ‘Arabi tentang Wahdat-al-wujûd (Kesatuan yang Ada).
Dalam karya ini, Rahman tidak menyinggung pendapat Ibnu Taimiyah tentang kekuasaan yang adil dan yang zalim yang tidak kurang kontroversinya, tetapi menarik untuk direnungkan.
Saat berbicara tentang konsep al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahyu ‘ani al-munkar yang berkaitan dengan sistem kekuasaan, IIbnu Taimiyah menuliskan pendapatnya sebagai berikut:
“Wa inna Allâh yuqîmu al-daulat al-‘ádilah wa in kánat kâfirah wa lá yaqûmu al-dhâlimah wa in kânat muslimah” (Dan Allah membiarkan bertahan negara yang adil sekalipun dipimpin oleh orang kafir; dan (Dia) tidak membiarkan [negara] zalim untuk bertahan sekalipun dipimpin oleh penguasa Muslim). Ada versi lain dari ungkapan ini, tetapi maksudnya serupa.
Orang boleh tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah ini, tetapi umat Muslim diajaknya untuk berpikir lebih dalam dan kritikal mengenai sistem kekuasaan yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah mereka. Tidak tanggung-tanggung, Ibnu Taimiyah memilih negara yang adil sekalipun pemimpinnya tidak beriman, daripada negara zalim sekalipun pemimpinnya Muslim.
Semestinya para pengagum Ibnu Taimiyah tidak hanya tertarik mengikuti pendapatnya tentang doktrin tauhid lawan syirik, tetapi juga mencermati pendapatnya tentang penguasa non-Muslim yang adil akan bertahan lebih lama dibandingan dengan penguasa Muslim yang zalim.
Keadilan dalam pemikiran Ibnu Taimiyah mengatasi segala-galanya. Tentu saja penguasa Muslim yang adil akan lebih baik untuk dipilih dan diberikan prioritas.
Jika semata-mata karena beragama Islam tanpa memperhitungkan karakter dan integritasnya dalam memerintah di mata Ibnu Taimiyah pasti akan membawa kehancuran dan tidak akan tahan lama. Di sinilah terletak pengamatan Ibnu Taimiyah yang radikal dan revolusioner. Dia melawan arus zaman di era itu.
Pendapat ini muncul tidak dalam kehampaan sejarah, tetapi lahir dari seorang pemikir-yuris-aktivis yang paham benar dan mengalami betul betapa sistem kekuasaan itu jika tidak dikawal oleh prinsip moral yang tajam pasti akan merusak masyarakat luas.
Semata-mata memakai baju Muslim yang telah berkali-kali naik haji, misalnya, tidak dapat dijadikan jaminan bahwa seseorang itu adil dan baik. Oleh sebab itu, dalam menentukan kepemimpinan, kita perlu mengenal jejak rekam seseorang sebelum diputuskan untuk dipilih.
Ibnu Taimiyah masih meneruskan pendapatnya sebagai berikut: “Al-dunnyâ tadûmu ma’a al-‘adli wa al-kufri wa lâ tadûmu ma’a al-dhulmi wa al-islâm” (Dunia itu akan bertahan bersama keadilan dan kekufuran dan tidak akan bertahan lama dengan kezaliman dan dengan Islam).
Pendapat semacam ini tidak enak dibaca dan tidak sedap dirasakan, tetapi tampaknya Ibnu Taimiyah telah menyaksikan betul betapa rezim-rezim Muslim tidak hirau dengan keadilan. Bahkan, sebenarnya sampai hari ini, ironisnya, keadaan belum banyak berubah.
Sekiranya bukan tokoh sekaliber Ibnu Taimiyah yang merumuskan pendapat serupa itu, tentu ujaran kafir, munafik, dan sesat telah lama ditembakkan kepadanya. Keimanan dan keislaman Ibnu Taimiyah sangat kental dan kuat, sehingga menghalangi orang untuk bersikap biadab kepadanya. Bagi Ibnu Taimiyah, prinsip keadilan menjadi ukuran pertama dan utama yang harus melekat pada diri seorang penguasa, bukan semata-mata karena agamanya.
Sumber WAG KAHMI Cilosari 17 kiriman Ernest (terusan kutip www.facebook.com/24 januari 2019)